Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Persimpangan Jalan Demokrasi dan Tatanan Otoritatif

Politik | Monday, 20 Mar 2023, 07:57 WIB
Sebagai negara yang pluralistik, Indonesia sarat akan konflik karena kemajemukan yang ada. Foto: Republika

Perjalanan panjang Indonesia mengajarkan kita tentang arti kemajemukan dan keanekaragaman sebagai bangsa dan negara. Setelah 32 tahun otoritarianisme berakhir, Indonesia kini merasakan kran demokrasi yang kian terbuka lebar. Saking lebarnya, muncul kesan Indonesia mulai menerapkan sistem demokrasi liberal. Faktanya, kebebasan yang luar biasa tidak selalu menguntungkan negara. Oleh sebab itu, pendulum kebebasan yang saat ini bergerak ke arah yang sangat liberal, harus menjalani koreksi alamiah.

Apa itu koreksi alamiah? Secara singkat, artinya demokrasi tidak diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Harus ada proses intervensi, yang berarti intervensi sistem, kepemimpinan dan koreksi yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Indonesia membutuhkan langkah ini untuk meredam kebebasan kebablasan, yang kita rasakan dampak negatifnya dalam kurun waktu belakangan ini.

Tentunya, intervensi menjadi tatanan otoritatif yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dari situ, akan hadir keseimbangan yang semakin mendewasakan kita sebagai negara dan bangsa yang besar. Indonesia memiliki kisah panjang, menyangkut pasang surut dan dinamika kehidupan demokrasi.

Sebagai negara yang pluralistik, Indonesia sarat akan konflik karena kemajemukan yang ada. Indonesia yang memiliki riwayat konflik ideologi, konflik politik, dan konflik sosial, harus memiliki sebuah sistem yang benar-benar sesuai. Mempraktikan demokrasi liberal, bahkan sangat liberal, akan bertentangan dengan kondisi riil bangsa ini. Tetapi, kembali pada sistem otoriter, yang membungkam kebebasan, hak asasi manusia dan demokrasi, akan menyimpan ledakan-ledakan baru di masa akan datang.

Untuk itu, dibutuhkan keseimbangan antara demokrasi yang liberal dengan tatanan yang otoritatif, meski bukan otoritarianisme. Keseimbangan yang dibangun adalah sistem dan model demokrasi yang di satu sisi, demokrasi, hak asasi manusia dan civil society terus dikembangkan. Namun, di sisi lain, stabilitas, keamanan dan tertib sosial juga harus dipertahankan. Itulah yang harus dibangun dan dikembangkan di negara ini, yakni lebih dari sekedar norma konvensional dari sebuah kehidupan demokrasi. Norma yang berangkat dari ideologi nasional yang kuat, dengan tujuan adalah integrasi bangsa dan negara.

Ideologi & Integrasi Nasional

Negara yang amat heterogen, seperti Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam membangun persatuan, harmoni dan kerukunan hidup masyarakat. Konflik etnopolitis dan religiopolitis sering menyulut perang saudara, bahkan termasuk di Indonesia. Atas dasar realitas tersebut, dibutuhkan upaya serius berbasis ideologi yang dapat menyatukan atau integrasi wilayah Indonesia.

Disebut integral, jika wilayahnya utuh, tidak ada pertikaian ideologis yang mendalam, dan kehidupan sosialnya rukun serta harmonis. Penulis menggagas perlunya kesatuan ideologi yang lebih terbuka. Era reformasi menyadarkan bahwa Pancasila telah menjadi penyelamat bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari tiga dasawarsa. Tetapi, sakralisasi dan penggunaan secara berlebihan dari ideologi negara dalam format politik Orde Baru, juga membuahkan kritik dan protes.

Selain itu, ideologi negara mendapat tantangan dari dunia internasional. Gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisme, universalisme dan globalisasi bisa meminggirkan Pancasila. Sebaliknya, kehadiran nilai universal itu bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang dianggap sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman.

Untuk mempertahankan integrasi nasional, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, jangan dijauhkan dari realitas kehidupan masyarakat. Pancasila perlu dijadikan kendali moral, dan bukan alat justifikasi terhadap format kekuasaan dengan kepentingan politik. Kalau ini terwujud, rakyat Indonesia akan mencintai ideologi negaranya, dan menolak hadirnya ideologi lain yang justru diduga bisa menimbulkan perpecahan.

Untuk menjaga keutuhan NKRI, Pemerintah harus mendengar apa yang menjadi keluhan, tuntutan dan aspirasi rakyat. Respon yang diberikan harus mencerminkan keadilan dan kebesaran sebuah negara kebangsaan yang majemuk. Kalau ini bisa terwujud, rakyat tentu tidak akan meronta atau berteriak. Sebaliknya, rakyat akan tenang berhimpun dalam balutan NKRI.

Integrasi sosial pun akan terbangun manakala rakyat dan Pemerintah memiliki ikatan. Model kebijakan integrasi sosial harus lebih menyentuh bidang ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan dan aspek kehidupan lainnya. Pemerintah harus adil dan komprehensif, mampu memberdayakan, dan meletakkan masyarakat sebagai subyek. Selain itu, Pemerintah harus mampu memperpendek kesenjangan sosial ekonomi yang saat ini sangat menganga lebar.

Bertolak dari kerangka berpikir di atas, dibutuhkan frame work yang seharusnya dibangun dalam memperkukuh integrasi nasional menyangkut lima faktor penting. Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran serta kehendak untuk bersatu. Kedua, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus atau kesepakatan antar elemen masyarakat.

Ketiga, membangun kelembagaan yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan integrasi nasional tidak hanya dilakukan secara struktural, tetapi juga kultural. Keempat, merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan rasa keadilan bagi semua pihak.

Kelima, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal ataupun informal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk terus membina dan memantapkan integrasi sosial.

Lima poin penting di atas menjadi barometer bagi terlaksananya keseimbangan antara demokrasi dan tatanan otoritatif Pemerintah. Dengan demikian, demokrasi yang kita anut bukan model kebebasan tanpa batas, yang pada akhirnya akan merugikan diri kita sendiri. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image