Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Era Sofiyah

Halaqah Peradaban, Refleksi Seabad Nahdlatul Ulama

Agama | Thursday, 09 Feb 2023, 09:33 WIB

Tak salah bila peradaban Islam dianggap sebagai salah satu peradaban yang paling besar pengaruhnya di dunia. Bahkan, hingga kini, berbagai jenis peradaban Islam tersebut masih dapat disaksikan di sejumlah negara bekas kekuasaan Islam dahulu, misalnya Baghdad (Irak), Andalusia (Spanyol), Fatimiyah (Mesir), Ottoman (Turki), Damaskus, Kufah, Syria, dan sebagainya.

Menurut Ma'ruf Misbah, Ja'far Sanusi, Abdullah Qusyairi, dan Syaid Sya'roni dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, setidaknya ada dua sebab dan proses pertumbuhan peradaban Islam, baik dari dalam maupun luar Islam. Dari dalam Islam, perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam itu karena bersumber langsung dari Alquran dan sunnah yang mempunyai kekuatan luar biasa. Sedangkan, dari luar Islam, peradaban Islam berkembang disebabkan proses penyebaran Islam yang dilandasi dengan semangat persatuan, perkembangan institusi negara, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perluasan daerah Islam.

Terpisah, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Hamid Fahmy Zarkasyi, mengatakan, peradaban Islam adalah peradaban ilmu. Substansi peradaban Islam ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, sedangkan dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit dan memberi rahmat bagi alam semesta. Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis.

Karenanya, tak heran bila akhirnya kekuatan Islam yang bersendi pada Alquran mampu menaklukkan berbagai wilayah negara. Di mulai dari masa Rasulullah, kemudian diteruskan di masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa tabiin dan munculnya berbagai dinasti Islam di sejumlah negara, seperti Dinasti Abbasiyah, Umayyah, Fatimiyyah, Ottoman, Mamluk, dan sebagainya. Dari keyakinan itu pula, umat Islam mampu membentuk peradaban baru dan kebudayaan baru hingga menghasilkan berbagai macam peradaban di wilayah kekuasaan Islam tersebut.

Demikian peradaban Islam, menurut catatan, mulai meredup pada abad ke-11. Diantara penyebabnya adalah krisis politik dan ekonomi di sentra-sentra kekuasaan Islam yang membuat tradisi keilmuan terhenti. Para penguasa lebih fokus pada pemikiran fikih untuk mengendalikan perilaku rakyatnya. Sementara itu ulama lebih memilih kajian tasawuf untuk meraih ketenangan hidup. Peristiwa Perang Salib telah ikut merusak bangunan peradaban. Tradisi keilmuan beralih ke atmosfer peperangan.

Halaqah Peradaban

Proyeksi peta agama dunia yang dirilis lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC), menjadi gambaran dimana populasi Muslim menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk) pada 2050 kelak. Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi. Namun demikian, berkembangnya pemeluk Islam dari hari ke hari jika tidak diikuti prestasi keilmuan dan kontribusi pada peradaban dunia, akan menjadikan Islam diposisikan pada garis koordinat pinggiran yang tidak produktif, meski secara demografis besar.

Lantas, apa makna data tersebut bagi NU dan umat Islam Indonesia? Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia tersebut.

Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU tidak saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tetapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya jadi muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.

Visi kebangsaan tersebut dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan-tepatnya fikih-yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah apa pun, termasuk dalam hal politik, selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fikih). Dengan prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i’tidal(berkeadilan), NU mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan.

Dengan demikian, ulama pesantren tradisional telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. NU telah mampu menunjukkan jati diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. Dengan modal itu, NU bersama seluruh eksponen bangsa mengubah orientasi keberislaman, tidak hanya bergumul dengan persoalan internal kebangsaan, tetapi juga bergerak maju untuk memengaruhi pergerakan peradaban dunia.

Maka daripada itu, Halaqah Fiqih Peradaban menjadi tantangan seabad NU, menghasilkan khazanah pengetahuan, gagasan, dan menciptakan nalar kritis bagi kalangan NU, maupun bagi masyarakat umum. Pengelolaan terhadap hasil halaqah mengenai tinjauan fiqih dan referensi dalil di dalamnya tentu harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat sehingga benar-benar menjadi sumber pengetahuan yang mampu membawa perubahan.

Sebagaimana ujaran Mozaffari (1998), ahli politik kelahiran Iran yang saat ini mengajar di Universitas Aarhus Denmark, menawarkan peta jalan untuk membangun kembali peradaban Islam. Baginya, yang dibutuhkan saat ini adalah melakukan rekontruksi sejarah lampau. Rekonstruksi adalah proses intelektual: ada elemen lampau di sana yang mesti dipertahankan, tetapi dilengkapi dengan elemen kontekstual sesuai kebutuhan masanya.

Agenda tersebut diatas tentu bukan hanya penting untuk NU, melainkan juga untuk organisasi-organisasi Islam lain yang menyadari pentingnya Tanah Air, nasionalisme, dan kebangsaan sebagai pijakan dakwah Islamiah. Tanah Air itulah tempat berpijak membangun peradaban.

Referensi :

https://m-republika-co-id.cdn.ampproject.org/v/s/m.republika.co.id/amp/q943k4440?amp_js_v=a6&_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16755820844427&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Fwww.republika.co.id%2Fberita%2Fq943k4440%2Fjejakjejak-sejarah-peradaban-islam

https://www.uinjkt.ac.id/nu-dari-nusantara-untuk-dunia/

https://geotimes.id/opini/halaqah-fiqih-peradaban-dari-nahdlatul-ulama-untuk-dunia/

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image