Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image UCare Indonesia

Tingginya Nilai Syukur dan Contoh Syukur Para Nabi

Agama | 2023-02-10 10:50:00
sumber: freepik.com/jcomp

Sikap syukur memiliki kedudukan dan nilai yang paling tinggi. Syukur terbangun atas lima prinsip: ketundukan, kecintaan, pengakuan nikmat, sanjungan dan pujian, serta memanfaatkan kenikmatan untuk sesuatu yang diperbolehkan.

Dengan demikian, sikap syukur merupakan bentuk pengakuan terhadap nikmat yang diberikan atas dasar ketundukan, menyandarkan segala kenikmatan kepada Pemiliknya, memuji Yang Memberi nikmat dengan selalu mengingat kenikmatan-Nya, menetapkan hati untuk mencintai-Nya, anggota badan untuk menaati-Nya, dan lisan untuk berzikir kepada-Nya.

Imam Ibn Rajab berkata, "Syukur itu harus dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan." Sementara itu, sikap syukur dari seorang hamba selalu mencakup tiga hal:

(1) Mengakui kenikmatan yang diterima secara batin, yakni bersyukur dengan hati;

(2) Membicarakan kenikmatan secara lahir, yakni bersyukur dengan lisan;

(3) Memanfaatkan kenikmatan dalam rangka menaati-Nya dan mencegah diri dari kemaksiatan.

Karena itu, syukur dengan hati adalah mengakui kenikmatan yang dimiliki Allah. Yakni bahwa kenikmatan itu dari-Nya dan dengan keutamaan-Nya. Di antara bentuk syukur dengan hati adalah mencintai Allah atas segala kenikmatan-Nya. Adapun syukur dengan lisan adalah memuji kenikmatan, mengingatnya, dan memperlihatkannya.

Firman Allah Swt., Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (QS Al-Dhuha [93]: 11).

Umar bin Abdul Aziz r.a. berkata dalam doanya, "Wahai Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perubahan nikmat menjadi kekufuran, atau mengufurinya setelah mengetahuinya, dan atau melupakannya."

Sementara itu, syukur dengan anggota badan adalah tidak memanfaatkan kenikmatan kecuali untuk menaati Allah. Dan bersikap hati-hati dari menggunakannya untuk hal-hal kemaksiatan. Firman Allah Swt., Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) (QS Saba' [34]: 13).

Dalam ayat itu, Allah mengaitkan sikap syukur dengan keimanan. Allah juga menyatakan bahwa tidak ada tujuan bagi-Nya untuk mengazab hamba-Nya yang bersyukur. Firman Nya, Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui (QS Al-Nisa' [4]: 147).

Yakni, Allah tidak akan mengazab hambaNya jika ia memperbaiki amal dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya, Allah Mahacukup dari selain diri-Nya. Dia hanya akan mengazab hamba-Nya karena dosa-dosa mereka. sesungguhnya Allah Maha Bersyukur terhadap hamba-Nya atas ketaatan mereka kepada-Nya.

Dia juga Maha Mengetahui keadaan mereka. Begitu pun jika kalian menyempurnakan apa yang menjadi sebab terciptanya kalian, yaitu syukur dan keimanan, maka alasan Allah untuk menyiksa kalian? Dan kalaulah kita bersyukur dan beriman kepada-Nya, maka bentuk syukur dari-Nya akan bertambah karena keutamaan-Nya, kemurahan-Nya, dan kemuliaan-Nya. Allah SWT. berfirman, Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan-mu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim [14]: 7).

Yakni bahwa Allah berfirman kepada Musa, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memberitahukan kepadamu dengan tegas bahwa jika kalian mensyukuri nikmat-Nya, niscaya Dia akan menambahkan keutamaan-Nya kepada kalian. Dan jika kalian mengingkari nikmat Allah, niscaya Dia akan mengazab kalian dengan azab yang pedih." Musa berkata, "Wahai Tuhanku! Bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, sedangkan kenikmatan yang telah Engkau karuniakan melebihi amal yang telah kulakukan?” Maka wahyu Allah pun turun kepadanya, “Wahai Musa! Sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku." Dalam ayat itu, Allah mengikat tambahan keutamaan- Nya karena sikap syukur, sedangkan tambahan dari Allah itu tidak ada batasnya, sebagaimana tidak ada batas akhir untuk bersyukur kepada-Nya.

Dan ketika Iblis mengetahui nilai dari sebuah sikap syukur yang sangat tinggi, dia menjadikan tujuannya untuk menghalangi manusia dari bersyukur kepada Allah. Firman-Nya, Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat) (QS Al-A'râf [7]: 17).

Iblis senantiasa menggoda anak cucu Nabi Adam AS. dengan mendatangi manusia dari segala arah. Karenanya, dia akan menghalangi mereka dari jalan kebaikan, membungkus kebatilan dengan kebaikan, menanamkan kecintaan kepada dunia, dan menumbuhkan keraguan pada akhirat. Dan Allah tidak akan mendapati kebanyakan manusia bersyukur kepada nikmat-Nya.

Orang yang Bersyukur: Golongan yang Sangat Sedikit

Dalam ayat lain, Allah menyifati orang-orang yang bersyukur sebagai golongan yang sangat sedikit. Firman-Nya, Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih (QS Saba' [34]: 13).

Yakni bahwa Kami berkata kepada keluarga Daud, "Bersyukurlah kepada Allah atas karunia yang Dia berikan kepada kalian. Hal itu dengan cara menaati-Nya dan mengerjakan perintah-Nya. Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. Tetapi, Daud dan keluarganya termasuk dari golongan yang sedikit itu. Dari sini kita tahu bahwa kita harus selalu meneladani perilaku para nabi. Nabi Nuh AS. adalah seorang hamba yang selalu bersyukur.

Firman-Nya, (yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur (QS Al-Isra' [17]: 3). Yaitu Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang Kami selamatkan kalian dan Kami bawa kalian dalam perahu kami! Janganlah kalian menyekutukan Allah dalam beribadah kepada-Nya. Jadilah kalian orang-orang yang selalu mensyukuri nikmat-Nya, dengan meneladani akhlak Nabi Nuh as Sesungguhnya dia ada lah hamba yang bersyukur kepada Allah dengan hatinya, lisannya, dan anggota badannya. Allah, jika benar-benar kepada-Nya yang kamu sembah (QS Al-Baqarah [2]: 172).

Musa as. berkata, "Wahai Tuhanku! apakah bentuk syukur yang paling utama?" Allah menjawab, “Bersyukur kepada-Ku dalam setiap keadaan.”

Referensi: ‘Iwadh, Ahmad ‘Abduh, 2008, Mutiara Hadis Qudsi Jalan Menuju Kemuliaan dan Kesucian Hati, Bandung: PT Mizan Pustaka

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image