Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Romi Febriyanto Saputro

Literasi Keluarga Untuk Mencegah Perzinaan Dini

Pendidikan dan Literasi | Tuesday, 28 Mar 2023, 10:37 WIB

Oleh : Romi Febriyanto Saputro*

Dinas Pendidikan Kota Bandung mengungkap data hasil survei tentang pergaulan bebas. Survei ini dilakukan kepada 60 remaja di bawah 14 tahun. Survei minor tersebut menemukan 56 persen dari 60 responden mengaku sudah pernah melakukan seks atau hubungan badan. Menurut Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bandung Tantan, salah satu faktor penyebab banyaknya anak yang melakukan seks bebas adalah globalisasi dan pengaruh media sosial (medsos). "Namun ini belum dikembangkan kriteria golongan apa saja misal dari 56 persen pendidikan seperti apa, keluarganya gimana, kemudian lingkungannya, ekonominya, karena bisa jadi ini memengaruhi pendidikan," (Republika, 7 Juli 2022).

Survei di atas menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja kita sudah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Para remaja telah menjadi generasi yang hilang akal, mengorbankan harga diri untuk melakukan praktik pergaulan bebas. Dua puluh tahun lalu remaja SMP masih malu-malu untuk melakukan pacaran, kini mereka sudah tidak tahu malu melakukan gaya pacaran yang sangat vulgar dan ekstrem.

Hurlock (1992) menyatakan bahwa manifestasi dorongan seksual dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang berupa bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.

Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman pacaran, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, jenis kelamin, pengaruh orang dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan dan tontonan porno.

Di mana peran negara?

Fenomena seks bebas remaja ini merupakan indikator lemahnya peran negara, dalam mendidik generasi muda harapan bangsa ini. Di bidang pendidikan, negara terjebak pada praktik pengajaran ilmu belaka belum menyentuh praktik pendidikan. Meskipun pendidikan karakter baru-baru ini digencarkan, namun dalam aplikasi nyata di lapangan hampir tidak ada bedanya. Guru masih kesulitan untuk menggabungkan fungsi pengajaran sekaligus pendidikan dalam kegiatan belajar mengajar.

Di bidang kesejahteraan keluarga, BKKBN masih terjebak sekedar berperan sebagai pengendali dan pembatas kelahiran an-sich. Badan ini baru bisa bergerak sebatas menyosialisasikan pentingnya 2 anak lebih baik saja. Padahal, ada yang tak kalah penting daripada sekedar pembatasan kelahiran, yakni pemberdayaan keluarga agar sejahtera lahir maupun batin.

Dalam iklan di televisi, BKKBN gencar mempromosikan tentang pentingnya merencanakan menikah pada usia minimal 25 tahun. Tetapi lembaga negara ini mungkin lupa menyosialisasikan kapan seharusnya remaja mulai mempraktikkan pacaran yang masih dianggap sebagai satu-satunya pintu menuju pernikahan. Jika usia menikah seseorang 25 tahun sementara itu usia pacaran di mulai pada usia SMP (13 – 15 tahun), bisa dibayangkan apa yang terjadi pada generasi muda kita.

Dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun mereka harus memikirkan urusan asmara yang sebenarnya merupakan ranah orang dewasa. Remaja kita seharusnya lebih berkonsentrasi untuk menimba ilmu baik melalui bangku sekolah maupun kegiatan positif di luar sekolah.

Proses pacaran ini, pada titik ekstrim akan memicu terjadinya seks bebas. Rekan penulis, seorang pendidik di salah satu sekolah menengah tingkat atas pernah mengeluhkan gaya ekstrim pacaran ABG saat ini. Menurut salah seorang siswanya, pacaran tanpa seks bebas bukan lagi dianggap pacaran. Memprihatinkan bukan ?

Selain itu, proses pacaran yang saat ini semakin dini juga bisa memicu terjadinya KDP (Kekerasan Dalam Pacaran). Mengutip situs berita tempo.co, 7 Maret 2023, Komisi Nasional Perempuan atau Komnas Perempuan mencatat kekerasan oleh mantan pacar menjadi kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi dalam ranah personal sepanjang 2022. Berdasarkan data aduan yang diterima pihaknya sepanjang 2022, terdapat 713 kasus kekerasan mantan pacar disusul kekerasan terhadap istri dengan 622 kasus, dan kekerasan dalam pacaran dengan 422 kasus. Adapun kekerasan terhadap anak perempuan tercatat 140 kasus, kekerasan dalam rumah tangga ranah personal lain 111 kasus, dan kekerasan oleh mantan suami 90 kasus. Korban dengan rentang usia 16-24 tahun umumnya mengalami kekerasan oleh mantan pacar dan kekerasan dalam pacaran. Sementara korban usia 25-40 umumnya Berdasarkan data Komnas Perempuan dan Lembaga Layanan, pacar dan mantan pacar masih menjadi pelaku kekerasan di ranah personal urutan tertinggi sepanjang 2022 dengan masing-masing 912 dan 702 kasus.

Literasi dalam keluarga merupakan harapan terakhir kita untuk membentengi remaja dari perilaku seks bebas ketika peran negara hampir nihil. Komunikasi yang hangat dalam keluarga antara orang tua dan remaja sangat diperlukan. Mengapa ? Karena ketika remaja sudah menemukan kehangatan di dalam keluarga, Ia tidak akan mencari kehangatan di luar sana yang dapat membahayakan keselamatan jiwa dan raganya.

Adanya keterbukaan dan saling percaya antara orang tua dan anak akan meningkatkan kualitas kehangatan dalam keluarga. Saat ini mungkin remaja kita lebih banyak melakukan curahan hati (curhat) di facebook daripada mencurahkan isi hati kepada orang tua. Akibatnya, banyak remaja yang dilaporkan hilang meninggalkan rumah digondol teman dari dunia maya.

Remaja akan terbuka pada orang tua tatkala orang tua bisa memahami dunia remaja. Kahlil Gibran pernah mengatakan bahwa anak-anakmu adalah bukan anakmu melainkan anak zaman. Paradigma orang tua tentang dunia remaja tidak bisa seperti era 20 tahun yang lalu melainkan harus mengikuti perkembangan dunia remaja masa kini. Memahami bukan menghakimi. Memahami dalam rangka mendidik dan menyelamatkan remaja bukan sekedar memaklumi dan menyetujui. Memberikan solusi nyata untuk anak-anak remajanya.

Selain itu, orang tua mampu menjadi pendengar aktif. Dengarkan keluhan, aspirasi, dan masalah remaja dengan baik. Mengertilah terlebih dahulu sebelum meminta pengertian anak. Orang tua harus memahami perasaan remaja baik melalui bahasa verbal maupun non verbal. Dengan demikian remaja akan lebih menaruh pemikiran positif terhadap nasehat-nasehat yang diberikan orang tua sehingga dapat meningkatkan tanggung jawab remaja.

Ketika kehangatan dalam keluarga sudah tercipta, maka ini merupakan saat yang tepat bagi orang tua untuk memberikan pendidikan seks yang tepat bagi anak remajanya. Pengetahuan seksualitas yang diterima oleh remaja dari sumber yang benar dapat menjadikan faktor untuk memberikan dasar yang kuat bagi remaja dalam menyikapi segala perilaku seksual yang semakin menuju kematangan.

Kualitas komunikasi antara orang tua dan anak dapat menghindarkan remaja dari perilaku seksual pranikah. Mencegah perilaku seksual bebas pada remaja adalah dengan meyakinkan agar mereka merasa dicintai dan diinginkan oleh kedua orang tuanya. Studi menunjukkan bahwa orang tua yang sangat jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya menjadikan remaja lebih mengalami kecenderungan melakukan seks bebas.

“Tanggung jawab orang tua adalah tanggung jawab terberat di muka bumi. Menjadi orang tua yang sadar dan benar-benar memahami kesehatan lahir-batin anak adalah suatu tanggung jawab yang sering dihindari orang, termasuk saya, karena begitu beratnya. Jadi perilaku anak yang tak terkendali adalah akibat dari tidak adanya orang yang mampu memikul tanggung jawab membesarkan anak”. (John Lennon)

* Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image