Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Ngaji Saklawase

Agama | Saturday, 18 Mar 2023, 10:14 WIB

Ngaji Saklawase

Oleh: Dhevy Hakim

“Saya lihat ibu-ibu itu ya, maaf ya, sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf, jangan lagi nanti saya di-bully, kenapa to seneng banget ngikut pengajian ya? Iya loh, maaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu, iki pengajian ki sampai kapan toh yo? Anak e arep diapakke (anaknya mau diapakan)? Iya dong? Boleh, bukan berarti nggak boleh, boleh, saya pernah pengajian kok."

Kalimat tersebut adalah pernyataan ibu Megawati mengenai ibu-ibu yang suka pengajian. Pernyataan ini disampaikan saat acara ‘Kick Off Pancasila dalam Tindakan Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting’ beberapa waktu lalu. Video yang berisikan pernyataan beliau pun langsung viral di berbagai media sosial.

Melansir dari detik com (23/03/2023) Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memberikan pembelaan kepada ibu Megawati. Menurutnya pernyataan Megawati saat memberikan sambutan pada acara yang bertemakan stunting itu haruslah dilihat secara keseluruhan. Titik tekannya adalah pada keterlibatan ibu-ibu dalam pendidikan anak untuk bersiap-siap menghadapi bencana, tentang pendidikan anak, tentang gizinya, tentang pendidikan anak yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya melalui basis keluarga untuk menjadi pemimpin-pemimpinan masa depan, basisnya keluarga, bukan pada masalah pengajiannya.

Sekalipun dikatakan tidak mempermasalahkan pengajiannya tapi pernyataan semacam itu tidak pas disampaikan oleh seorang tokoh politik terlebih beliau menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Kenapa?

Pertama sebagai seorang intelektual semestinya pernyataan selalu didasarkan pada sebuah data. Dalam konteks sambutan pada saat pembahasan stunting, kenapa harus disinggung ibu-ibu pengajian? Apa yang mendasari pernyataan tersebut? Padahal jika ditelaah masalah stunting itu berkaitan dengan anak-anak di usia 6-23 bulan, faktanya ibu-ibu pengajian selalu membawa anaknya yang berumur seusia itu. Di sisi lain data menunjukkan angka prevalensi stunting itu adalah di Maluku yang notabene bisa diindera bukanlah basis ibu-ibu pengajian.

Kedua sebagai seorang negarawan semestinya paham bahwa hak beragama mendapatkan jaminan secara konstitusi. Sangat sensitif mengaitkan stunting dengan pengajian. Padahal pengajian adalah salah satu sarana bagi seorang muslim untuk menjalankan kewajibannya yakni menuntut ilmu agama.

Ketiga sebagai seorang muslim juga semestinya memahami bahwa menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi) adalah kewajiban seorang muslim. Hukumnya adalah fardhu ‘ain sebagaimana kewajiban sholat lima waktu yang hukumnya juga fardhu ‘ain. Semestinya tidak patut mempertanyakan sampai kapan pengajian ini akan selesai. Jawabannya jelas selawase (selamanya).

Sedangkan pengajian sendiri adalah sarana tarbiyah, belajar mencari ilmu agama. Dan majelis ilmu sendiri dalam hadis disebutkan sebagai taman-taman surga. Bahkan saat hati berniat, kaki melangkah mendatangi majelis ilmu setiap do’a diaminkan oleh para malaikat.

Wajarlah ibu-ibu merasa nyaman saat mendatangi majelis ilmu. Bawaannya adem mendengarkan nasehat dari para ustadz ustadzah. Duduk satu jam dua jam tidak akan terasa. Tak luput masalah kekinian ibu-ibu dapatkan informasi beserta solusinya. Bahkan majelis ilmu menjadi sarana training maupun healing ibu-ibu.

Oleh karenanya posisi pengajian sejatinya sangatlah penting. Pengajian membuat ibu-ibu mendapatkan ilmu untuk berumah tangga, parenting, hingga ilmu syari’ah mengenai politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, tata pergaulan dalam Islam dan lainnya. Mengingat Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna tentu tidak akan habis dikaji sepanjang umur manusia.

Di sisi lain melihat data angka perceraian, kekerasan terhadap anak, KDRT, bahkan bunuh diri yang dari ke hari semakin meningkat maka adanya pengajian justru membantu negara dalam menghentikan problem tersebut. Maraknya pengajian yang saat ini semakin kreatif pengemasannya bahkan tidak ketinggalan mengikuti perkembangan teknologi yakni dengan memanfaatkan sosial media misalnya tidak boleh disempitkan dengan pikiran negatif semisal kekhawatiran merongrong NKRI dsb.

Negara semestinya justru memberikan apresiasi dan memberikan apresiasi terhadap penyelenggara pengajian. Termasuk pula tokoh politik maupun para pejabat yang muslim menjadi garda terdepan dalam memberikan contoh dalam menghidupkan taman-taman surga seperti majelis-majelis ilmu dan forum-forum pengajian. So, bila ada yang tanya sampai kapan pengajian ini? Tentu saja saklawase.

Wallaahua'lam bis shawwab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image