Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image LATHIFA RACHMAH 2021

Stockholm Syndrome: Rasa Simpati Korban terhadap Pelakunya

Eduaksi | 2021-12-17 09:28:46

Pernahkah kalian mendengar kata Stockholm Syndrome? Atau kalian mendengar sebuah kasus penyanderaan dimana korban memiliki rasa simpati, mengasihani pelaku bahkan menyukai pelaku tersebut? Mungkin beberapa dari kalian pernah mendengarnya, nah..kondisi inilah yang disebut sebagai Stockholm syndrome. Sebenarnya Stockholm syndrome itu apa sih? Apa aja sih faktor penyebabnya? bagaimana gejala dari syndrome ini? Dan bagaimana cara menangani sindrom ini? Nah untuk itu ayo pahami Stockholm syndrome lebih lanjut.

sumber: TimesFreePress.com

Definisi Stockholm Syndrome

Menurut alodokter.com Stockholm Syndrome merupakan gangguan psikologis korban penyanderaan yang memiliki rasa simpati bahkan muncul rasa kasih sayang pada pelakunya. Menurut klikdokter.com Stockholm syndrome merupakan kondisi psikologis dimana korban penculikan atau kejahatan lainnya jatuh cinta kepada pelaku kejahatan tersebut. Sebenarnya kenapa sih hal ini bisa terjadi? Stockholm syndrome bisa terjadi karena sindrom ini merupakan reaksi psikologis yang muncul sebagai bentuk pertahanan diri korban, baik secara sadar maupun tidak sadar. Kalian pasti tahukan bahwa korban penculikan, kekerasan maupun korban penyanderaan akan merasakan ketakutan, amarah, rasa benci, panik, gelisah, stress serta perasaan negatif lainnya. Tetapi lain halnya dengan korban yang mengalami Stockholm Syndrome karena korban tidak mampu menanggung perasaan tersebut dalam waktu yang lama sehingga membuat korban lelah secara mental. Akibatnya, bentuk pertahanan diri korban berlawanan terhadap reaksi yang seharusnya. Ketika korban seharusnya merasakan amarah, takut, benci, stress, panik malah berubah menjadi perasaan simpati bahkan bisa menjadi rasa kasih sayang kepada pelaku.

Kalian tahu nga asal mula istilah Stockholm syndrome ini? Nah istilah Stockholm syndrome diperkenalkan oleh kriminolog dan psikiater yaitu Nils Bejerot sebagai penjelasan reaksi psikologis korban sandera atau kekerasan. Nama sindrom ini diambil dari kasus perampokan Bnk Swedia Kreditbanken yang terjadi di Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Pelaku kejahatan ini yaitu Olsson dan olofsson menyandera empat orang pegawai bank selama enam hari. Lalu pada saat penyelamatan para sandera ini terjadi suatu kejadian unik dimana para sandera malah membela pelaku. Ketika pelaku dijatuhi hukuman buipun para sandera masih berusaha menyelamatkan kedua pelaku tersebut.

Penyebab Stockholm syndrome

Menurut para psikolog Stockholm Syndrome diduga sebagai bentuk pertahanan atau cara korban menangani stress maupun trauma yang berlebihan. Sebenarnya penyebab dari sindrom Stockholm ini masih tidak dapat dipastikan tetapi menurut alodokter.com dan klikdokter.com ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya sindrom ini, antara lain:

1. Korban dan pelaku berada dalam ruangan dan situasi yang sama.

2. Korban merasa pelaku memperlakukannya dengan baik, karena pelaku tidak menyakitinya maupun membunuhnya.

3. Dalam penyanderaan, ketika pelaku dan korban berada dalam ruangan yang sama tanpa adanya pihak lain, hal ini dapat memunculkan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengamati dengan prespektif yang berbeda.

4. Agar nyawanya selamat, korban berusaha berbuat baik kepada pelaku, sehingga lama-kelamaan menjadi kebiasaan.

Gejala Stockholm Syndrome

Seperti kebanyakan syndrome lainnya, Stockholm syndrome merupakan suatu kelainan. Para ahlipun sepakat menyebutnya sebagai bentuk hubungan yang tidak sehat. Stockholm syndrome juga memiliki gejala ataupun tanda-tanda, layaknya syndrome lain. Berikut gejala dari Stockholm syndrome:

1. Munculnya perasaan positif atau menunjukkan kekaguman terhadap penculik, penyandera, atau pelaku kekerasan.

2. Sulit tidur atau insomnia.

3. Mudah kaget, gelisah bahkan sampai mimpi buruk.

4. Berusaha membela atau menyelamatkan pelaku.

5. Berusaha menyenangkan hati pelaku.

6. Adanya perasaan negative terhadap keluarga, teman, pihak berwenang atau masyarakat yang berusaha menyelamatkan korban.

7. Menolak memberikan kesaksian kejahatan pelaku kepada pihak berwenang.

8. Tidak berusaha melarikan diri.

Cara Menangani Stockholm Syndrome

Karena Stockholm syndrome terjadi ketika seseorang merasakan takut, stress, amarah secara berlebihan, maka cara menanganinya bisa dilakukan dengan konseling ke psikiater. Menurut alodokter.com para psikiater akan menggunakan pola yang sama seperti penderita PTSD untuk mengatasi situasi traumatis. Penderita sindrom ini juga akan diberikan obat yang sama seperti penderita PTSD untuk mengatasi kecemasannya.

Syndrome ini juga bisa ditangani dengan menggunakan terapi kelompok, dimana korban akan belajar mengontrol emosi dan membentuk hubungan baru dengan orang yang memiliki situasi yang sama. juga adanya terapi keluarga untuk korban sindrom Stockholm ini, dimana korban bisa menceritakan masalah ataupun kekhawatirannya kepada keluarga secara terbuka. Sehingga kelurga bisa membantu korban Stockholm sindrom ini. Dengan adanya terapi-terapi tersebut diharapkan para korban mampu bergerak maju, memantapkan kembali emosi positif yang dapat membantu para korban memahami bahwa itu bukan kesalahan mereka.

Berdasarkan uraian diatas, kalian pasti tahu bahwa Stockholm Syndrome itu kondisi tidak umum dimana korban memiliki rasa simpati bahkan sampai menyukai pelaku kejahatan. Karena korban mengalami ketakutan, amarah, stress secara berlebihan sehingga membuat mereka lelah mental. Apabila kalian ataupun orang terdekat kalian mengalami gejala Stockholm syndrome maka kalian harus segera berkonsultasi ke psikiater agar penangannya segera dilakukan.

Sumber:

https://www.klikdokter.com/penyakit/sindrom-stockholm

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/stockholm-syndrome-adalah-sindrom-stockholm/

https://www.alodokter.com/memahami-fenomena-stockholm-syndrome

https://www.healthline.com/health/mental-health/stockholm-syndrome

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image