Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Totok Siswantara

Mengapa Mayoritas Belanja Iklan Disedot Platform Asing ?

Teknologi | Monday, 13 Feb 2023, 14:57 WIB
Ilustrasi publik di tanah air yang justru lebih mencintai platform media asing

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa 60 persen belanja iklan telah diambil platform media asing. Apakah fenomena ini perlu ditindaklanjuti dengan perubahan kebijakan pemerintah secara radikal ? Wishnutama, mantan Menteri Parekraf menyatakan jika tidak ada tindakan yang serius, maka media digital lokal berpotensi kehilangan hingga 85 persen belanja iklan di tahun 2023. Ironisnya justru pada tahun politik sekarang ini, belanja iklan politik oleh politisi maupun partai politik lebih mempercayai platform asing sebagai media untuk marketing politik.

Sejak sepuluh tahun yang lalu dunia telah memasuki era platform, seperti yang digambarkan oleh Phil Simon penulis buku “The Age of The Platform. Yang telah mengupas bagaimana Amazon, Apple, Facebook, dan Google telah mengubah bisnis sangat revolusioner. Platform tidak mengenal batas-batas nasionalisme dan telah mendobrak paham ekononi yanag ada di dunia.

Kini siapapun bisa membuat atau membangun platform untuk bisnisnya. Platform semakin mudah dibuat dengan biaya yang relatif murah. Masalahnya platform sebagus apapun sangat tergantung dengan bobot dan kontinuitas konten. Premis “Content is The King” masih berlaku dan semakin relevan. Ironisnya banyak media di dalam negeri yang telah membangun platform media justru kurang menghargai hasil karya kreator konten anak negeri.

Media mainstream yang ada saat ini, meskipun milik konglomerat yang asetnya sangat besar namun tidak lagi memberi penghargaan terhadap konten karya anak bangsa. Salah satu contohnya kini tidak ada lagi imbalan terhadap penulis artikel, baik opini, feature, pendapat, analisa hingga cerpen di media maistream. Padahal karya konten tersebut sudah terpilih oleh sidang redaksi dan memenuhi kriteria sebagai produk media yang menarik dan aktual. Terpinggirnya kepentingan kreator konten oleh konglomerat media dan media pemerintah menimbulkan semacam “hukum karma” berupa menjauhnya publik dari platform media lokal dan lebih menggandrungi platform media asing. Dus dengan fenomena seperti diatas belanja iklan secara hukum alam juga mengalir kepada platform media asing.

Tidak adanya penghargaan terhadap jam kerja, kreativitas dan buah pikir dari para kreator konten yang notabene juga tergolong citizen journalism membuat publik menyalurkan hasil karyanya ke platform media asing. Apalagi media asing cukup menjanjikan dalam hal monetisasi terhadap karyanya. Selain iu publik menganggap platform media asing lebih kredibel dan bergengsi. Sebagian besar lembaga negara hingga BUMN telah membuat platform dengan biaya yang kelewat besar. Hasilnya platform tersebut hanya dikunjungi oleh sedikit orang bahkan platform pelat merah itu kekurangan konten. Begitupun dengan platform lembaga penyiaran publik (LPP), juga sepi dari pengunjung dan terjadi “krisis” konten yang dibutuhkan publik. Anggaran negara yang dikucurkan kepada LPP tidak menghasilkan manfaat yang signifkan. Hanya berorientasi proyek dan sekedar menghabiskan anggaran rutin saja. Akhirnya yang menjadi lembaga penyiaran publik yang “sejati” justru platform Tik Tok, You Tube, Instagram, Meta, Whatsapp dan lain-lain.

Ilustrasi platform asing yang menyedot belanja iklan di tanah air

Sebaiknya rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan diterbitkan terkait dengan eksistensi platform asing memiliki arah yang jelas yakni pembentukan ekosistem yang ideal bagi pengembangan konten lokal. Mengingat platform merupakan ekosistem yang sangat berharga dan berpengaruh yang dapat dengan cepat dan mudah mengukur, mengubah dan menggabungkan plank atau fitur-fitur baru, pengguna, konsumen, vendor dan rekanan.

Perusahaan raksasa seperti Google dan perusahaan-perusahaan kecil hingga UMKM yang berbasis lokalitas mestinya bisa bersinergi dalam platform yang notabene merupakan model bisnis yang tidak memandang ukuran dan jenis usaha atau industri.Tak bisa dimungkiri, kini platform telah menjadi model bisnis paling penting. Terangkat karena kesuksesan Amazon, Apple, Facebook dan Google sehingga banyak perusahaan rintisan alias startup yang membangun platform dan plank yang lebih kolaboratif dan lebih merangkul rekanan.

Tahapan Pemilu 2024 menjadi momentum untuk mengembalikan hakekat penyiaran kepada publik dari kooptasi kapitalisme. Tak bisa dimungkiri bahwa platform industri penyiaran di Indonesia kini merupakan irisan dari entitas bisnis dan elite politik. Hal itu berimplikasi terjadinya framing proses demokrasi dan cenderung manipulasi aspirasi rakyat. Fenomena seperti ini sudah diingatkan oleh beberapa ilmuwan, di antaranya Noam Chomsky dan Robert McChesney yang menyatakan bahwa konglomerasi media atau industri penyiaran bisa merusak demokrasi dan nilai-nilai kerakyatan.

Keniscayaan Lembaga penyiaran lokal mesti merangkul dan memberi penghargaan yang layak kepada kreator konten. Penyiaran lokal perlu merancang platform yang berbasis keindonesiaan. Media lokal seperti radio, televisi, koran, dan pariwara usaha, dan penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu membangun plank yang saling melengkapi yakni produk, layanan, atau komunitas yang terintegrasi dengan platform lain.

Tidak ada pihak yang lebih baik dalam hal mengembangkan konten lokal kecuali masyarakat lokal itu sendiri. Untuk mengantisipasi dan menyerap belanja iklan, khususnya iklan politik atau pemilu dibutuhkan inovasi advertising lokal. Istilah advertising berasal dari bahasa Latin yaitu advere yang berarti memindahkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Jadi pengertian seperti ini sebenarnya tidak ada ubahnya dengan pengertian komunikasi.

Pesan iklan semestinya merupakan pesan yang efektif. Artinya pesan yang mampu menggerakkan khalayak agar mereka mengikuti pesan iklan. Sebenarnya iklan adalah cerminan dari kebudayaan dalam masyarakat. Tren mengangkat iklan bertema budaya dan lokalitas keindonesiaan akan terus berlanjut. Dalam konteks media baru, kaidah periklanan telah ditransformasikan secara radikal.

Produk periklanan yang dipasang pada media konvensional yang dulu dianggap tepat ternyata dalam media baru justru bertolak belakang. Fenomena tersebut terlihat pada AdSense Google yang mana daya tariknya adalah mampu menyesuaikan iklan dengan konten. Dengan demikian ada mekanisme menunjukkan iklan hanya kepada sasaran atau orang-orang yang paling relevan dengan iklan tersebut. Misalnya konten tentang destinasi wisata Kota Garut, maka disebelah konten tersebut akan muncul sederet konten tentang industri wisata dan komunitasnya yang berpotensi untuk datang ke Kota Garut. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image