NU, Gus Dur, dan Perdamaian
Lomba | 2023-02-06 16:19:15Oleh: Dimas Sigit Cahyokusumo
Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Tentu dalam peranannya harus mampu mengcover segala kepentingan masyarakat yang tidak hanya umat Islam saja, melainkan masyarakat Indonesia dan keberagamannya. Apalagi Indonesia yang mayoritas beragama Islam dengan segala ekspresinya, tak jarang dalam praktiknya sering terlibat dalam konflik yang mengatasnamakan agama.
Oleh karena itu, di tengah-tengah padang sahara kekerasan, konflik, dan ekstrimisme yang tengah melanda dunia Islam, kehadiran Islam Indonesia yang dipresentasikan Nahdlatul Ulama (NU) harus mampu menjadi kiblat baru yang mengedepankan Islam yang berwajah damai, toleran dan terbuka. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab sebagaimana dikatakan oleh K.H Miftachul Akhyar bahwa kelahiran NU untuk perdamaian dunia. Hal itu sebagaimana tercermin dalam lambang NU yang melintasi gambar bumi, menandakan bahwa NU lahir untuk dunia (Aula, 2022).
Apalagi lahirnya NU didasarkan pada ajaran yang disebut dengan ahlu sunnah wal jama’ah. Sebuah ajaran yang telah dikembang oleh para walisongo saat menyebarkan Islam di Nusantara sejak abad ke-7 secara damai. Atas dasar ajaran ini, NU tentu mempunyai amanah besar dalam “da’wah Ila-Ilah” (ud’u ila sabili rabbika/waman ahsana qaulan min man da’a ill-allah) mengajak manusia untuk menempuh jalan yang diridhai oleh Allah Swt, melalui Rasul-Nya (Ulya, 2021).
Kehidupan yang diridhai oleh Allah Swt tentu merupakan kehidupan yang damai dan rahmatan lil’alamin. Adapun cara-cara yang dipergunakan untuk memenuhi kehidupan yang diridhai itu, ada beragam cara, salah satunya melalui diplomasi. Sebagaimana dilakukan pertama kali saat NU memulai kegiatan politiknya pada tahun 1926-1928 yang dikenal dengan Komite Hijaz NU. Dimana pada saat itu, K.H Wahab Chasbullah melakukan diplomasi dengan Raja Arab Saudi untuk menengahi pertikaian terkait soal pembongkaran makam dan masalah mazhab (Mu'im, 2023).
Berangkat dari prinsip dakwah Islam yang damai serta tujuan dari lahirnya NU, yakni untuk menciptakan perdamaian. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai representasi Nahdlatul Ulama (NU) sejak dulu selalu giat memperjuangkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para leluhur dan pendiri NU. Perdamaian yang digaungkan Gus Dur bukan saja perdamaian yang berdiri di atas permukaan, dalam pengertian bukan tidak adanya peperangan atau kerusuhan. Melainkan perdamaian yang sungguh-sungguh mengakar pada kondisi sosial masyarakat. Sebagaimana yang dimaknai oleh pakar studi perdamaian, yakni Johan Galtung.
Menurut Johan Galtung perdamaian itu terbagi dua, yakni perdamaian negatif dan positif. Perdamaian negatif adalah pemberhentian atau peniadaan kekerasan langsung. Seperti contoh adalah proses perdamaian untuk menghentikan peperangan. Sedangkan perdamaian positif, diartikan secara positif ketika kekerasan secara struktural dan kultural sudah bisa dihilangkan. Perdamaian secara positif bisa dicapai ketika adanya penghapusan terhadap segala bentuk ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam struktur sosial. Perdamaian positif bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan setiap individu yang termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat, kesetaraan, kesejahteraan, dan keadilan (Perwita, 2015).
Melalui kerangka makna perdamaian yang dicetuskan oleh Johan Galtung, nampaknya Gus Dur merupakan sosok yang paling mempresentasikan makna perdamaian positif yang sesungguhnya. Hal itu terlihat dari perjuangannya untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000, yang isinya mencabut Inpres Nomor 14/1967 yang dibuat Soeharto untuk menekan aktivitas warga Tionghoa.
Dengan kebijakan yang dilakukan oleh Gus Dur tersebut, secara tidak langsung telah membuktikan bahwasannya perdamaian itu dapat tercapai tatkala segala bentuk diskriminasi dan penindasan dapat dihapuskan di muka bumi. Bertahun-tahun etnis Tionghoa hidup dalam tekanan rezim yang tidak berpihak padanya. Tetapi melalui kebijakan Gus Dur yang memperjuangkan perdamaian secara positif, etnis Tionghoa bisa menjalankan aktivitas perayaan Imlek.
Bahkan Gus Dur lebih jauh melihat bahwa agama bukan saja soal ibadah individual, melainkan ibadah sosial dimana keimanan harus direalisasikan dalam sebuah keprihatinan sosial sehingga mampu melahirkan langkah pembebasan menuju keadilan. Lagi-lagi disini Gus Dur dengan tegas telah memperjuangkan prinsip-prinsip perdamaian yang positif. Bahwa perdamaian bukan hanya soal tidak adanya peperangan, melainkan terciptanya keadilan sosial.
Kiranya melalui pemikiran dan gagasan sosok Gus Dur inilah sumbangan terbesar Nahdlatul Ulama (NU) bagi terciptanya bukan saja peradaban Islam yang maju, melainkan peradaban Islam yang damai, terbuka, dan toleran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.