Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatimah Azzahra

Rendahnya Mental Health Rakyat, Tanggungjawab Siapa?

Gaya Hidup | Thursday, 16 Mar 2023, 14:45 WIB

Bunuh diri jadi salah satu fenomena yang banyak terjadi kini. Semua kalangan manusia tak pandang usia, pendidikan, keluarga, keadaan ekonomi, semua bisa terjebak oleh keinginan bunuh diri. Ada apakah ini?

Rendahnya Mental Health Rakyat

Dilansir dari laman Republika.co.id (13/3/2023), beberapa hari menjelang wisuda, mahasiswi Universitas Indonesia (UI) berinisial MPD (21 tahun) diduga tewas bunuh diri. Dia meloncat dari lantai 18 di sebuah apartemen di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (8/3) lalu sekitar pukul 23.45 WIB. Sebelum mengakhiri hidupnya, korban diduga sudah berpamitan ke keluarga dan teman-temannya via Instagram story.

Di Bantul, warga digegerkan oleh NS, lelaki berumur 38 tahun ditemukan gantung diri di dapur rumahnya. Menurut keterangan keluarga, NS baru satu minggu yang lalu pulang dari bekerja sebagai tukang bangunan di Bogor Jawa Barat. Informasi dari tetangga, NS terlihat ada gangguan psikis. (sindonews.com, 10/3/2023)

Dilansir dari BBC Indonesia (25/1/2023) , sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia. Inna lillahi.

Diakui atau tidak, fenomena bunuh diri di negeri ini sudah Merajalela. Ini jadi salah satu bukti rendahnya Mental health rakyat.

Faktor Penyebabnya

Ada sebab ada akibat. Takkan mungkin mental health rakyat bermasalah tanpa adanya penyebab. Ada berbagai faktor yang bisa menjadi penyebab rendahnya Mental Health Rakyat.

Pertama, kurangnya akses agama. Berapa banyak jam pelajaran agama yang diberikan kepada anak sekolah hingga perkuliahan? Sedikit sekali. Padahal, keimanan jadi landasan penting tentang keyakinan bahwa Allah ada bersama kita, Allah sayang kita. Sayangnya, yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan agama justru terasa jauh dari aplikasi kehidupan. Sehingga banyak merasa yang tak penting akan agama, tak perlu dengan agama.

Apalagi memang sistem saat ini menerapkan sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan. Hasilnya, banyak manusia yang beragama, termasuk menyandang identitas muslim, tapi minim pengetahuan, pemahaman tentang agamanya sendiri. Tak merasa agamanya jadi Solusi juga kerap merasa sendiri. Hingga akhirnya terpikirkan mati bunuh diri.

Kedua, evaluasi kurikulum. Maraknya bunuh diri yang dilakukan orang terdidik harusnya jadi evaluasi terhadap kurikulum yang ada. Betapa bagusnya nilai akademis seseorang tak berkorelasi dengan kemampuan memecahkan permasalahan hidupnya.

Terlihat jelas arah tujuan pendidikan saat ini, yakni menjadi pekerja. Sementara ketangguhan pembentukan karakter tidak menjadi prioritas. Padahal, ini menjadi hal yang penting bagi generasi.

Ketiga, pola Asuh yang salah. Bukan hanya salah kurikulum, tapi institusi keluarga pun berpengaruh, khususnya orangtua. Dengan cetakan sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan. Lahirlah orangtua yang merasa agama tak penting, bahkan kehidupannya jauh dari tuntunan agama. Hidupnya mengikuti tren dan arus yang ada. Memandang dengan kacamata standar ala sekularisme dan kapitalisme. Semua bertumpu pada materi.

Sukses disandarkan pada perolehan materi. Kemuliaan diukur dengan materi. Semuanya dipandang dengan kacamata duniawi. Bagaimana dengan yang tidak Allah berikan materi berlimpah di dunia?

Banyak yang akhirnya merutuki keadaan. Dari mulai malu, berpura-pura, melakukan kejahatan sampai menghimbau untuk tidak melahirkan anak jika terpuruk dalam kemiskinan.Wajar jika banyak yang merasa lebih baik tidak ada di dunia. Lebih baik pergi daripada jadi beban atau hambatan keluarga.

Sahabat pun jarang yang tulus datang. Karena kapitalisme menjadikan manfaat sebagai asas, termasuk dalam pertemanan. Muncul toxic friend juga bullying dalam lingkungan pertemanan.

Semuanya melahirkan generasi yang rapuh mentalnya.

Islam Selamatkan Mental Health Rakyat

Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki pandangan yang khas tentang isu mental Health ini. Para ulama terdahulu pun sudah memiliki concern tentang mental health.

Ada beberapa hal yang bisa diikhtiarkan agar menjadi solusi bagi isu mental health ini. Pertama, mendekatkan agama dalam kehidupan. Islam diturunkan sebagai sistem kehidupan. Tak sperti sekular yang memisahkan, justru islam hadir membimbing kita dalam mengarungi kehidupan. Sehingga akidah islam dijadikan asas atas semua hal.

Dalam berperilaku, bermuamalah, berkeluarga, bertetangga, semuanya dilakukan dengan landasan keimanan pada Allah swt. Sehingga semua muslim akan merasa dekat dengan Rabbnya, merasa kehadiran Allah dalam setiap helaan nafasnya, juga rida terhadap semua ketetapan yang Allah berikan padanya.

Kedua, membangun kurikulum islam. Tak hanya dalam kehidupan secara umum. Kurikulum pendidikan pun akan dibangun berdasarkan akidah islam. Sehingga akan lahir pribadi pelajar yang tak hanya cerdas dalam akademis tapi juga beriman dan bertakwa pada Allah swt. Lahirlah para pemuda berakhlak mulia.

Ketiga, membangun pola Asuh islam. Allah berikan ketetapan bahwa hadlanah anak menjadi tanggung jawab ibu. Tak sembarangan dalam mendidik, islam ajarkan bagaimana menanamkan akidah islam sejak dini. Bahkan sejak masa konsepsi. Kolaborasi antara ayah dan ibu jadi penopang pola Asuh bagi anak. Seperti halnya Rasulullah pun ikut terlibat dalam proses pendidikan anak-anaknya, juga anak-anak kaum muslim.

Dialog keimanan menjadi keseharian. Mengajak anak untuk melihat, mentadaburi ciptaan Allah sehingga menemukan Allah Yang Maha Kuasa, Maha Pengatur, Maha Besar. Harapannya akan lahir anak-anak yang beriman dan bertawakal pada-Nya. Tak merasa ujub sombong jika berhasil memperoleh sesuatu, tak merasa depresi jika kenyataannya tak sesuai ekspektasi. Selalu berprasangka baik pada ilahi rabbi.

Semuanya bukan hanya teori, tapi pernah diterapkan secara praktis sebagai sistem kehidupan yang menyolusi. Sehingga muncullah manusia yang sibuk dalam kebaikan, sibuk berijtihad, menggali hukum syara, menulis buku, hingga berjihad. Sebut saja Shalahuddin Al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, Al Khawarizmi, Abbas Ibnu Firnas, Maryam Al Astrulabi, dan masih banyak lainnya. Semuanya menyibukkan diri dengan amal sholeh. Semua berlomba menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain. Semuanya bertawakal menyerahkan urusan kehidupannya pada Allah swt.

Inilah potret gemilang penerapan islam. Insyaallah kemenangan akan kembali datang. Mari bersiap ambil bagian peran. Wallahua'lam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image