Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD ABDUL AZIZ

Paradigma Mi'raj dan Solusi Konflik Kebangsaan

Agama | Sunday, 26 Feb 2023, 00:43 WIB

Periode 2018 – 2019, hampir setiap dua bulan Penulis terbang bolak-balik dari Surabaya ke Kuala Lumpur. Dari balik kaca pesawat, beberapa menit setelah pesawat lepas landas, tampak dari ketinggian betapa kecil pohon besar yang menjulang di sepanjang jalan raya. Perumahan dan persawahan yang demikian besar dan luas dalam pandangan kita di bumi menjadi seumpama hamparan sajadah dengan petak-petak kecil mozaik di atasnya.

Terlebih lagi manusia. Betapa pun imajinasinya tak terbatas, pencapaian peradabannya juga semakin canggih, tidak terkecuali nafsu dan penyakit hati liarnya yang kadang kala melahirkan tragedi kemanusiaan berabad-abad, seorang manusia tidak lain hanya sebintik kutu di hamparan sajadah tersebut. Hampir tidak terlihat.

Selain penyelesaian urusan akademik, hal inilah yang Penulis dapatkan dari pengalaman penerbangan tersebut; kesadaran tentang arti penting melihat sesuatu dari ketinggian. Kesadaran inilah yang sesungguhnya dapat kita eksplorasi dalam momen Isra’ Mi’raj yang sedang kita peringati hari-hari ini.

Paradigma Mi’raj

Dalam kesarjanaan Islam, isra’ yang bermakna pemerjalanan difahami sebagai perjalanan Rasulullah Saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha atas perintah Allah Swt. Adapun mi’raj yang berarti tangga merupakan kelanjutan dari isra’ itu sendiri yaitu tangga menuju ketinggian dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha.

Dalam Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan bahwa pada tahun ke-10 kenabian, Rasulullah Saw kehilangan dua pembela utama dakwahnya; Abu Thalib dan Siti Khadijah yang merupakan paman dan istrinya sendiri. Hal ini merupakan pukulan hebat bagi dakwah Rasulullah Saw. Sedemikian hebat penderitaan tersebut sehingga momen itu disebut Tahun Kesedihan (‘am al-huzn).

Tidak lama setelahnya, Rasulullah Saw kemudian mengalami apa yang disebut Isra’ Mi’raj. Dalam konteks Mi’raj itu sendiri, dapat difahami bahwa Allah Swt seakan ingin mengajarkan bagaimana cara menghadapi sebuah permasalahan. Jika suatu masalah tidak kunjung selesai, maka yang harus dilakukan adalah dengan menaikkan lebih tinggi payung analisis terhadap terhadap masalah tersebut. Dengan langkah tersebut, berbagai aspek dan fakta lain akan muncul sehingga hati menjadi lapang.

Akan terlihat bahwa segala yang diterima manusia di atas bumi, baik segala macam bantuan dan permusuhan, teramat kecil untuk dibandingkan dengan luasnya alam semesta ciptaan Tuhan. Tepat sebagaimana yang dirasakan Penulis ketika melihat bumi dari balik kaca pesawat di atas. Dalam konteks lebih luas, paradigma Mi’raj ini juga dapat digunakan sebagai solusi untuk menyelesaikan pelbagai konflik kebangsaan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini.

Solusi Konflik Kebangsaan

Sedemikian banyak permasalahan kebangsaan yang mendera negara multi agama dan etnis ini, dari ekonomi, sosial, politik, hingga kebudayaan. Di antara permasalahan turunan dari sekian bidang tersebut adalah perihal perdebatan antara relasi agama dan negara. Masih ada ternyata sebagian kecil saudara kita dari umat Islam yang masih meragukan keselarasan Pancasila dengan ajaran agama Islam. Atas nama kebebasan berfikir, tentu keraguan seperti itu tidak bermasalah jika hanya dalam tataran pemikiran ilmiah. Namun, ketika ia direalisasikan lebih jauh dalam bentuk tindakan makar dan destruktif, tentu akan menimbulkan masalah besar. Sampai pada titik ini, Penulis melihat urgensi paradigma Mi’raj sebagaimana disebutkan di atas.

Dalam konteks keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam, paradigma Mi’raj membiarkan perbedaan antar umat Islam dan bahkan umat lain agama tetap tampak; namun, ia akan terlihat lebih kecil. Yang kemudian lebih jelas adalah pandangan yang holistik dan komprehensif. Perbedaan diakui, namun persamaan diutamakan.

Demokrasi Pancasila merupakan hasil kesepakatan (mu’ahadah) rakyat Indonesia yang berbilang agama, budaya, dan bahasa, Sebagaimana diisyaratkan Yusuf al-Qaradlawi dalam Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, dengan tetap menyadari beberapa kelemahannya, sistem demokrasi merupakan salah satu solusi terbaik di era modern ini demi menghindarkan suatu negara dari otoritarianisme dan despotisme. Ia memberikan kesempatan begitu luas kepada rakyat untuk memilih pemimpin dan beberapa wakil terbaik sebagaimana yang mereka kehendaki. Termasuk di dalamnya juga menyediakan prosedur evaluasi (muhasabah) bahkan pemberhentian (‘azl) ketika terjadi kesalahan dan penyelewengan.

Benar bahwa terma ‘demokrasi’ itu sendiri secara verbatim tidak tersebut dalam al-Qur’an. Namun, secara subtansi, jelas ia mengandung berbagai nilai-nilai kemaslahatan. Terutama dalam menyelesaikan persoalan kebangsaan, selain dari apa yang sudah diwariskan oleh para pendahulunya, tidak ada larangan bagi umat Islam untuk mencari suatu sistem pemerintahan baru yang dirasa lebih tepat dan cocok untuk diterapkan di dalamnya. Tentu pencarian tersebut tidak berarti dilakukan sebebas-bebasnya; namun ia harus tunduk terhadap nilai-nilai kebaikan universal seperti keadilan (‘adl), permusyawaratan (shura), harga diri kemanusiaan (karamat al-insan), dan perlawanan terhadap segala bentuk kesewenang-wenangan (mu’aradhat al-thugyan).

Ketika sebuah negara Muslim memilih demokrasi, sebagai contoh, tidak lantas berarti ia negara kafir dan telah mensubordinasi ajaran Islam. Justru di situlah letak elastisitas (murunah) dan universalitas (‘alamiyyah) Islam itu sendiri. Dalam banyak hal, termasuk dalam hal ini sistem pemerintahan, Islam telah meletakkan prinsip-prinsip dasar yang harus terepresentasikan dalam pemerintahan sebuah negara. Adapun detail tentang bentuk dan bagaimana sistem tersebut dijalankan lebih diserahkan kepada kerja intelektual (ijtihad) manusia di dalamnya. Elastisitas inilah yang kemudian menopang universalitasnya sehingga agama ini selalu kompatibel (shalih) dengan perkembangan waktu dan tempat.

Dalam posisi tersebut, yang sedang dilakukan adalah meneropong suatu permasalahan dengan menggerakkan payung analisis lebih tinggi dari posisi sebelumnya – sebagaimana peristiwa Mi’raj. Di sini, perbedaan tetap tampak; namun, ia masih berada dalam bingkai persamaan kemaslahatan universal tersebut. Umat Islam boleh jadi berbeda dalam memahami dan memilih sebuah sistem pemerintahan, baik itu demokrasi, monarki, atau bahkan khilafah. Mereka perlu menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi sosial politik yang mengitarinya. Yang kemudian tidak boleh berbeda adalah memastikan agar sistem pemerintahan yang dipilih tersebut mampu menerjemahkan cita-cita kesejahteraan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Perspektif inilah yang Penulis maksud sebagai paradigma Mi’raj. Ia berusaha menyederhanakan suatu masalah dengan menarik lebih tinggi cara pandang terhadap masalah tersebut sehingga hati, fikiran, dan tindakan seorang yang menggunakannya menjadi lapang. Selapang hati dan fikiran Rasulullah Saw sepeninggal istri dan pamannya. Wallahu A’lam.

*Mahasiswa Program Doktoral Universitas PTIQ – PKUMI Jakarta; Anggota Sahabat Pena Kita (SPK).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image