Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Sumbangsih Nahdlatul Ulama (NU) Dalam Peradaban Islam di Era Globalisasi

Agama | Saturday, 11 Feb 2023, 23:27 WIB

Dunia Islam membentang dari Atlantik hingga Pasific, dari India Selatan dan jantung Afrika sampai Siberia, Albania, dan Bosnia. Islam juga terasa kehadirannya di beberapa bagian Eropa, Amerika, Afrika Tengah dan Selatan. Jumlah umat Islam lebih dari satu milyar yang mendiami wilayah-wilayah muslim dan mereka minoritas di beberapa negara (Rusydy, 2018) Menoleh pada peradaban kian didominasi oleh teknologi, tiada batas teritorial dalam bertukar informasi, globalisasi menjembatani perubahan di segala lini. Tak dapat di pungkiri negara Indonesia juga telah terkontaminasi oleh arus digitalisasi globalisasi. Dan di saat inilah peradaban islam menemukan tantangan yang krusial. Globalisasi ialah kata yang menggambarkan suatu hubungan ataupun interaksi antar manusia dari berbagai bidang dan menjadi hubungan antar bangsa dan negara di seluruh penjuru dunia yang tak mengenal batas antar teritorial. Globalisasi muncul dari adanya peradaban modern-industrial yang didorong oleh kemajuan budaya barat yang membawa nilai antroposentrisme dan humanisme sekuler (Abdullah, 2022).

Globalisasi memegang pengaruh besar serta memberikan impact dahsyat terhadap kehidupan manusia baik dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik, Pendidikan, bahkan agama (keyakinan). Dengan adanya globalisasi telah merubah tatanan kehidupan yang di dalamnya terdapat sifat ambivalen, yaitu terdapat sisi baik dan pula sisi buruknya (Jamal, Ruswandi, & Erihadiana, 2022). Di era globalisasi saat ini, perkembangan zaman menunjukkan kemajuan yang sangat pesat ke arah yang lebih progresif. Ibarat pedang bermata dua, hal ini pun memiliki implikasi positif dan negatif. Salah satu dampak positif globalisasi adalah berkembangnya segala bidang kehidupan ke arah yang lebih luas dan mudah diakses. Adapun dampak negative dari adanya globalisasi adalah meningkatnya masalah multinasional yang dapat menimbulkan masalah yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.

Manurut Azumardi Azra dalam Jurnal Pendidikan dan Kewirausahaan karya Nurul Khotimah, arus globalisasi menuntut adanya persiapan yang harus dilakukan dalam mengahadapi persaingan kehidupan global. Persaingan ini terdiri beberapa berbagai aspek yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu harus berinovasi, tangguh, ulet, dan cerdas (Hidayat, 2021). Namun rupanya dengan empat aspek yang telah tertuliskan tersebut belum cukup untuk menjadikan tanah air Indonesia tercinta ini menjadi aman, damai, tentram, sejahtera, dan tahan terhadap ancaman dan persaingan. Persatuan, kesatuan, serta kekompakan juga turut andil dalam menjadikan bangsa ini mencapai tujuan bersama.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam suku, bangsa, bahasa, kebudayaan, etnis, dan ras yang beragam yang bersatu dalam ikatan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dengan makna sakral yaitu “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Namun disamping itu tak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia juga menyandang sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Menurut laporan dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), populasi muslim di Indonesia diperkirakan sebanyak 237,56 juta jiwa. Jumlah penduduk muslim tersebut setara dengan 86,7% populasi di dalam negeri. Jika dibandingkan secara global, jumlahnya setara dengan 12,30% dari populasi muslim dunia yang sebanyak 1,93 miliar jiwa (Monavia Ayu Rizaty, 2022).

Mempertahankan paredaban Islam ditengah era globalisasi dan digitalisasi rupanya menjadi tantangan yang dapat diatasi oleh golongan Nahdlatul Ulama (NU). Berbagai upaya Nahdlatul Ulama (NU) lakukan guna dapat mempertahankan peradaban Islam di tengah arus globalisasi. Nahdlatul Ulama (NU) memiliki misi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahiriyah maupun batiniyah, mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berakhlaqul karimah.

Tak berhenti disitu Nahdlatul Ulama (NU) juga memiliki tujuan mulia yaitu memberlakukan ajaran Islam yang menganut faham Ahlusunnah wal Jama'ah demi terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta. Untuk mewujudkan tujuan di atas Nahdlatul Ulama (NU) melakukan usaha-usaha dalam berbagai bidang yaitu bidang agama, pendidikan, sosial, ekonomi yang dikemas dengan amat baik. Dalam bidang agama Nahdlatul Ulama (NU) mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar ma’ruf nahi munkar serta peningkatan ukhuwah islamiyah. Dalam bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam, untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan Negara. Dalam bidang sosial, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan keadilan sosial dan keadilan hukum di segala lapangan bagi seluruh rakyat untuk menuju kesejahteraan dan keselamatan umat di dunia dan akhirat. Dalam bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya koperasi. Mengusahakan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak (Maslahah ‘ammah) guna terwujudnya khairu ummah.

Selain itu rupanya sikap toleransi, persatuan, dan kesatuan telah melekat erat dalam golongan Nahdlatul Ulama (NU) pasalnya pada tanggal 7 Februari 2023 Nahdlatul Ulama (NU) membuktikan persatuan, kesatuan, dan toleransi antar golongan dengan menggelar perayaan 1 abad hari jadi Nahdlatul Ulama (NU) di kota Sidoarjo. Meriahnya peranyaan hari jadi NU di tandai dengan kehadiran dari Jutaan jamaah yang datang dari berbagai kota di Indonesia ke Sidoarjo. Jamaah memadati lokasi acara Puncak Resepsi 1 Abad NU Sidoarjo di GOR Delta. Bahkan, pada dini hari tadi para jamaah telah memadati ruas Jalan Pahlawan, Sidoarjo. Eratnya rasa persaudaraan, kesatuan, dan persatuan rupanya nampak pada hari itu.

Bagi Nahdlatul Ulama (NU), perbedaan tafsir, mazhab atau sekte dari masing-masing agama mencerminkan cakupan makna yang terkandung dalam ajaran kitab suci. Demikian pula, kekayaan budaya dan sejarah pengikutnya sendiri juga mencerminkan kekayaan yang telah diciptakan Allah dalam kehidupan manusia. Dengan misi dan strategi dakwah yang dikembangkan Nahdlatul Ulama NU, dengan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan budaya bangsa dan negara. Kontribusinya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang di atas segalanya, keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) menegaskan identitas budaya masyarakat agraris, khususnya di Jawa. Identitas budaya merupakan suatu keniscayaan bagi suatu masyarakat, terutama masyarakat yang lebih ditentukan oleh adat dan tradisi daripada oleh hukum dan peraturan formal. Identitas dalam masyarakat menciptakan ikatan sosial yang memungkinkan masyarakat bertahan dalam menghadapi perubahan.

Dari besarnya sumbangsih peranan Nahdlatul Ulama (NU) dalam peradapan Islam pada era globalisasi tentu tak lepas dari lika-liku sejarah perjuangan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Nahdlatul Ulama (NU) yang menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah, ialah merupakan sebuah jalur pikir yang mengambil jalan tengah ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi Nahdlatul Ulama (NU) tidak hanya Alquran, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik (Mahatma, 2017). Nahdlatul Ulama (NU) memiliki arti kebangkitan ulama, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi yang mewadahi Islam tradisional di Indonesia. Keunikan lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) terletak pada asal dan esensinya. Dari segi waktu, berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tidak bisa hanya dilihat dari apa yang terjadi pada masa pendiriannya.

Saat ini Nahdlatul Ulama (NU) sudah genap berusia 100 tahun sejak tertulis tanggal 7 Februari 2023, nampaknya tetap mempertahankan karakter asli meski banyak perubahan sosial politik di negeri ini. Nahdlatul Ulama (NU) telah berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang selama 25 tahun, 20 tahun di bawah pemerintahan Sukarno, lebih dari 32 tahun di bawah pemerintahan Suharto dan sekarang sedang dalam proses demokratisasi di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) terbentuk setelah lahirnya beberapa organisasi keagamaan dan organisasi nasional dengan motifnya masing-masing. Organisasi-organisasi ini dibentuk ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Selama periode ini, gerakan Islam melawan penjajah, yang juga membawa agama Kristen, dan menentang praktik dan interpretasi Islam di antara mereka. Gerakan Islam yang dimaksud adalah gerakan yang diusung dan diikuti oleh orang-orang yang beragama Islam, sekalipun berbeda kepentingan. Inisiatif dalam pembentukan Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya lebih merupakan reaksi terhadap perkembangan politik eksternal. Dalam ajaran lain, perkembangan internasional menyebabkan lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan kondisi sosial-keagamaan dan politik negara hanyalah sebagian alasan di balik pembentukan organisasi ini. Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Demak Zayinul Fata mengatakan, kiprah Nahdlatul Ulama (NU) yang mendunia memberikan kebanggaan bagi warga Nahdliyyin. Sebab, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki potensi besar untuk ikut mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan asas wasatiyah yang dikembangkannya.

Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peranan yang amat penting dalam mengagaungkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Motif nasionalisme timbul karena Nahdlatul Ulama (NU) lahir dengan niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni “Kebangkitan Para Ulama”. NU pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, akan tetapi kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Shubban al-Waṭān (Pemuda Tanah Air). Perjuangan yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan upaya yang kuat menggerakan para ulama, santri dan umatnya untuk bangkit menghimpun kekuatan melawan pemerintahan asing yang dianggap kafir, merupakan bukti sejarah yang tidak dapat dipungkiri.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah masalah representasi untuk melindungi kepentingan umat Islam tradisional yang merasa terancam oleh kebangkitan gerakan Wahhabi dan keinginan mereka untuk terlibat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi umat Islam terus-menerus dihadapi. Ancaman Wahhabisme di dalam dan sekitar Makah untuk menghancurkan banyak tradisi menjadi alasan langsung pembentukan Nahdlatul Ulama (NU). Bagi umat Islam tradisional, ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan persatuan dan kekuatan di antara mereka. Istilah Nahdhah pertama kali digunakan dalam kaitannya dengan kajian Nahdlatul Ulama (NU) ketika Wahab Chasbullah dan Mas Mansour mendirikan sebuah madrasah bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa) pada tahun 1916 (madrasah ini kemudian bergabung dengan Muhammadiyah). Pada tahun 1918, Wahab Chasbullah menjadi salah satu saudagar muslim yang mendirikan Nahdlatul Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang). Di perkumpulan ini ia bekerja sebagai bendahara. Persatuan ini digunakan untuk menghubungkan jaringan komersial di beberapa masyarakat Islam tradisional.

Pada tahun 1918 KH. Akhmad Dachlan dari Kebondalem mendirikan kelompok diskusi Islam bernama Taswirul Afkar, yang secara bebas diterjemahkan sebagai "Konstelasi Pemikiran". Kelompok diskusi ini secara rutin membahas topik-topik keagamaan seperti Ijtihad dan Taqlid. Aktivitas Taswirul Afkar mengingatkan pada sebuah majalah terbitan Paris yaitu al-Afghani dan Ernest Renan yang membahas mengenai hubungan antara Islam dan sains. Majalah ini tidak hanya tersedia di Timur Tengah tetapi juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Perkembangan dunia Islam ditandai dengan dua peristiwa penting. Pertama, Mustafa Kamal yang merupakan pemimpin nasionalis Turki mencopot Khalifah Abdul Majid dari jabatannya. Pada saat itu Turki menyerahkan urusan kekhalifahan kepada umat Islam di seluruh dunia. Menanggapi peristiwa di Kairo, diadakan pertemuan internasional untuk membahas kekhalifahan yang diketuai oleh Syekh al Azhar. Kedua, penaklukan Abdul Aziz bin Su'ud atas Mekkah yang dibantu oleh kaum Wahhabi dari kekuasaan Sharif Husain. Steenbink yang merupakan salah seorang ilmuwan Belanda menyebutkan bahwa perang di Arab sebagai "Perang Wahhabi". Kemenangan Ibnu Su'ud kembali memperkuat perjuangan Wahh abi setelah sempat dilemahkan oleh keputusan Muktamar Surabaya untuk menetapkan Muhammadiyah dan al-Irsyad sebagai Wahhabi. Reputasi Wahhabi yang radikal, dogmatis, dan tidak kenal kompromi membuat kaum tradisionalis khawatir kemenangan mereka akan berujung pada pemberantasan tradisi keagamaan dari tanah Hijaz, padahal Hijaz bukan hanya tempat ibadah tetapi juga keilmuan. Kekhawatiran ini menjadi kenyataan, pemerintah Arab Saudi saat itu mulai menghancurkan warisan sejarah Islam, melarang tradisi keagamaan dan selalu memblokir mazhab kecuali mazhab Wahhabi.

Agar diakui secara internasional sebagai satu-satunya penerus dunia Islam, mereka mengundang negara-negara atau masyarakat Muslim dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk mengikuti Konferensi Khilafah di Arab Saudi, namun akhirnya gagal. Ulama Indonesia dengan tegas menolak tindakan penguasa Saudi tersebut. Ulama dari pesantren yang menjadi bagian dari delegasi ulama Islam dari Indonesia menghadiri Konferensi Khilafah untuk mendapatkan pengalaman dalam menyampaikan pesan-pesan yang mewakili Indonesia ke negara baru Arab Saudi. Namun hal ini dipersulit dengan adanya penolakan dari beberapa kelompok Islam lainnya dengan alasan para petani tidak memiliki organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain-lain. Para ulama kemudian membentuk perkumpulan yang disebut Syubbanul Wathan untuk membahas masalah yang berkaitan dengan hukum agama, program dakwah, peningkatan ilmu, dan masalah lainnya.

Forum Kongres Islam ke-4 di Yogyakarta memutuskan bahwa HOS Cokroaminoto dari SI (Sharekat Islam) dan Mas Manshur dari Muhammadiyah akan menjadi delegasi Kongres Mekkah. Sementara itu, calon Muslim tradisional yang terpisah, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, dikeluarkan dari delegasi Makkah. Latar belakang penolakan tersebut mendorong semangat para petani untuk menunjukkan kemandirian dan kekuatannya. Tekad untuk mengirim delegasi petani sendiri, atas nama Komite Hijaz, untuk digunakan melawan Arab Saudi. Untuk diadakannya acara Hijaz di kampung Kertopaten, Surabaya pada tanggal 31. Raden Asnawi, KH Ma'shum, KH Nawawi, KH Ridlwan, KH Faqih dan KH Abdul Halim. Komisi Hijaz diketuai oleh Hasan Gipo dibantu oleh Mbah Shodiq dan wakilnya adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Tuntutan Komite Hijaz antara lain ialah kebebasan beragama, penjelasan hukum yang berlaku di Hijaz, tarif haji, mempertahankan tempat-tempat bersejarah, termasuk makam Nabi dan para sahabat Nabi, dan menanggapi surat yang dikirimkan oleh dua orang utusan. Raja Sa'ud menanggapi permintaan tersebut, khususnya dengan kebebasan beragama.

Selama penciptaannya, kebebasan untuk mengajar dan mempraktikkan arah yang berbeda di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi tidak seragam di Haramain. Ulama yang mengajar dan mengamalkan pemikiran Syafi'i karena hanya bisa dilakukan di rumah. Komite Hijaz ini kemudian dibentuk oleh K.H. Hasyim Asy'ari mengubah namanya menjadi Nahdlatul Oelamak (NE). Kedekatan para imam satu sama lain mempercepat proses rekonsiliasi umat Islam di Nusantara. Ulama membentuk organisasi tersebut sebagai wadah untuk meneguhkan dan mengembangkan ajaran Islamahlussunnah Wal Jama'ah serta mewujudkan cita-cita “izzul al Islam wa al muslimin”. Itu sebabnya NU dan petani memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan antara keduanya seperti hubungan antara anak dan orang tua. Nahdlatul Ulama (NU) lahir dari para pendeta pesantren di Jawa dengan ikatan emosional yang sangat kuat. Di antara mereka, sebagian besar pendeta memiliki hubungan yang melampaui tempat tinggal mereka. Melalui perkawinan dan hubungan keluarga, komunikasi dan jaringan atau organisasi perhotelan, para ulama memperkuat mata pencaharian para petani. Kesamaan itu mengarah pada homogenitas kehidupan, budaya dan praktik keagamaan di lingkungan petani, yang pantas disebut subkultur, yakni budaya petani masyarakat Indonesia. 34 Subkultur ini di ilhami oleh Islam Aswaja. Subkultur inilah yang menjadi modal utama dan dasar berdirinya NU. Muktamar NU tahun 1928 merumuskan UUD/AD dan sesuai dengan tujuan organisasi dinyatakan mengikuti salah satu dari empat Imam Madzhab, yaitu Imam Muhammad bin Idris al-Syaf'i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Secara garis besar berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) ialah untuk melindungi umat Islam Indonesia yang menganut Ahlussunnah Wal Jama'ah sejak kedatangan Islam di Indonesia dari serangan kaum Wahhabi. Kemudian dinyatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) didirikan dengan tujuan untuk meneguhkan, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan mayoritas ahlussunnah Wal jama'ah dan mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris sebagai Syafis dan Imam Ahmad bin Hanbal untuk bergabung dalam langkah para ulama dan pengikutnya untuk mengambil tindakan untuk kemakmuran masyarakat, kemajuan bangsa, martabat manusia yang tinggi dan mulia.

Sejarah menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) setia kepada bangsa Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Saat bangsa ini hendak terpecah belah, mereka membawa persatuan dan kesatuan. Tidak hanya dalam kata-kata, tetapi setia dalam sikap mendukung negara kesatuan Republik Indonesia sampai akhir hayat. Dapat terlihat pada komitmen PBB untuk melindungi gereja dan tempat ibadah ketika dirusak oleh kelompok intoleran. Beragam agama merasa nyaman dan aman terhadap Nahdlatul Ulama (NU). Karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu pergerakan golongan yang mencanangkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan berkah bagi alam semesta, maka Nahdlatul Ulama (NU) selalu berada di garda terdepan melawan penyalahgunaan agama untuk mencegah kelompok kecil. Padahal konstitusi tidak mengenal mayoritas dan minoritas. Yang benar adalah bahwa di negeri itu, ada kelompok orang yang mengikuti ideologi kekerasan dan menindas mereka yang berbeda pandangan.

Pentingnya peranan Nahdlatul Ulama (NU) bagi peradaban sudah tidak di ragukan lagi namun dari itu hal ini harus tetap dipertahankan guna dapat mempertahankan esensi nilai-nilai yang telah terkadung dalam asas Nahdlatul Ulama (NU) sejak awal di era gempuran globalisasi. Hal ini menjadi PR besar bagi setiap warga negara dan kaum milenial khusunya pada golongan Nahdlatul Ulama (NU).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image