Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ian

Kurikulum Semestinya Memang Memerdekakan

Edukasi | Friday, 24 Mar 2023, 11:49 WIB
Ilustrasi siswa belajar (Credit: jcomp on Freepik)
Ilustrasi siswa belajar (Credit: jcomp on Freepik)

Kini kurikulum sudah merdeka, setidaknya begitu kabarnya. Bukan berarti kurikulum sebelumnya belum merdeka (atau memang seperti itu maksudnya, entah lah).

Penyesuaian kurikulum terbaru oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ini melintas di pikiran saat membaca pesan dari salah seorang siswa kemarin.

Perubahan memang niscaya dalam kehidupan, tentu demikian juga halnya dengan kurikulum, meski menjalaninya yang selalu terasa sulit, bukan begitu?

Yadin, siswa di Paket C tadi, menanggapi pernyataan Lutfi Ginanjar dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dalam cuplikan video yang saya bagikan.

Mengutip laporan World Economy Forum, Lutfi mengungkapkan, “tahun 2025 akan ada sekitar 85 pekerjaan yang akan digantikan oleh mesin."

Menyikapi proyeksi tersebut, Lutfi menegaskan, "Kami di dunia usaha akan lebih memilih mesin dibanding orang."

Lutfi menyampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja Perguruan Tinggi Komisi X DPR RI pada 17 Januari 2023 lalu.

Pilihan atas mesin dibanding orang menurutnya karena, “mesin tiap tahun harganya turun, orang tiap tahun demo minta naik gajinya.”

Sementara itu, Yadin, yang meski hanya sempat menyelesaikan pendidikan formalnya sampai SMP, pernah juga bekerja sebagai buruh, karenanya berpandangan lain terhadap pendapat Lutfi tadi.

“Pak, teknologi mah tiap tahunnya berkembang, peran teknologi lama bisa diganti sama teknologi baru yang lebih canggih," ujarnya menjelaskan.

Karena itu Yadin berpendapat, "wajar bila harganya turun. Sementara manusia mah individunya yang berkembang.”

Apa yang diungkapkan Yadin rasanya ada benarnya juga, produksi teknologi baru yang pada awalnya masih terbatas, lama kelamaan akan semakin massif dan mengurangi biaya produksi.

Sementara itu, di samping pekerja manusia dapat terus mengembangkan keterampilan dan pengalamannya, kebutuhannya pun akan terus berkembang juga.

Terlepas dari perbedaan perspektif antara Lutfi dan Yadin, situasi yang diungkapkan keduanya menunjukkan tantangan berat para pekerja dan dunia pendidikan.

Fenomena tersebut menunjukkan pula relevansi penetapan Kurikulum Merdeka oleh Kemdikbud.

Melalui implementasi Kurikulum Merdeka, “pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik.” (Kemdikbud RI, 2022).

Peraturan Menteri Pendidikan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 21 tahun 2022 juga kembali menegaskan peran satuan pendidikan dalam penentuan kelulusan peserta didik.

Di atas kertas, ada semacam keleluasaan peserta didik, pendidik dan satuan pendidikan dalam mengelola kegiatan pembelajaran; mulai tahap perencanaan hingga evaluasi pembelajaran.

Sayangnya, realitas dan harapan seringkali memang tak selalu sejalan.

Sebagian pihak masih cenderung memandang bahwa perubahan kurikulum ini sekedar formalitas saja, hanya fenomena “ganti menteri; ganti kebijakan.”

Akibatnya, implementasi perubahan kurikulum ini juga seolah hanya pada kulit luar dan administratifnya saja, sementara esensi dan urgensi perubahan yang mendasarinya terabaikan.

Fleksibilitas (kemerdekaan) perencanaan, proses dan penilaian pembelajaran dalam menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan kekhasan baik peserta didik, pendidik maupun satuan pendidikan (sekolah) seolah tak menjadi perhatian utama.

Dalam implementasi Kurikulum Merdeka pada pendidikan kesetaraan seperti Paket C, sebagian pihak juga seakan enggan mendistribusikan kewenangan penilaian akhir dan penentuan kelulusan kepada satuan pendidikan.

Asesmen Sumatif yang semestinya dilakukan satuan pendidikan, diambil alih begitu saja atas nama "kesepakatan" para petinggi birokrasi pendidikan di daerah tertentu.

Bukan hanya bertabrakan dengan peraturan yang lebih tinggi, "kesepakatan" ini juga menggagalkan kesatuan proses pembelajaran dan evaluasi, yang tentunya merugikan siswa sebagai pelaku utama pembelajaran.

Belum lagi, keberadaan Asesmen Sumatif yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka, semestinya merupakan salah satu alternatif saja sebagaimana opsi yang diberikan Kemdikbud bagi satuan pendidikan.

Mereka seolah menutup mata bahwa Kemdikbud masih memberikan keleluasaan bagi satuan pendidikan untuk memilih implementasi Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, atau Kurikulum Merdeka.

Dengan demikian, keberadaan Asesmen Sumatif merupakan satu rangkaian dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Sementara implementasi kurikulum lainnya membutuhkan sistem evaluasi yang berbeda.

Ironisnya, jangankan dengan mengandaikan implementasi Kurikulum Merdeka, bahkan dengan kurikulum lama pun, penyusunan instrumen penilaian dan penentuan kelulusan yang sentralistik semacam itu sudah cukup bermasalah.

Perbedaan bahkan kesenjangan situasi dan kondisi peserta didik, pendidik juga satuan pendidikan merupakan realitas yang berlangsung sejak lama, bukan baru-baru ini saja.

Realitas ini tentu berdampak pada perbedaan proses dan capaian pembelajaran, terlebih dengan mempertimbangkan keragaman kondisi serta latar belakang peserta pendidikan kesetaraan.

Sementara siswa belajar dengan situasi dan kondisi yang berbeda-beda; baik latar belakang, daya dukung, proses maupun capaiannya, tetiba instrumen penilaian dan penentuan kelulusannya ditetapkan dari atas, bukan oleh mereka yang terlibat sehari-hari secara langsung dalam proses pembelajaran.

Mungkin ini hanya terjadi di beberapa daerah saja, dan mudah-mudahan bukan fenomena umum implementasi Kurikulum Merdeka pada pendidikan kesetaraan.

Sangat disayangkan, semangat perubahan sebagaimana mendasari lahirnya Kurikulum Merdeka lagi-lagi harus terganjal gangguan implementasinya di lapangan.

Pendidikan kesetaraan merupakan model pendidikan yang khas. Ada banyak faktor sosial ekonomi yang menyebabkan orang pada akhirnya memilih melanjutkan pendidikannya di jalur ini.

Motivasi dan kondisi anak-anak putus sekolah atau buruh seperti Yadin untuk melanjutkan pendidikannya di Paket C misalnya, akan berbeda dengan motivasi Bu Susi atau Aurel.

Perbedaan tersebut tentunya berpengaruh juga pada perbedaan kesiapan dan kesesuaian mereka untuk mengikuti moda belajar dan teknik penilaian tertentu.

Dengan demikian, dalam menjalankan fungsi administratifnya, bukankah akan lebih baik bagi pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk memberikan keleluasan kepada peserta didik, pendidik dan satuan pendidikan untuk mengelola dan mengembangkan pembelajaran yang paling sesuai dengan situasi dan kebutuhan mereka?

Proyeksi World Economy Forum sebagaimana dikutip Lutfi Ginanjar dan tanggapan Yadin di atas menjadi cermin betapa kegagapan dunia pendidikan dalam mengimbangi dinamika perkembangan teknologi dan dunia industri merupakan sesuatu nyata dan tak bisa diabaikan begitu saja.

Keragaman kelas dan kelompok sosial masyarakat kita juga merupakan realitas tak terbantahkan yang gejalanya sangat mencolok mata.

Kebutuhan atas pengembangan dan penerapan sistem pendidikan yang dapat melayani kebutuhan kelas dan kelompok sosial yang beragam tersebut juga sudah tak bisa ditunda lagi.

Semoga saja di masa depan, bukan hanya kurikulum yang dimerdekakan, tetapi manusianya juga, sehingga kelompok masyarakat marjinal seperti Yadin dapat melanjutkan pengembangan dirinya tanpa terhambat administrasi pendidikan.

Demikian juga, pembelajaran dapat benar-benar menjadi kegiatan yang bermakna bagi para pelakunya, bukan sekedar formalitas para birokrat untuk mempercantik laporan kepada atasan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image