Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Kholiyi

Menyongsong Satu Abad NU: Nahdlatul Ulama, Globalisasi, dan Peradaban Islam

Khazanah | Tuesday, 07 Feb 2023, 20:20 WIB
Sumber foto: Google

Tahun ini, Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia telah memasuki usianya yang 100 tahun secara hijriyah. 100 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah bertepatan dengan 31 Januari 1926 Masehi, NU didirikan oleh seorang Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Jauh sebelum terbentuknya ormas yang giat merawat tradisi Islam di nusantara tersebut, terlebih dahulu berdiri Nahdlatul Wathan (Gerakan Nasionalisme) pada tahun 1916 oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur, kemudian dua tahun berselang berdiri perserikatan pedagang Islam yang diberi nama Nahdatut Tujjar (Gerakan Ekonomi) yang didirikan oleh 45 orang dari kalangan pedagang muslim dan pesantren pada tahun 1918. Tahun 1919 kemudian didirikan lembaga pendidikan Islam yang Bernama Madrasah Tashwirul Afkar (Gerakan Pendidikan/Intelektual).

Pada tahun 1922 terjadi perdebatan doktrin keagamaan dalam Kongres Al-Islam yang dilaksanakan di Cirebon. Perdebatan doktrin keagamaan itu terutama dalam klaim legitimasi terhadap pemikiran hukum Islam (Fiqih) oleh gerakan Islam transnasional yang secara serampangan menuduh tradisi keislaman dan peribadatan umat muslim di nusantra penuh dengan nuansa syirik, bid’ah, dan khurafat.

Atas dasar kekhawatiran karena semakin maraknya tuduhan syirik dan bid’ah terhadap tradisi keislaman nusantara oleh para aktivis gerakan Islam transnasional tersebut, KH. Wahab Hasbullah (salah satu muassis NU) mengusulkan dibentuknya suatu jam’iyah yang mampu mengantisipasi gerakan tersebut dan sekaligus mampu merawat dan menjaga tradisi keislaman Nusantara. Usulan itu kemudian disampaikan kepada KH. Hasyim Asy’ari.

Maraknya tuduhan syirik, bid'ah, serta khurafat terhadap tradisi keislaman nusantara tersebut tak terlepas dari berkembangnya paham Wahabi Salafi yang didirikan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab di Timur Tengah yang berafiliasi dengan keluarga Ibnu Saud yang dikemudian hari menguasai wilayah Hijaz dan mendirikan Kerajaan Saudi Arabia. Paham ultra konservatif ini kemudian secara masif disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaan Saudi Arabia dengan sokongan penuh dari keluarga kerajaan Ibnu Saud.

Hingga pada akhirnya, masyarakat Nusantara yang belajar Islam di Mekah dan Madinah secara tidak langsung terdoktrinasi oleh paham Wahabi Salafi dan kemudian membawanya pulang ke Nusantara untuk disebar luaskan. Ciri khas paham Wahabi yang kentara tersebut adalah gemarnya para pengikut paham ini menuduh syirik, bid’ah, dan khurafat terhadap tradisi keislaman di Nusantara. Kemudian tuduhan itu makin kentara dan terbukti pada Kongres Al-Islam I yang dilaksanakan di Cirebon.

Karena paham Wahabi Salafi disokong baik secara kekuatan dan logistik (finansial) langsung oleh Kerajaan Saudi Arabia, paham ini dengan mudah mampu menyebar dan makin menjadi-jadi. Sejak Ibnu Saud yang pada saat itu dijuluki Raja Najed menaklukkan Hijaz (Mekah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi Salafi menjadi sangat dominan di tanah Haram. Karena sifatnya yang konservatif, kelompok Islam lain dilarang mengerjakan peribadatan keislaman sesuai mazhab yang dianutnya. Bahkan tidak sedikit ulama-ulama yang dibunuh karena tidak patuh dan menentang faham Wahabi Salafi tersebut.

Eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain akhirnya tidak bisa terhindarkan. Mereka yang menolak patuh dan tidak mau mengikuti paham Wahabi akhirnya pindah atau pulang ke negaranya masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.

Dengan dalih untuk menjaga kemurnian agama Islam dari kemusyrikan dan perbuatan bid’ah, berbagai tempat bersejarah dalam Islam mereka bongkar dan hancurkan oleh gerakan Wahabi ini, termasuk juga rumah Nabi Muhammad dan para sahabat. Hingga pada puncaknya, yang kemudian mengakibatkan pergolakan umat Islam di dunia, mereka juga hendak membongkar makam Nabi Muhammad SAW.

Dalam situasi yang dirasa riskan seperti demikian, para ulama dan umat Islam dari berbagai belahan dunia, termasuk umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah merasa sangat prihatin dan melancarkan protes keras. Oleh karena hal tersebut para ulama Indonesia dari berbagai daerah pada tahun 1926 berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci tersebut.

Hasil dari pertemuan para ulama tersebut yakni berinisiatif mengirimkan utusan untuk menemui Raja Ibnu Saud untuk menyampaikan masukan dari para ulama di Indonesia. Utusan inilah yang di kemudian hari disebut dengan komite Hijaz yan tidak lain dan tidak bukan diprakarsai oleh KH. Wahab Hasbullah atas restu KH. Hasyim Asy’ari.

Masukan para ulama Indonesia tersebut terdiri atas lima permohonan, yakni pertama; memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. kedua; memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut diwakafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran, dan bangunan lainnya.

Ketiga; memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji mengenai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jama’ah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jeddah sampai pulang lagi ke Jeddah. Keempat; memohon agar semua hukum yang berlaku di Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang undang tersebut.

Kelima; Komite Hijaz memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada delegasi tersebut.

Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi formal yang harus menaungi delegasi tersebut, para ulama kembali berkumpul untuk membahas pembentukan organisasi induk yang menaungi komite Hijaz. maka didirikanlah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama (artinya; Kebangkitan Para Ulama) oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Rasa Ibnu Saud. Berkat kegigihan para kiayi dan ulama yang tergabung dalam komite Hijaz, aspirasi umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah akhirnya diterima oleh raja Ibnu Saud.

Meninjau dari pembentukan komite Hijaz yang merupakan respons para ulama terhadap perubahan ajaran di dua kota suci (Mekah dan Madinah) tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komite Hijaz merupakan faktor terpenting dari proses lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).

NU dari awal berdirinya hingga sekarang memasuki usianya yang 100 tahun terbukti mampu memberikan kontribusi dan sumbangsih nyata terhadap peradaban Islam di dunia. Hal ini tak terlepas dari karakter dakwah NU yang inklusif dan kontekstual. NU selalu mampu menghadirkan nuansa kebersahajaan antara penerapan ajaran Islam dengan kearifan tradisi juga berkesinambungan dengan prinsip-prinsip kebangsaan. Hubbul wathon minal iman menjadi jargon yang sering digaungkan dalam prinsip komitmen kebangsaan NU.

Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) harus berjalan seimbang dengan penjagaan kita terhadap hal-hal lama yang baik. Oleh karenanya Nahdlatul Ulama juga sangat mengedepankan prinsip dan Kaidah ushul fiqih “al-muhafadhatu ‘alal qadimish sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah”, yakni ‘Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa kemajuan IPTEK di tengah arus globalisasi yang cepat saat ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin dihindari. Menurut KH. Ma’ruf Amin, selain memberikan berbagai manfaat yang telah kita rasakan. Kemajuan IPTEK juga membawa disruptif atau perubahan cepat yang mendasar.

Dampak disruptif akibat kemajuan IPTEK ini, lanjutnya telah dan akan mengubah cara manusia dalam beraktivitas, berbisnis, berproduksi, bertransaksi, dan berinteraksi. Prinsip “al-muhafadhatu ‘alal qadimish sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah”, yakni ‘Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik’ dalam hal ini mampu memandu kita dalam bergerak serta menyelaraskan antara kemajuan Ilmu Pengetahuna dan Teknologi (IPTEK) serta IMTAQ (Iman dan Taqwa).

Masih menurut KH. Ma’ruf Amin, bahwa memelihara hal-hal yang baik artinya menjaga warisan yang dimiliki. Warisan itu meliputi akidah, yakni akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dan cara berpikir moderat, dinamis, dan bermanhaj, serta amaliyah nahdliyyah. Adapun mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik berarti melakukan transformasi, terutama dalam menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi, yang pada saat ini merupakan patokan penentu kemajuan dan daya saing.

Nahdlatul Ulama & Globalisasi

Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari dan tak mampu terbantahkan. Bila kita tidak mampu menyesuaikan diri, maka kita akan tergerus oleh cepatnya kemajuan zaman. Jika kita tidak siap secara mental, tidak matang dalam pemahaman IPTEK dan pengamalan IMTAQ, kita hanya akan menjadi penonton bahkan korban globalisasi.

Nahdlatul Ulama, sebagai salah satu organisasi yang sudah memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia dan bahkan memiliki banyak cabang istimewa (per tahun 2022 terdapat 34 struktur PCINU di luar negeri) yang tersebar di seluruh dunia selalu berupaya menjawab tantangan arus globalisasi tersebut.

Bahkan, selain kehadiran puluhan cabang istimewa yang tersebar di seluruh dunia tersebut, di Afghanistan sengaja dibentuk Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA) yang didirikan oleh ulama Afghanistan yang mayoritas berasal dari etnis Pashtun. NU Afghanistan didirikan oleh Fazal Ghani Kakar yang juga Managing Director Noor Educational & Capacity Development Organization (NECDO) yang banyak bergerak dalam pemberdayaan perempuan dan menjadi pelaksana program United Nation Develoment Fund for Women (UNIFEM), salah satu agensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pemberdayaan pesempuan Afghanistan.

Selain itu juga adan Nahdlatul Ulama Malaysia (NA’AM) yang merupakan jam’iyyah NU yang para pengurusnya adalah warga asli Malaysia. NA’AM didirikan pada tahun 2019, dan menggelar Muktamar ke-1 pertama pada tahun 2020 untuk Menyusun kepengurusan priode 2020-2022. Muktamar pertama NA’AM tersebut dibuka oleh Mustasyar NA’AM Pusat al-Allamah Tuan Guru Hj Wan Muhammad Izzuddin bin Syaikh Wan Ibrahim dan hasilnya menjadikan Dr. Khafidz Soroni (Sya’roni) kemudian terpilih sebagai ketua tanfidziyah baru menggantikan Faiz Hafizuddin bin Rosli.

Prinsip-prinsip dasar gerakan Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA) juga Nahdlatul Ulama Malaysia (NA’AM) tersebut tentunya sama seperti Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia. Karena memang inspirasi pembentukan NU di kedua negara tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah dari NU Indonesia yang sudah hadir sejak 1926.

Halaqoh Fiqih Peradaban yang diinisiasi oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf adalah salah satu upaya NU dalam menjawab tantangan global sekaligus sumbangan NU dalam diplomasi global. Program prestisius PBNU tersebut dilaksanakan secara marathon selama 5 bulan di 250 titik dan 50 pendamping hingga akhir Januari 2023.

KH. Ulil Absar Abdalla selaku Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU mengungkapkan bahwa halaqoh yang digelar secara maraton tersebut memiliki tujuan mulia. Yakni bagaimana melibatkan pesantren dalam mendiskusikan masalah kekinian yang nantinya untuk menghasilkan rekomendasi yang dijadikan masukan pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang akan berlangsung saat peringatan 1 Abad NU 16 Rajab 1444 H yang bertepatan 7 Februari 2023 sebagai wujud sumbangsih NU dalam diplomasi global.

Sumbangsih NU dalam diplomasi global itu tidak lepas dari empat prinsip dasar yang selalu diejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga juga dapat diterima oleh masyarakat global, terbukti dari banyaknya utusan negara-negara lain yang dengan sengaja datang melakukan study banding, berdialog, dan saling bertukar gagasan dengan Nandlatul Ulama. Empat prinsip dasar tersebut adalah at-Tawassuth, at-Tawazun, at-Tasamuh, dan I’tidal.

Pertama, at-Tawassuth berarti adalah sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan. Kedua, at-Tawazun artinya seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Ketiga, al-I’tidal atau tegak lurus (tidak berat sebelah/berkeadilan).

Kemudian yang keempat, Tasamuh berarti sikap toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Akan tetapi, bukan juga berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.

Keempat prinsip dasar tersebut terbukti menjadi katalisator kehidupan keberagamaan di Indonesia ke arah karakter-karakter moderat. Dan karena empat prinsip dasar ini Nahdlatul Ulama mampu dengan mudah bersinergi dengan elemen-elemen lintas agama dalam mewujudkan Indonesia menjadi negeri yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghafuur, yang bisa diinterpretasikan sebagai sebuah negara yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya dengan sehingga Rabb (Tuhannya) ridha dan mengampuni negeri tersebut.

Pengaruh NU bagi peradaban dunia juga terbukti dari suksesnya Forum R20 atau Religion of Twenty 2022 dalam rangkaian Presidensi G20 yang dilaksanakan di Bali pada. Forum R20 ini pertama kali digagas oleh KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) begitu dia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, di akhir Desember 2021. PBNU kemudian menggandeng Muslim Word League atau Rabithah Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia sebagai co-host. Sebagian besar peserta forum ini telah terbangun sinergi dengan Gus Yahya sendiri dan PBNU sejak setidaknya 2017 dalam berbagai forum internasional tantang dialog antaragama dan kepercayaan.

R20 ini merupakan forum para pimpinan agama-agama dan sekte-sekte dengan peserta utama dari negara-negara anggota G20 dengan memanfaatkan posisi presidensi Indonesia tahun ini. Selain peserta utama dari negeri-negara G20, forum R20 juga mengundang para pimpinan agama dari negara lain di luar G20 sehingga ada total 32 negara yang terlibat dalam forum R20 tersebut dengan jumlah peserta sebanyak 464 undangan. Sebanyak 170 di antaranya dari luar negeri yang berasal dari lima benua di dunia. Peserta forum R20 ini merupakan para pimpinan agama dan sekte yang memiliki pengikut jutaan bahkan puluhan juta orang.

Forum yang mengambil tagline “Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solusions: an International Movement for Shared Moral and Spiritual Values” diselenggarakan pada 2-3 November 2022 yang lalu tersebut juga didesain secara khas dan tentunya berbeda seperti kebanyakan pertemuan, seminar, atau konferensi internasional lainnya. Dalam forum ini para peserta akan mengekspresikan berbagai problem di dalam agama, sekte, atau keyakinannya dalam menghadapi problem kemanusiaan global untuk kemudian dicari pemecahan masalahnya.

Problem-problem yang dibahas dalam forum R20 itu diantaranya adalah kemiskinan, kesenjangan global, polarisasi sosial politik, serta bangkit dari keterpurukan pandemic Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mengancam krisis energi dan pangan global.

Nahdlatul Ulama dan Peradaban Islam

Sama seperti ormas Muhammadiyah yang terlebih dahulu lahir (1916), NU merupakan ormas yang berupaya secara konsisten membuktikan relevansinya sebagai penyangga dan jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur yang pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaan dan kebangsaannya banyak mempengaruhi cara bergerak NU menyatakan bahwa apapun pengorbanan yang harus dikeluarkan dan berapapun harga yang harus dibayar, Pancasila dan NKRI harus dipertahankan.

Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menujukan relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para Muassis NU tidak hanya meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, akan tetapi juga telah memberikan teladan yang nyata bagaimana seharusnya menjadi seorang muslim di tengah keberagaman yang kompleks. Konsepsi keislaman yang diramu oleh para ulama-ulama perintis Nahdlatul Ulama adalah model keislaman yang bisa menjadi penopang kehidupan bangsa dalam memayungi beragam perbedaan.

Visi-visi kebangsaan yang NU usung selalu terlihat jejak-jejaknya dalam setiap perhelatan muktamar ke muktamar dan selalu menjadi topik utama yang dijadikan perbincangan di dalam forum muktamar. Termasuk dalam perhelatan Muktamar NU ke-34 yang diselenggarakan di Lampung pada 23-25 Desember 2022 yang lalu, tagline atau tema yang diusung yaitu “Menuju Satu Abad NU: Membangun Kemandirian Warga, untuk Perdamaian Dunia”.

Jika kita menelisik mengenai apa yang menjadi isu strategis yang dibahas pada Muktamar NU ke-34 diantaranya antara lain adalah masalah pertanahan dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, muktamar ke-34 NU tersebut juga membahas persoalan masa jabatan kepemimpinan negara. Hal itu dinilai berkaitan dengan fiqih siyasah (pengetahuan politik) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Tema dan diskursus yang dibahas dalam perhelatan Muktamar NU ke-34 tersebut jelas kentara dengan visi-visi kebangsaan yang secara konsisten menjadi landasan perjuangan NU sejak awal kehadirannya.

Visi kebangsaan yang selalu konsisten menjadi pembahasan utama dan menjadi isu strategis dalam setiap penyelenggaraan muktamar NU itu tentunya dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan - tepatnya fiqih - yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Hal inilah yang kemudian menjadi ke-khas-an NU. Keputusan dan langkah apa pun, termasuk dalam hal politik, selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fiqih).

Dengan prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), tasamuh (toleran), dan I’tidal (berkeadilan), NU mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Walaupun 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam, tapi Indonesia tidak menjadi negara Islam, dan terbukti kecintaan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada negara ini tak sedikit pun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia yang memiliki ideologi dasar Pancasila selalu eksis dan tetap stabil walau diterpa goncangan yang datang silih berganti yang mencoba merongrong persatuan dan kedaulatan bangsa.

NU telah membuktikan konsep Islam yang Rahmatan lil Alaamin, sebagai rahmat bagi seluruh alam. NU telah mampu menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. NU juga telah membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua hal yang perlu untuk dipertentangkan, melainkan bisa menjadi harmoni untuk saling menguatkan diantara keduanya. Paham keagamaan yang dikembangkan NU - prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), tasamuh (toleran), dan I’tidal (berkeadilan) – tersebutlah yang tentunya memungkinkan keharmonisan yang berkesinambungan antara keislaman dan keindonesiaan.

Bahkan keharmonisan dan kesinambungan antara pemahaman agama dan pemahaman kenegaraan NU sudah terejawantahkah, misalnya, sebelum Indonesia menjadi negeri yang merdeka sekalipun, pada Muktamar NU di Menes, Banten tahun 1938, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai Daar al-Islam, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam.

Alasannya adalah bahwa penduduk Muslim dapat melaksanakan syariat, syariat juga dijalankan para pegawai pemerintahan yang juga Muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja Muslim. Cara pandang tersebut merupakan khas Sunni dalam mengesahkan dan menerima sebuah kekuasaan politik, sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan.

Kearifan-kearifan lokal yang dijaga dan dirawat oleh NU melalui kalangan Nahdliyyin (sebutan bagi warga NU) juga merupakan anugrah bagi Indonesia sehingga wariskan tradisi dan kebudayaan bangsa masih bisa eksis disaat ada banyak kalangan terutama dari gerakan Islam transnasional dan ultra konservatif mengampanyekan istilah syirik, bid’ah, dan khurafat terhadap tradisi keislaman di nusantara.

Prinsip moderasi beragama sebagaimana yang diaplikasikan NU pada akhirnya yang perlu dikampanyekan secara konsisten oleh segenap eksponen bangsa. Mengingat pemerintah juga harus selalu bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi, mengingat pada era disrupsi akibat perkembangan teknologi yang begitu pesat seperti sekarang, semua hal bisa terjadi secara mendadak dan tidak terduga.

Penyebaran paham transnasional dan ultra konservatif yang berbahaya bagi kedaulatan bangsa dewasa ini sangat mudah menjalar di kalangan warga negara dikarenakan kemudahan dan kepraktisan setiap orang memperoleh informasi. Informasi dalam hal ini tentang paham-paham ajaran dan doktrin gerakan transnasional dan ultra konservatif yang diperoleh tersebut yang kemudian menjadi berbahaya, karena terkadang tidak diimbangi dangan pengelolaan dan penyaringan informasi, seperti melalui verifikasi atau tabayyun kepada para kiyai atau ulama yang memiliki kapasitas untuk menjelaskannya. Doktrin-doktrin keagamaan konservatif akhirnya akan dengan mudah masuk dan dilahap mentah-mentah oleh masyarakat umum.

Bahaya tersebut semakin menjadi apabila karakter keberagamaan yang konservatif hasil berguru dari internet atau tokoh-tokoh dari gerakan transnasional dan ultra konservatif kemudian disebarluaskan bahkan kadang menjadi pertentangan di lingkungan keluarga atau masyarakat tempat orang yang terpapar paham yang konservatif tersebut.

Ucapan dan tuduhan kemusyrikan, perilaku membid’ahkan, dan menuduh tradisi keislaman nusantara sebagai perbuatan khurafat dan saling mengkafirkan akhirnya akan mudah terlontarkan dan tentunya akan mengakibatkan pertikaian horizontal di kalangan masyarakat.

Demikian juga, karena arus informasi yang begitu deras, prilaku sekuler (mengesampingkan bahkan menyepelekan agama), perilaku liberal, skeptis terhadap nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan juga adalah sesuatu yang berbahaya juga.

Moderasi beragama adalah jawaban kongkrit untuk meredam perilaku-perilaku yang akan dan sudah timbul seperti di atas. Moderasi beragama ini merupakan konsep beragama yang pada hakikatnya telah ditetapkan dalam keseharian bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Yakni tentang konsep hidup beragama yang moderat (konsep jalan tengah). Dengan moderasi beragama seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalankan ajaran agamanya. Orang yang mempraktikkannya kemudian disebut moderat.

Dari karakter moderat tersebut kemudian akan dengan sendirinya prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), tasamuh (toleran), dan I’tidal (berkeadilan) menjadi bagian dari cara hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian bangsa ini akan benar-benar menjadi bangsa yang besar dan berperadaban. Dengan demikian bangsa ini dengan Nahdlatul Ulama yang menjadi penopang dan bentengnya akan tetap kukuh Bersatu dalam keberagaman dan kemajemukan yang selalu terjaga dengan baik. Dengan demikian, NU sebagai ormas Islam yang juga sekaligus sebagai benteng bangsa dan negara pada usianya yang mencapai satu abad pada tanggal 16 Rajab 1444 Hijriyah bertepatan dengan 07 Februari 2023 akan menjadi digdaya dalam menjemput abad kedua menuju kebangkitan baru.

Oleh : Ahmad Kholiyi, S.Hum. (Direktur LsIS Banten, Koordinator Gusdurian Lebak, Kader Ansor Kab. Lebak)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image