Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Totok Siswantara

Olahraga dan Politik Negara

Politik | Saturday, 01 Apr 2023, 14:35 WIB
Bung Karno sedang menendang bola kehormatan dalam pertandingan sepak bola di Lapangan Batavia Voetbal Club (BVC) - Foto Istimewa

Ketua Umum PSSI Erick Thohir menegaskan Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan agar dalam waktu dekat ini organisasinya fokus menghadapi sanksi Federation of International Football Association (FIFA).

RETIZEN.REPUBLIKA.CO.ID,Sanksi tersebut diperkirakan tak terelakkan menyusul batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA U-20 2023. Sebagai bangsa pejuang, tidak ada gunanya saling menyalahkan. Sebagian besar publik mengambil sikap diam sembari mengelus dada menyikapi tercoretnya Indonesia sebagai tuan rumah. Rasionalitas publik tidak terlalu berharap PSSI bisa menjadi hebat dalam waktu singkat, karena selama puluhan tahun kepengurusan PSSI sudah bobrok. Ada asa terpilihnya Erick Thohir sebagai Ketum. Namun publik juga punya kalkulasi sendiri bahwa bahwa tidak mungkin Erick memiliki sihir yang bisa membenahi PSSI dalam waktu sesingkat singkatnya karena kerusakan pada persepakbolaan nasional sudah begitu masif. Membenahi PSSI tidak semudah membalik tangan.

Ada pihak yang mendewakan FIFA, seolah-olah federasi ini suci dan bersih dari noda. Padahal pengurus hingga Ketua FIFA sering terlibat skandal dan kejahatan yang luar biasa. Bagi Bangsa Indonesia, Olahraga dan politik negara merupakan persenyawaan yang tak terpisahkan. Sejarah membuktikan bahwa olahraga bukan semata untuk menciptakan pola hidup sehat dan mencapai prestasi. Lebih dari itu, olahraga adalah alat perjuangan politik dan sarana pemersatu bangsa. Sejarah menyatakan bahwa Hari Olahraga Nasonal (Haornas ) memiliki latar belakang yakni penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) I yang digelar pada 9 September 1948 di Stadion Sriwedari, Solo, yang berlangsung di tengah revolusi kemerdekaan.

Para generasi milenial saat ini mestinya memahami sejarah bangsa. Bahwa Sang Proklamator Kemerdeakaan RI yang juga sebagai Presiden RI pertama telah menggariskan bahwa kesehatan badan, keolahragaan, dan kesigapan fisik adalah salah satu bagian mutlak dari pembangunan bangsa (nation building).

Bagi Bung Karno, olahraga juga cara untuk menarasikan kekuatan bangsa. Karena itu, olahraga menjadi perhatian besar pada era pemerintahannya. Bukti keseriusan Bung Karno di bidang olahraga adalah dengan memunculkan ide berani dan luar biasa untuk menyelenggarakan event olahraga dunia setara dengan olimpiade, yaitu Games of the New Emerging Forces( Ganefo), yang berarti Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang.

Gagasan besar Bung Karno tersebut tidak muncul begitu saja. Musababnya, Indonesia diberi sanksi oleh International Olympic Committee (IOC) tidak boleh mengikuti Olimpiade Tokyo pada 1964. Hal tersebut merupakan efek dari politik olahraga yang Indonesia berlakukan pada saat menjadi tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta. Kala itu, Indonesia menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan.

Indonesia memiliki komitmen kuat bahwa Israel adalah musuh negara Arab dengan menduduki wilayah Palestina. Sedangkan Taiwan dianggap negara boneka dari Inggris dan musuh Tiongkok yang notabene punya hubungan yang sangat erat dengan Indonesia. Karena itu, IOC menghukum Indonesia, dengan dalih “sports are sports! Don’t mix sports with politics”.

Dalam event olahraga di dunia, sermua negara sudah pasti memiliki garis politiknya masing-masing. Bahkan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang menjadi haluan besar olahraga di negeri ini juga merupakan produk politik. Dalam olahraga politik itu pasti ada, namun messti diletakkan dalam koridor sportifitas. Pertandingan olahraga kerap kali dianggap sebagai pertempuran atau peperangan. Sehingga perlu taktik dan strategi yang jitu.

Sportifitas adalah kunci segalanya bagi atlit dan pengurus dan pecinta olahraga. Dengan demikian menghadapi sanksi FIFA semuanya harus sportif. Toh jika negeri ini terkena sanksi berat dunia tidak kiamat, justru dengan adaanya sanksi Pengurus PSSI bisa berkonsentrasi untuk transformasi sepak bola di tanah air, dari pusat hingga daerah. Ketika kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 2015. Musababnya, FIFA secara sepihak menganggap pemerintah mengintervensi kepengurusan PSSI.

Hal itu cukup absurd, sebab pemerintah hanya diposisikan sebagai fasilitator atau penyedia dana bagi lembaga keolahragaan, tanpa punya hak lain. Jika kita berkaca pada perjalanan sejarah Indonesia, kita akan menemukan bahwa politik dan olahraga tak bisa dipisahkan. Keduanya bahkan saling melengkapi. Olahraga dijadikan alat pemersatu bangsa, bahkan antarbangsa terjajah. Selain itu, olahraga dijadikan tolok ukur kedaulatan suatu bangsa dan negara.

Presiden Joko Widodo menyatakan perlu reformasi total terhadap PSSI. Sangsi sepihak yang kurang obyektif telah dijatuhkan oleh FIFA terhadap Indonesia. Hal itu tidak perlu diratapi karena justru memberikan makna yang besar dan menjadi momentum untuk menata kembali sepak bola di tanah air. Apalagi selama satu dasawarsa terakhir, PSSI selalu busung prestasi dan berada diperingkat bawah.

Saatnya mengubur berbagai macam penyakit kronis sepak bola di negeri ini, khususnya modus korupsi dan sepak terjang mafia sepak bola. Sejatinya reformasi total relevan dengan kondisi FIFA yang selama ini reputasinya jatuh terpuruk akibat skandal korupsi yang dilakukan oleh petingginya. Insiden penangkapan beberapa pimpinan FIFA di Zurich terkait dugaan korupsi, penyuapan hingga pemerasan telah mencoreng citra federasi sepak bola dunia. Penangkapan petinggi FIFA yang diprakarsai FBI, berhasil menjaring sembilan nama diantaranya Jeffrey Webb, yang menjabat posisi wakil presiden FIFA dan ketua Federasi Concacaf yang mencakup Amerika Utara dan Tengah.

Para pejabat FIFA itu dituduh melakukan pemerasan, penipuan dan pencucian uang yang melibatan puluhan juta dolar. Tuduhan yang dilontarkan diantaranya termasuk menerima suap untuk memberikan hak media dan pemasaran untuk turnamen sepakbola, menerima suap untuk mempengaruhi keputusan lokasi turnamen.

Publik berharap agar PSSI terlahir kembali dengan postur yang lebih bersih dan memiliki integritas. PSSI harus bersih dari politik praktis menjelang Pemilu 2024. Politik sepakbola adalah politik negara, bukan kepentingan sesaat partai politik saat pemilu. Masyarakat berharap PSSI yang baru bebas konflik dan kepentingan kelompok. Juga diharapkan bebas dan bersih dari aksi mafia sepak bola yang selama ini penyebab kekisruhan sehingga prestasi sepak bola nasional terus terpuruk. PSSI baru sebaiknya fokus untuk merumuskan tata kelola sepak bola nasional yang lebih baik serta menata ulang sistem kompetisi Liga Indonesia yang lebih fair dan adil.

Saatnya membentuk lembaga independen untuk mengawasi kinerja dan budaya organisasi PSSI yang baru. Sejak berdiri pada 19 April 1930 sebenarnya PSSI telah memiliki budaya organisasi yang cukup kokoh. Budaya organisasi itu dalam arti sejumlah pemahaman bersama untuk mendapatkan momentum dengan landasan norma, nilai, sikap dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh segenap anggota organisasi. Namun dalam dua dasa warsa terakhir ini budaya organisasi PSSI telah terkoyak-koyak karena telah digerogoti oleh konflik dan penyakit struktural.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image