Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Instagram, Ketika Kedengkian Berubah Menjadi Kemarahan

Gaya Hidup | Tuesday, 28 Feb 2023, 13:46 WIB

INSTAGRAM, KETIKA KEDENGKIAN BERUBAH MENJADI KEMARAHAN

“Follow akun IG gue ya, please!” seru seorang remaja kepada temannya.

“Boleh dong share akun IG-nya”, kata seorang member group di sebuah chat.

Saya yakin, para pembaca yang budiman memiliki akun di Instagram. Salah satu platform media sosial yang sedang digrandrungi, terutama oleh kawula muda. Ciri utama media sosial ini adalah kontennya berupa visual (foto maupun video). Untuk konten foto, disediakan berbagai fitur untuk “menyulap” foto biasa menjadi lebih bagus dan menarik. Dalam arti, misalnya yang kurang cantik bisa terlihat lebih cantik, yang berkulit gelap atau hitam bisa tampak lebih putih dan bersih, dan sebagainya.

Adapun tujuan seseorang membuat akun di Instagram beraneka ragam. Ada yang tujuannya untuk keperluan bisnis, seperti promosi produk/jasa, berjualan, atau edukasi produk, branding perusahaan, dll. Ada yang bertujuan untuk melakukan edukasi, seperti berbagi tips, how to, atau materi-materi dengan tema tertentu. Ada pula yang bertujuan untuk berdakwah, misalnya mengutip ayat-ayat kitab suci, kata-kata mutiara penyejuk iman, ceramah agama, dan sebagainya.

Satu lagi, Instagram digunakan sebagai media “pamer”. Pamer dalam hal wajah (tampan, cantik), bodi (kekar, macho), harta-benda (rumah, kendaraan, perhiasan, properti lainnya), dan masih banyak lagi. Yach .. kalau memang benar adanya sih tidak masalah. Lha kalau hanya sebuah kesan yang sengaja dibuat untuk “mengelabui” follower-nya, nah ini yang akan saya bahas.

Banyak sekali orang yang berupaya sedemikian rupa agar bisa terlihat tampan atau cantik di IG. Sebagian lagi berfoto di dekat kendaraan mewah. Berselfie di tempat yang indah. Mengunggah kemesraan dengan pacar atau pasangan. Menampilkan pakaian, perhiasan, aksesori, gadget, yang bermerk dan mahal. Intinya, orang ingin sekali terlihat “kaya” dan lebih dari yang lain.

Bagi orang awam dan tidak peka, tentu mereka akan silau melihat segala yang tampak wah dan glamour itu. Hal ini membuat orang-orang ingin seperti mereka juga. Mereka meniru, ikut-ikutan, dan selalu terdorong mengikuti tren. Muncul manusia-manusia yang minim kreativitas.

Padahal, senyatanya sebagian besar konten di IG adalah fatamorgana. Seakan-akan segalanya terlihat tampan, cantik, mewah, indah, memukau, menarik, mengagumkan, seperti surga dunia. Coba saja bertemu langsung (tatap muka) dengan mereka, lihat kondisi sebenarnya, cek keadaan riil di lapangan. Penulis sangat yakin – haqqul yaqin – bahwa kita akan merasa kecewa atau kaget.

sumber gambar: https://katadata.co.id

Berhentilah Mem-Follow Akun-Akun Selebgram

Kecenderungan orang Indonesia adalah senang sekali mem-follow akun-akun selebgram. Mereka ingin sekali mengetahui kabar terbaru dari orang-orang yang menjadi pujaan hatinya. Mereka memantau hal-hal detail segala aktivitas Selebgram. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, hobi, gaya hidup, dll.

Tanpa disadari, kegiatan tersebut menimbulkan rasa iri-dengki di dalam hati kita. Kemudian muncul pikiran maupun perasaan, seperti: mengapa saya tidak secantik atau setampan mereka, mengapa saya tidak sekaya mereka, mengapa saya tidak bisa seperti mereka. Semakin hari, sifat iri-dengki semakin bertambah kuat. Dari awalnya mereka memuji, mengagumi, menyanjung, atau bahkan mendewakan mereka; kini sikap mereka berubah menjadi ketidaksukaan dan kebencian.

Dimulai dari rasa benci inilah, pada puncaknya akan mewujud kepada tindakan nyata. Para penggemar ini dengan sengaja mencari-cari kelemahan atau kesalahan dari para Selebgram pujaan mereka, sekecil apapun itu. Ketika mereka sudah berhasil menemukannya, mereka akan melakukan bullying.

Bullying dari level sederhana berupa caci-maki, celaan, hujatan, hinaan, cemoohan hingga level tertinggi seperti ancaman atau fitnah. Sudah banyak artis-artis papan atas negeri ini yang mengalami hal ini. Bahkan, beberapa di antaranya yang kasusnya masuk di Pengadilan.

Lebih dari itu, ada peristiwa tertentu yang menimpa seorang artis, membuat warganet menjadi marah secara massal, atau bisa kita sebut sebagai collective angry. Kemarahan yang tentu tidak datang secara tiba-tiba. Kemarahan yang diawali dari rasa iri-dengki. Misalnya ketika seorang artis melakukan tindak pidana. Sebelum diproses di Pengadilan dan menerima vonis hukuman, warganet sudah menghukumnya di media sosial (social punishment).

Batasi Penggunaan Instagram

Kasus perundungan siber (cyber-bullying) baik yang menimpa para artis maupun yang menimpa kepada diri kita sendiri lebih banyak terjadi di Instagram dibanding platform media sosial lainnya. Menurut Ismail Fahmi dari Drone Emprit mengatakan bahwa alasan utama seseorang terkena perundungan siber adalah PENAMPILAN. Kalau di Twitter, penampilan tidak penting, bahkan banyak yang anonim. Kalau di Instagram, penampilan adalah “segalanya”.

Sedangkan menurut lembaga donasi anti-bullying, Ditch the Label, perundungan juga lebih banyak terjadi di Instagram dan korbannya lebih banyak menimpa kaum remaja.

Oleh karena itu, cara bijaksana dalam mengatasi perundungan adalah dengan melakukan pembatasan, tidak sampai harus meng-uninstall aplikasinya. Pembatasan di sini maksudnya adalah hanya memposting konten-konten yang positif dan konstruktif. Hindari memposting konten-konten remeh-temeh, narsis, lebay, atau konten yang dapat memicu kontroversi atau berpotensi menimbulkan perundungan.

Kita tidak dapat mengendalikan konten-konten yang diunggah pengguna Instagram lain, maka yang dapat kita kendalikan adalah konten-konten kita sendiri. Sekiranya postingan orang lain lebih banyak mudlaratnya daripada manfaatnya, tidak ada salahnya kalau kita melakukan unfollow. Bahkan, jika dirasa sudah cukup mengkhawatirkan atau membahayakan, lebih baik kita blokir saja.

Kita tidak ingin, Instagram menjadi sumber iri-dengki atau bahkan pemicu kemarahan kolektif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image