Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image andri gunawan

SAAT GURU MENINGKATKAN KOMPETENSI LITERASI DIGITAL; APA YANG HARUS DIWASPADAI?

Guru Menulis | Monday, 20 Dec 2021, 19:34 WIB

Artikel ini saya publikasikan dengan tujuan agar guru memiliki kewaspadaan saat berupaya meningkatkan kompetensi literasi digitalnya. Sehingga dengan kewaspadaan yang dimilikinya guru tidak akan terjerembab dalam berbagai hal yang dapat merugikan baik bagi pribadinya maupun profesinya.

Kemajuan teknologi khususnya di bidang teknologi informasi telah mengubah batas-batas pendidikan. Dari kemajuan teknologi informasi tersebut , sebagian guru atau pendidik berhasil merangkul peluang dan tanggung jawab akan profesinya. Namun, ada sebagian yang lain yang tidak memiliki kemampuan untuk itu.

Internet seolah menjadi perpustakaan global bagi guru bahkan juga siswa. Dengan ujung jari, guru dan siswa dapat menambah pengetahuan dengan luas di banding sebelum era digital. Orang-orang terhubung dan terkoneksi satu dengan yang lainnya seolah tanpa ada batasan-batasan yang tegas sebagai pemisah.

Hari ini, lanskap digital terasa lebih komplek dan luas, hal itu menjadikan guru lebih sulit untuk melakukan navigasi atau mencari arah terhadap informasi-informasi yang dibutuhkannya. Bahkan lebih cenderung mudah dimanipulasi. Kemampuan untuk menavigasi lanskap ini penting untuk dimiliki guru sebagai sebuah rangkaian keterampilan multi-segi atau yang sering disebut sebagai literasi digital.

Literasi digital lebih dari sekadar kemampuan untuk mengidentifikasi informasi yang salah atau menghindari orang jahat secara online; namun berarti juga adanya partisipasi secara bermakna dalam komunitas internet, menafsirkan lanskap digital yang selalu berubah, dan membuka kekuatan internet untuk kebaikan.

Guna meningkatkan kemampuan dalam literasi digital mau tidak mau seorang guru harus berselancar dengan internet. Lalu, apa saja yang harus diwaspadai oleh guru saat berselancar di internet?

#1. Masalah privasi . Ketika identitas, informasi pribadi, dan akun terkoneksi dengan internet (misal;sebuah web), resikonya menjadi lebih tinggi terkait dengan privasi. Peretasan dan doxxing bisa dilakukan yang akibatnya rentan bagi guru. Bahkan entitas komersial yang sah dapat secara legal membagikan atau menjual informasi pribadi dalam keadaan tertentu, sehingga meningkatkan kebutuhan akan kewaspadaan. Keamanan pribadi sekarang membutuhkan pengetahuan tentang cara melindungi dari kerentanan ini.

#2. Jejak digital . Tangkapan layar, log-in, selfie, dan penandaan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang dilakukan guru. Dengan dokumentasi yang intens, terkadang tidak disengaja, membanjiri lanskap digital, guru sebagai pengguna internet harus memahami konsekuensi dari apa yang dibagikan, sering disebut sebagai jejak digital. Menghapus postingan atau menghapus tanda foto sering tidak berarti menghapus aktivitas internet. Dan itu dapat memiliki dampak yang bertahan lama pada semua orang yang terlibat.

#3. Perilaku online yang tidak beradab . Tidak semua pengguna internet memiliki pedoman untuk berpartisipasi, sebagian besar mungkin banyak yang tidak memiliki pedoman. Oleh karena itu guru sebagai pengguna internet memerlukan alat untuk melawan ucapan dan perilaku yang tidak beradab, dan untuk memahami konsekuensi dari melakukan tindakan tidak beradab secara online, termasuk penindasan, pornografi, kekerasan, plagiariesme, dan ujaran kebencian.

#4. Berita palsu . Produsen di internet sangat pandai mencari tahu jenis cerita apa yang mendapatkan banyak klik, memungkinkan mereka untuk menarik perhatian publik dan menjual ruang iklan yang menguntungkan. Kemampuan untuk memanipulasi perilaku pengguna di web telah menyebabkan penyebaran informasi palsu dan menyesatkan. Terkadang informasi ini di posting secara tidak sengaja, terkadang dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan, dan terkadang juga untuk mendapatkan perhatian, bahkan ada yang digunakan untuk mempromosikan agenda politik. Guru sebagai pengguna internet membutuhkan keterampilan untuk berpikir kritis tentang sumber online dan mengevaluasi keandalannya.

#5. Penipuan internet . Serupa dengan kebutuhan untuk dapat mengevaluasi pesan online dan ajakan bertindak, guru sebagai pengguna internet perlu waspada terhadap penawaran yang dirancang untuk mengeksploitasi kepercayaan finansial atau melanggar keamanan pribadi. Jangan sampai seorang guru menjadi korban penipuan atau menjadi pelaku penipuan di internet.

#6. Ruang gema . Internet mendorong orang menjadi semakin partisan dan terpecah belah dengan memaparkan pengguna pada konten yang memperkuat keyakinan mereka yang ada. Guru sebagai pengguna internet membutuhkan keterampilan untuk melawan polarisasi informasi, terutama polarisasi sosial politik.

#7. Kekhawatiran legitimasi . Pasar online menghargai popularitas. Penyedia berita dan konten, mesin pencari, situs media sosial, dan pengiklan semuanya menginginkan jumlah penayangan yang tinggi, dan cerita dengan kecenderungan partisan yang ekstrem, humor, atau meme cenderung menyebar atau “menjadi viral”. Namun, konten yang diklik tidak selalu akurat atau berkualitas tinggi. Guru sebagai pengguna internet membutuhkan keterampilan untuk membedakan antara perhatian yang diterima suatu item dan manfaat sebenarnya dari item tersebut.

#8. Munculnya berbagai propaganda. Propaganda dan ujaran kebencian seolah hal yang lazim ditemukan di internet, bahkan diselimuti humor, ironi, atau pseudosains. Terdapat banyak pesan palsu yang berisi propaganda dan perekrutan dalam berbagai hal yang seolah menggiurkan. Guru sebagai pengguna internet perlu mewaspadai dan teliti terhadap berbagai macam propaganda yang seolah menguntungkan.

#9. Radikalisasi online . Ideologi ekstrem sering kali hadir di internet, guru sebagai pengguna perlu dilengkapi dengan pemikiran kritis dan keterampilan penelitian yang akan mencegah jatuh ke konten yang semakin ekstrem. Guru yang tidak dapat membedakan informasi yang baik dari yang buruk tetap lebih rentan terhadap perekrutan oleh kelompok kebencian.

#10. Ilusi pilihan. Internet menawarkan akses mudah ke berbagai informasi dan berita, itu menjadi tantangan untuk dinavigasi. Guru sebagai pengguna internet membutuhkan mata yang baik untuk sumber terpercaya dan kemauan untuk menyelam jauh ke dalam sumber dan menentukan apa yang benar dan apa yang tidak.

#11. Bias konfirmasi : Kecenderungan untuk lebih bersedia atau cenderung mempercayai informasi yang mendukung apa yang sudah kita yakini sebagai kebenaran. Bias konfirmasi membuat lebih sulit untuk memeriksa fakta narasi palsu yang menjadi viral, terutama bagi pembaca yang menemukan bahwa narasi palsu sesuai dengan keyakinan mereka yang sudah ada sebelumnya. Bias ini juga mempersulit orang untuk mendengarkan perspektif dan suara di luar budaya mereka dengan cara yang berempati dan berpikiran terbuka. Guru sebagai pengguna internet perlu memiliki rumus dan strategi untuk menangkal situasi dari bias konfirmasi.

#12. Illusion of explanatory depth. Kecenderungan untuk percaya bahwa kita tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya kita lakukan. Kecenderungan untuk memercayai pengetahuan kita—bahkan ketika seharusnya tidak—dapat menghambat kemampuan kita untuk memeriksa fakta, membuat koneksi, atau meneliti topik yang kita pikir kita pahami. Jika kita tidak berpikir kita perlu melihat lebih jauh ke dalam sesuatu, kita tidak akan melakukannya. Hal ini menyebabkan pemahaman yang terbatas. Ini juga memudahkan manipulator media untuk menjajakan mis-informasi yang dirancang dengan cerdik. Guru sebagai pengguna internet perlu memiliki rumus dan strategi untuk menangkal situasi dari Illusion of explanatory depth, sehingga tidak merasa bahwa saya paling tahu.

#13. Efek Dunning-Krueger : Bias kognitif yang membuat orang dengan keterampilan atau pengetahuan terbatas secara keliru percaya bahwa kemampuan mereka lebih besar daripada yang sebenarnya. Kebanyakan orang percaya bahwa mereka diperlengkapi untuk menangani luapan informasi di internet dan melebih-lebihkan kemampuan mereka untuk mengendus cerita palsu atau tajuk berita yang menyesatkan. Siswa dan orang dewasa sama-sama merasa lebih melek digital daripada yang sebenarnya ditunjukkan oleh perilaku online mereka. Ini berarti bagian dari tantangan mengajar literasi digital adalah meyakinkan orang bahwa mereka membutuhkan informasi atau bahwa mereka adalah bagian dari masalah.

#14. Ilusi pemahaman : Sebuah bias kognitif yang terjadi ketika orang salah mengira keakraban atau kesadaran untuk pemahaman yang sebenarnya. Juga disebut "efek keakraban. Bias kognitif ini memiliki dua implikasi besar di internet. Pertama, orang sering salah mengira kesadaran tingkat permukaan untuk pemahaman yang lebih dalam, membuat mereka cenderung tidak melihat lebih dekat pada topik yang telah mereka lihat. Hal ini sering menyebabkan orang mengambil posisi kuat pada topik yang sering mereka dengar, tetapi sebenarnya hanya sedikit yang mereka ketahui. Kedua, ini mengarahkan konsumen dalam ekonomi perhatian untuk menerima kesalahan informasi yang berulang atau yang sudah dikenal sebagai informasi faktual . Semakin banyak teori konspirasi atau cerita palsu diulang oleh penyedia konten, semakin banyak teori atau cerita tersebut menjadi akrab bagi pengguna internet, meningkatkan kemungkinan otak mereka akan menerimanya sebagai fakta. Guru sebagai pengguna internet harus waspada dan memiliki kemampuan untuk menghindarkan diri dari ilusi pemahaman.

Andri Gunawan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image