Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fa'iz Azmi Fauzia

Gender Mainstreaming di Dunia Pendidikan

Pendidikan dan Literasi | Thursday, 09 Mar 2023, 10:06 WIB

Keikutsertaan Indonesia sebagai salah satu peserta Kongres Wanita Sedunia Ke-4 di Beijing Tahun 1995, secara eksplisit Indonesia menerima mandat untuk mengimplementasikan gender ke dalam pembangunan. Artinya menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan.

Fakta dilapangan sampai saat ini masih menunjukkan bahwa kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun sudah diupayakan dengan berbagai strategi dan pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai karena pendekatan pembangunan yang dikembangkan belum mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidak adilan gender yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender.

Indikator yang dipakai untuk melihat dan mengukur kesenjangan tersebut digunakan Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). Fakta ketidakadilan gender dalam diperkuat dengan adanya Human Development report tahun 2002 yang menunjukkan GDI masyarakat Indonesia Indonesia masih menempati urutan 91 dari 173 negara dan HDI Indonesia yang berada pada peringkat 110 dari 173 negara. Oleh karena itulah berbagai strategi yang dapat meningkatkan pemberdayaan perempuan terus dikembangkan seperti strategi terakhir yaitu strategi pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming).

Permasalahan Gender di Dunia Pendidikan

Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh pendidikan masih dapat dipahami dan dianggap wajar, jika perbedaan tersebut masih terbatas karena perbedaan jenis kelamin. Yang menjadi permasalahan adalah terjadinya perbedaan karena adanya efek diskriminasi gender (gender discrimination effects), yaitu perbedaan kesempatan atau perilaku antara perempuan dan laki-laki dalam sistem pendidikan, dan perbedaan itu menyebabkan terjadinya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki.

Efek diskriminasi gender tersebut mungkin saja tidak sengaja diciptakan atau disebabkan oleh tindakan seseorang atau kelompok orang, tetapi terkonstruksi oleh nilai-nilai sosial-budaya patriarki yang cenderung masih dianut oleh masyarakat yang dalam banyak hal masih terlegitimasi dalam kebijakan, program, peraturan, mekanisme, dan prosedur baku.

Gender Mainstreaming atau Pengarusutaamaan adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya.

Pengarusutamaan gender dalam pendidikan bukanlah sebuah program yang semata-mata ditambahkan secara khusus (add-on). Salah satu strategi pokok dan langkah pertama dalam membangun kesetaraan gender di lingkungan perguruan tinggi adalah menjadikan perspektif gender sebagai arus utama. Strategi ini harus dilakukan pada semua lini dan tahapan penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan, penganggaran, implementasi, evaluasi dan monitoring program. Menjadikan perspektif gender sebagai arus utama dengan memperhatikan dan mempertimbangkan perbedaan, kebutuhan, pengalaman, dan aspirasi laki-laki juga perempuan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image