Pilih Mana, Jurnalis atau Kreator Konten?

Literasi  
Ratusan Konten Kreator menghadiri acara Helophoria di M Bloc Space, Jakarta, Sabtu (7/1/2023). Acara bertujuan untuk memberikan edukasi tentang membuat konten yang baik dan benar. (FOTO : Republika/Putra M. Akbar)

KAKI BUKIT – Pada akhir tahun 2022, tepatnya pada pertengahan Desember, mendapat kesempatan menjadi moderator pada sebuah acara bertajuk “Dialog Bersama Media 2022 – Sinergi Untuk Sumsel” pesertanya adalah jurnalis atau wartawan dari Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Muara Enim dan Kota Palembang. Nara sumbernya Denny Batubara Ketua Asosiasi Konten Kreator .

Dari dialog yang berlangsung seru, banyak para jurnalis yang punya rasa ingin tahu apa itu kreator konten? Bagaimana cara menjadi kreator konten? Bagaimana menjadi kreator konten dan peluang meraih cuan besar ketimbang menjadi jurnalis atau wartawan seperti sekarang? Banyak peserta beralasan, wartawan menjadi kreator konten (mereka menyebutnya “konten kreator”) tidak ada yang larangan.

Juga ada yang berpendapat, “Jadi kreator konten itu lebih mudah mendapatkan uang dan bisa jumlahnya lebih besar dari pada penghasilan wartawan.” Alasan monetisasi adalah dasar memilih menjadi kreator konten. Juga di luar forum dialog sering mendengar, “Dunia sudah berubah dan terus akan berubah seperti teknologi informasi. Jika tidak mengikuti perubahan akan dilindasi roda zaman perubahan.”

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pendapatan seperti begini, dulu juga kerap terdengar, ketika ada wartawan yang menjalani pekerjaan dan profesinya dengan melangkah patuh pada kode etik jurnalistik sebagai panduan moral dan menjadi landasan idealisme profesi, mereka dicibir oleh yang lain dengan sinis, “Makan itu idealisme!”

Tulisan ini tidak pada posisi untuk membantah atau membenarkan ada yang disampaikan para peserta dialog tersebut. Alasannya, sebagai moderator belum pernah atau tidak pernah jadi kreator konten, sampai sekarang masih tetap seorang wartawan atau jurnalis yang juga bergerak di dunia literasi.

Menekuni profesi sebagai jurnalis atau wartawan itu adalah amanat. Menjalani profesi sebagai wartawan karena bukan yang ahli sebagai kreator konten, walau ada yang berargumentasi, bisa dipelajari. Pilihan untuk menjadi jurnalis atau menjadi kreator konten atau campuran antara keduanya silahkan saja, itu pilihan.

Saat diskusi tentang pilihan ini mengemuka, lantas teringat cerita tentang Roy Citayam yang beken dengan “Citayam Fashion Week.” Ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menawarkan Roy beasiswa untuk pendidikannya, dia menolak menyatakan lebih memilih mengejar mimpinya menjadi kreator konten dibandingkan harus menempuh pendidikan. Menurut dia, menjadi Kreator kontenlebih “menjanjikan” dalam menghasilkan uang.

Apakah mereka yang yakin bahwa kreator konten lebih banyak menghasilkan uang alias cuan, karena membaca pernyataan Roy Citayam? Bersamaan dengan tren “Citayam Fashion Week” pilihan menjadi Kreator kontentengah marak.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, “Dua tahun terakhir (saat pandemi) melanda dunia termasuk Indonesia, masih banyak orang yang merasakaan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Pekerjaan kreator konten dan influencer (pemengaruh) di media sosial terlihat menggiurkan. Sebab, pendapatannya yang tidak kecil. Tapi perlu diketahui juga banyak dari mereka yang tersisih karena mereka hanya mengikuti tren di media sosial.”

Masih menurut Bhima Yudhistira, “Media sosial menawarkan pasar bebas bagi mereka yang mempunyai ide dan kreativitas. Namun, jika tren atau isunya sudah berakhir, maka dengan mudah para pemain kehilangan pasar. Banyaknya kreator konten yang membuat konten yang sama juga akan membuat pasar jenuh. Kalau banyak yang membuat konten yang sama, tentu persaingannya semakin ketat.”

Ketika ramai berita Roy Citayam menolak beasiswa dari Menteri Sandiaga Uno, Sosiolog UNJ (Universitas Negeri Jakarta) Ubedilah Badrun berpendapat, “Ada tiga faktor penyebab Roy memilih menolak tawaran beasiswa yang diberikan Sandiaga Uno. Pertama, perlu dipahami bahwa secara sosiologis melalui proses habituasi, sebagian generasi Z mulai meyakini ijazah tidak penting.”

“Kedua, sebagian generasi Z mulai meyakini gelar tidak menjamin kompetensi seseorang. Gelar bukan segalanya, sarjana tidak menjamin kesiapan bekerja dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Sepertinya Roy termasuk kategori generasi Z yang cukup kritis pada formalisme pendidikan sehingga dia tidak berminat untuk kuliah.”

“Ketiga, kemungkinan Roy adalah bagian dari masyarakat yang terdampak dari kondisi ekonomi buruk. Ini menjadikan Roy ingin bekerja yang cepat menghasilkan uang.”

Apakah wartawan atau jurnalis menjadi kreator konten, sama dalam kategori dari analisa Ubedilah Badrun? Dengan bercermin pada Roy Citayam adalah remaja yang hidup dalam era digital dan membuat ia memahami betul menjadi kreator konten di media sosial akan menghasilkan banyak uang. Wartawan atau jurnalis yang ada sekarang tengah ada dalam ekosistem digital tersebut.

“Roy masuk dalam generasi Z yang di mana no gadget no life. Dia paham sekarang menjadi kreator konten bisa banyak menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Pekerjaan kreator konten diyakininya bisa cepat menghasilkan uang saat ini, bukan beasiswa untuk biaya kuliah,” kata dosen Sosiologi UNJ.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image