Sumbangsih NU Bagi Islam: Menyelamatkan Umat dari Bidahisme
Agama | 2023-02-15 10:05:11Belakangan ini kita melihat masifnya kajian-kajian islam dengan jargon “kembali kepada qur’an dan sunnah”. Bukan hanya di pusat-pusat kota melainkan hingga penjuru desa dan gunung. Pergerakan mereka semakin berani, cepat dan terorganisir menyambangi instansi-instansi pemerintahan, masjid bahkan hingga ke sekolah-sekolah. Mereka memiliki ciri khas dan identitas tersendiri, agak berbeda dengan muslim kita yang biasanya ‘sarungan’. Terutama pendapat mereka yang lebih memilih mengenakan celana diatas mata kaki, ya minimal pas di tengah mata kaki la, menurut paham mereka gitu sih.
Namun, pemahaman saudara-saudara kita yang berbeda ini menimbulkan berbagai masalah. Ya bisa dibilang meresahkan terkhusus kita selaku muslim ‘aswaja’ alias ahlussunnah wal jama’ah. Aswaja merupakan golongan umat muslim terbesar dan mayoritas (sawadul a’zham) bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia. Ingat ya, mayoritas dan terbesar, bukan yang minoritas dan ngaku-ngaku ahlussunnah tapi menganggap bid’ah amaliyah yang belum shahih kebid’ahannya. Malah aneh bin lucunya mengatakan orang kafir yang hanya mengakui Allah sebagai pencipta semesta tanpa mau menyembahnya tetap disebut sebagai orang yang bertauhid, na’udzubillah. Untuk itu jelaslah Nahdatul Ulama (NU) adalah sawadul a’zham dan 1000 persen aswaja, jumlahnya saja lebih dari 91 juta.
Organisasi yang didirikan oleh Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 16 Rajab 1344 H baru saja berulang tahun yang ke-100. Tentunya 1 abad NU bukanlah hanya sekedar perayaan atau seremonial belaka, melainkan tersimpan banyak hikmah dan tantangan yang akan dihadapi di umur yang sudah memasuki abad ke-2 ini.
Bid’ah, menjadi kalimat mukoddimah yang sering mereka koar-koarkan saat memulai taushiyah: “wa kullu muhdatsatin bid'atun wa kullu bid’atin dholalah wa kullu dholalatin finnaar” yang artinya setiap perkara yang diada-adakan (baru) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat akan masuk neraka, pernah dengar kan? yang itu tu
Bid’ah juga merupakan kata koentji yang sering mereka tujukan terhadap amaliyah-nya kaum Nahdiyyin. Sebagai contoh menurut ulama mereka dzikir berjama’ah itu bid’ah, tahlilan itu bid’ah, yasinan tiap malam jum’at bid’ah, tawassul kepada selain nabi bid’ah, maulid nabi bid’ah, isra’ mi’raj bid’ah, nuzulul qur’an malam 17 ramadhan bid’ah, dan bid’ah-bid’ah lainnya yang mungkin kalau mereka hitung dan bukukan bisa sampai 17 jilid. Inilah paham bid’ahisme. Paham yang menganggap segala amalan yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan maka amalan tersebut tertolak dan berdosa jika dilakukan. Baik itu adat istiadat, tradisi dan kebiasaan yang sifatnya ritual semuanya adalah bid’ah. Intinya suka membid’ahkan amalan orang lain yang tak sepaham dengannya.
Disinilah NU berperan dengan konsep Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh-nya. NU memberikan pencerahan dan pemahaman kepada masyarakat tentang ke-NU-an yang murni. Kembali kepada qur’an dan sunnah bukan berarti memahami nash al-qur’an dan hadits secara tekstual, melainkan harus tetap memahami konstektualnya berdasarkan pemahaman para ulama salaf yang mu’tabar. Siapa ulama tersebut? itulah ulama yang hidup 3 abad sesudah nabi wafat, dan yang paling dikenal adalah imam Hanafi, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hanbali.
Lantas, bagaimana agar jangan gampang terjebak membid’ahkan orang lain? mari kita lihat penjelasan Hadhratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah. Diterjemahkan dari kitab aslinya yaitu Risalah ahl al-Sunnah wa al-Jamaah: fi hadits al-mauta wa asyrath al-sa’at wa bayan mafhum al-sunnah wa al-bid’ah pada pasal I tentang sunnah dan bid’ah. Menurut KH. Hasyim Asy’ari beliau mengutip pendapat Syaikh Zaruq dalam kitab Uddatul Murid bahwa tidak disebut bid’ah suatu perbuatan jika terdapat 3 unsur didalamnya. Pertama teliti dahulu perkara baru tersebut, jika dalam amalan tersebut terdapat prinsip-prinsip syari’at dan ada landasan asalnya maka ini bukanlah bid’ah, jika tidak ada landasannya maka bid’ah. Jika perkara tersebut samar, maka lihatlah unsur dominan yang ada didalamnya. Kedua, bagaimana pendapat ulama ahlussunnah pada saat itu, jika perkara tersebut dipraktekkan oleh ulama salaf dan diikuti ulama khalaf maka tidak bisa dikatakan bid’ah dan mazmumah (tercela). Apabila perkara baru tersebut tak dikerjakan/ditinggalkan maka tak bisa dikatakan sunnah dan mahmudah (terpuji). Dalam hal ini Imam Malik berpendapat jika tidak dipraktekkan ulama salaf maka hukumnya bid’ah, sedangkan menurut imam Syafi’i belum tentu bid’ah, bisa saja dikarenakan ada suatu udzur atau mereka mengamalkan amalan lain yang lebih afdhal. Ketiga jika perkara baru tersebut dapat diukur dengan status hukum seperti wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf aula dan mubah, berarti bisa diidentifikasi dengan hukum tersebut. Jika tidak bisa diukur barulah bisa dikatakan bid’ah.
Syaikh Zaruq juga membagi bid’ah menjadi 3 yaitu bid’ah sharihah, yaitu bid’ah yang sedikitpun tak ada landasan syar’i baik wajib, sunnah, mubah dan lainnya. Kedua bid’ah idhafi yaitu bid’ah yang samar, bid’ah yang tak boleh diperdebatkan apakah perkara tersebut sunnah atau bukan bid’ah. Terakhir bid’ah khilafi, yaitu bid’ah yang memiliki 2 sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya, dilihat dari satu aspek bid’ah tapi dilihat dari aspek yang lain adalah sunnah, sebagai contoh membuat kelompok-kelompok dzikir/majelis dzikir dan dzikir berjam’ah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.