Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Henry Bergson dan Upaya NU Ikut Membuka Jendela Peradaban Dunia yang Damai

Agama | 2023-02-11 22:19:55

Akan lebih menarik membicarakan peradaban, masyarakat, dan agama jika kita menelusri pemikiran Henry Louis Bergson, seorang filosof modern asal Perancis (lahir sekitar 1859). Sang Filosof ini mencetuskan teori masyarakat atau agama tertutup (fermes) dan masyarakat atau agama terbuka (ouverse).

Masyarakat atau agama tertutup yaitu masyarakat atau agama yang membatasi diri dalam dinding-dinding asas, kepercayaan, konvensi, dan lambang-lambang yang diciptakannya, kemudian bersikap statis dan tidak menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Sementara masyarakat atau agama terbuka adalah mereka yang “meruntuhkan” dinding-dinding pembatas, membuka jendela-jendela dirinya bagi masyarakat atau agama-agama lain.

Yahudi merupakan contoh bagi masyarakat atau agama tertutup, sedangkan Islam dan masyarakat Muslim abad kedua, ketiga, dan keempat hijriyah merupakan contoh bagi masyarakat atau agama terbuka. Contoh lainnya, agama Masehi Ethiopia adalah agama dan masyarakat tertutup, sedangkan agama Masehi Eropa Barat adalah agama terbuka.

Masyarakat atau agama yang tertutup, tidak membuka diri terhadap dunia luar, lambat laun akan menuju kepada kehancuran. Sebaliknya, masyarakat atau agama yang bergerak dan terbuka, akan dapat melanggengkan eksistensinya, terus berkembang, dan memberikan sumbangsih bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.

Jika kita mencoba menganalogikan pemikiran Henry Louis Bergson dengan eksistensi Nahdlatul Ulama (NU) pada saat ini, nampaknya gerak langkah yang dilakukan NU merupakan upaya untuk menjadikan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, menjadi organisasi massa yang terbuka. Para pengurus dan para ulama yang bernaung di bawah NU tidak hanya ingin berkiprah di tempat kelahirannya, namun juga ingin memberikan sumbangsih pemikiran dan karyanya di dunia internasional.

Untuk mewujudkan tekad tersebut, kini NU telah menapakkan kepengurusannya di luar negeri, yakni dengan terbentuknya sekitar tiga puluh empat Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU). Para pengurusnya selain para diaspora, juga masyarakat Indonesia yang tengah belajar atau bekerja di luar negeri.

Terbentuk PCINU tersebut dapat berperan sebagai pemberi informasi dan pencerahan kepada warga negara non Indonesia dan non muslim tentang kondisi Islam dan umatnya di Indonesia. Dengan pemberian gambaran tatanan kehidupan Islam dan umatnya di Indonesia yang toleran, penuh kedamaian, dapat hidup rukun di tengah perbedaan suku, ras, dan agama, setidaknya dapat mengurangi stigma dan islamophobia masyarakat Barat dan Eropa terhadap Islam. Pemberian gambaran kerukunan Islam dan umatnya di Indonesia diharapkan dapat membuka mata masyarakat Barat dan Eropa bahwa Islam itu merupakan agama yang benar-benar penuh kasih sayang, toleran, dapat hidup berdampingan dan penuh kedamaian.

Dengan cara seperti ini setidaknya NU telah ikut memberikan bibit-bibit menyebarkan perdamaian dunia yang bukan saja merupakan amanat UUD 1945, namun juga merupakan pengejawantahan dari ajaran Islam.

Lebih jauh lagi, sikap keterbukaan NU terhadap peradaban dunia setidaknya merupakan upaya untuk memperlihatkan bahwa Islam dan umatnya memiliki pemikiran maju seperti yang pernah dilakukan umat Islam terdahulu, salah satunya pada masa dua Khalifah Dinasti Abbasiyah, yakni Harun al Rasyid ( (786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Tentu saja yang akan dicontoh NU bukan sistem kepemerintahan atau kekhalifahannya, sebab bagi NU sistem pemerintahan yang dianut negara kita sudah final.

Ketika kedua khalifah tersebut memimpin Dinasti Abbasiyah mampu menjadikan negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin, walaupun ada juga pemberontakan tapi tidak terlalu mempengaruhi stabilitas politik negara, dan luas wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini mulai dari Afrika Utara sampai ke India. Tentu saja kondisi ini telah mewarnai peradaban dunia pada saat itu.

Jika kita mencoba mengalisa kemajuan yang dicapai pemerintah Dinasti Abbasiyah, keterbukaan terhadap dunia luar; kecintaan terhadap ilmu pengetahuan; toleran dan akomodatif merupakan faktor-faktor yang mendukung kemajuan tersebut.

Selain itu, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dikenal juga sebagai abad kemajuan intelektual. Faktor penyebab kemajuan intelektual ini anatara lain banyaknya cendikiawan yang terlibat dalam pemerintahan; meningkatnya kemakmuran umat Islam; dan terjadinya akulturasi budaya Islam dan lokal

Sekali lagi jika kita menganalogikannya dengan kondisi NU pada saat ini, faktor-faktor pendukung seperti yang dimiliki Dinasti Abbasiyah telah dimiliki NU. Kini banyak sumber daya manusia bekualitas yang tergolong intelektual dan berbasis NU duduk di pemerintahan.

Demikian pula dari segi kemakmuran, banyak ulama dan simpatisan NU yang menjadi pengusaha. Faktor lainnya, sikap toleran terhadap umat lain telah dimiliki NU, malahan telah menjadi ciri khas NU. Terlebih-lebih dengan akulturasi budaya Islam dan lokal yang telah menjadi ciri khas dakwah NU yakni menyebarkan Islam dengan pendekatan kultural.

Sudah selayaknya jika NU membuka diri terhadap dunia luar, membuktikan Islam yang rahmatan lil’alamin yang memuliakan ajaran Islam dan umatnya tanpa meninggalkan sikap toleran terhadap umat lain, sehingga kemakmuran, kesejahteraan, dan perdamaian dunia dapat terwujud.

Perlu kita ingat, inti dari peradaban adalah tercapainya kehidupan yang aman secara politis dan sosiologis; makmur secara ekonomi disertai dengan kehidupan yang seimbang antara kualitas moral dan spiritual, seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan keyakinan kepada Tuhan Pencipta alam semesta. Semua hal tersebut kini tengah dan akan diupayakan NU pada perjalanan abad kedua.

Ilustrasi : Harlah 1 Abad NU (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image