Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Republika Network

Ikhtiar Lahir Bathin NU Menjaga Peradaban

Lomba | Thursday, 09 Feb 2023, 20:01 WIB
Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari. Foto: NU Online.

Diriwayatkan, KH Cholil Bangkalan mengamanahkan sebuah tasbih yang dikalungkan kepada salah satu santrinya, KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo. Tasbih itu diminta untuk diserahkan kepada KH Hasyim Asy'ari.

Tasbih itu diantar santri As'ad dengan berjalan kaki, dari Bangkalan Madura ke Tebuireng Jombang. Tasbih tersebut tidak disentuhnya sama sekali, dan mempersilakan Yai Hasym untuk mengambilnya sendiri dari leher santri As'ad. Itu, bagian amanah dari Yai Cholil.

Usai tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?”

Santri As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua Asmaul Husna itu diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru.

Usai mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72).

Riwayat itu menjadi salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah sinyal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).

Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Yai Cholil untuk mengantar seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Yang maksudnya, menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama, yaitu Yai Hasyim.

Kisah itu diabadikan dalam situs NU Online, terkait kilas sejarah berdirinya NU. Riwayat serupa kerap kali tersua dari kisah-kisah tutur turun temurun, atau kisah tutur guru ke santri, maupun kisah yang terserak di pelbagai literatur ihwal sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama.

Lahirnya NU, bukan sesuatu yang instan. Bukan pula berpijak pada hal-hal keduniawian. Sebaliknya, NU lahir dari proses yang sangat panjang, melalui ikhtiar lahir bathin para Ulama terdahulu.

Awalnya, sekitar 1924, KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian Jam’iyyah yang disampaikan kepada Kiai Hasyim untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tak ujug-ujug menyetujuinya, sebelum beliau melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk Sang Maha.

Dengan kata lain, ada banyak proses ikhtiar lahir bathin sebelum gong NU dilahirkan. Doa-doa dan proses tirakat para Yai terdahulu, tentu saja ikut mendorong kedigdayaan NU di mata dunia. Kelahiran NU tak hanya dari gagasan formil dan peristiwa keduniawian, melainkan didorong pula dengan upaya ‘manajemen langit’ dari para founding father.

Dalam perjalanan 100 tahun usianya, banyak coretan emas yang mencatat peran NU untuk peradaban dan kemanusiaan. Sumbangsih panjang yang diberikan NU, tidak hanya berskala nasional, namun juga global. Yang mungkin, tidak cukup satu buku untuk menuliskan kiprahnya.

Khidmat dan kiprah NU semata untuk kemanusiaan dan peradaban. Irama yang disuakan, praktik Rahmatan lil Alaamiin yang dicontohkan, tidak hanya difokuskan untuk sesama Muslim. Melainkan juga untuk non Muslim, lintas negara, zaman ke zaman. Sepanjang perjalanan dari sebelum kelahirannya, hingga hari ini. Yang tentu, keberadaan NU diharapkan bisa terus bermanfaat sepanjang zaman.

Memasuki perjalanan abad kedua, NU menghelat Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I. Yang digelar sehari sebelum puncak Resepsi Satu Abad NU, di Surabaya, Senin (6/2/2023). Agenda ini dihadiri ratusan ulama dunia. Dan dibuka Wakil Presiden RI, KH Ma'ruf Amin.

Beberapa rekomendasi dari NU dilontarkan pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I. Nahdlatul Ulama menawarkan Fiqih peradaban baru untuk dunia. Yakni fiqih yang dapat mencegah eksploitasi identitas, menangkis penyebaran kebencian golongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia.

Butir rekomendasi fiqih peradaban, dalam pandangan Nahdlatul Ulama, dinilai menjadi cara paling tepat bagi kemaslahatan umat Islam sedunia. Konsep al ummahal Islamiyah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia sedunia, baik Muslim atau non Muslim. Sekaligus mengakui persaudaraan seluruh manusia anak cucu Adam, ukhuwah basyariah.

Secara bahasa, ukhuwah basyariyah mengandung makna persaudaraan dalam kemanusiaan.

Dalam buku Memahami Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Zaedun Na’im, menjelaskan ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang berlaku pada semua manusia tanpa membedakan ras, agama, suku, dan aspek lainnya. Ukhuwah ini dikenal pula sebagai ukhuwah insaniyah.

Dalam konsep ukhuwah ini umat Muslim diajarkan memandang orang lain dengan penuh kasih sayang. Selalu melihat orang lain dari kebaikannya, bukan keburukannya.

Dan inilah salah satu rekomendasi yang ditawarkan NU untuk dunia. Sebuah konsep yang muncul dari proses panjang tirakat lahiriah dan bathiniah. Sesuai warisan keilmuan yang diturunkan dari Rasulullah, Sahabat, Tabiin, sampai kepada founding father NU.

Yang kini kembali dibumikan generasi setelahnya, generasi pemegang tampuk kepengurusan NU kekinian untuk mengemban estafet amanah: menjaga peradaban, membumikan kasih sayang.

Shalaallahu alaa Muhammad.

***Referensi: NU Online

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image