Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image A. R. Bahry Al Farizi

Refleksi untuk Berbangsa dan Beragama: Sikap Moderasi Sebagai Sikap Terbaik

Agama | Thursday, 02 Feb 2023, 23:33 WIB
republika.co.id
republika.co.id

Kondisi kebangsaan kita hari ini bisa dikatakan mengalami krisis akut. Buktinya, masih marak terjadi kasus intoleransi di mana-mana. Sebagaimana yang diberitakan, beberapa peristiwa disebabkan oleh kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat.

Komunikasi yang kurang baik melatarbelakangi kesalahpahaman yang terjadi. Tiap-tiap pihak bersikeras dengan pendapat yang dianggapnya paling benar.

Konflik SARA di Indonesia belum menemui titik selesai. Bahkan dalam intensitas yang tinggi, bisa saja konflik besar pecah dalam waktu dekat ini. Kondisi sosial, ekonomi dan politik yang jatuh pada situasi krisis sangat mungkin menjadi pemicu.

Oleh karenanya, jika paradigma masyarakat dalam berkebangsaan belum menemui titik persamaan (kalimatun sawa’) maka konflik yang kita takutkan akan terjadi. Ditambah perlunya I’tikad baik pemerintah untuk memperbaiki kondisi krisis yang sedang terjadi.

Pemicu konflik juga bisa disebabkan oleh komunikasi yang kurang baik pemerintah kepada masyarakat. Kita tentu paham konflik Tanjung Priok 1984.

Diawali dengan kesalahpahaman Pemerintah dan warga sekitar yang mengakibatkan konflik yang memakan banyak korban jiwa. Apalagi, dalam konflik tersebut terdapat simbol-simbol keagamaan yang ditonjolkan. Tentu, kita tidak ingin itu terulang.

Kita juga teringat konflik Poso yang sangat menakutkan itu. Begitu pula konflik Ambon dan Sampang. Setiap peristiwa dirasa begitu dominan unsur keagamaannya. Maka kita harus merumuskan suatu paradigma atau pandangan utuh mengenai kebangsaan yang berlandaskan religiusitas, intelektualitas dan humanitas.

Wawasan keindonesiaan perlu digalakkan secara serius supaya konflik-konflik yang telah disebutkan tidak terulang. Negara dengan horizon kebudayaan dan keagamaan yang begitu luas tentu saja memerlukan suatu wawasan otentik mengenai kebangsaan agar keutuhan bangsa ini tetap terjaga.

Menurut almarhum Buya Syafii Maarif, penyebab konflik SARA pada era modern bukanlah perbedaan agama, melainkan lebih banyak dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi yang didalangi oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, parokial, dan berniat buruk.

Para pendahulu bangsa ini telah merumuskan suatu konsep ideologi yang berfungsi sebagai pemersatu dari banyaknya suku bangsa yang menghuni kepulauan Nusantara ini. Batas-batas geografi ditetapkan dengan landasan historis panjang yang telah dilalui oleh perjalanan bangsa ini.

Semuanya menyatu dalam suatu komunitas imajinatif, meminjam istilah Benedict Anderson, yakni berkumpulnya berbagai ras, suku, agama yang begitu kaya dalam satu naungan bangsa bernama Indonesia, walaupun antara satu dengan yang lain mungkin belum pernah bertemu atau bertatap wajah secara langsung.

Ada semacam persamaan keresahan dan kegelisahan bersama yang dirajut dalam benang bernama Pancasila.

Pancasila diyakini mampu menjelma sebagai perekat keberagaman bagi segenap masyarakat Indonesia.

Namun, pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari tidak kalah penting agar pancasila tidak menjadi sebatas jargon. Perlu komitmen bersama-sama agar kebangsaan yang utuh ini bisa tetap dipertahankan.

Pada setiap tanggal 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Pedoman Peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2022, tema yang diangkat ialah “Bangkit Bersama Membangun Peradaban Dunia”.

Ini menujukkan bahwa Pancasila diyakini mampu membawa Indonesia sebagai pelopor peradaban dunia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai universal yang dianut oleh seluruh masyarakat dunia. Maka dari itu, pancasila sebagai paradigma kebangsaan harus dijadikan sebagai nilai utama dalam bernegara.

Kita tidak perlu khawatir mengenai pertentangan antara Islam dan Pancasila yang masih diyakini oleh sebagian orang. Bukankah Pancasila sendiri mampu membuktikan dirinya sebagai ideologi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Lagipula, perdebatan yang menghadapkan antara Islam dan Pancasila merupakan perdebatan yang telah usang.

Nilai universalitas Islam sudah tentu mencangkup seluruh aspek-aspek maupun nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Jadi, perdebatan yang mempertentangkan antara Islam dan Pancasila hanya perdebatan yang menguras waktu dan tidak banyak membantu untuk menyelesaikan krisis kebangsaan hari ini.

Untuk menampik kekhawatiran tersebut, sekiranya perlu secara singkat kita membahas mengenai pertautan antara Islam dan Kebangsaan. Refleksi sejarah kiranya sangat penting untuk memperkukuh keyakinan kita bahwa Islam dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan.

Pertama, kita perlu mengafirmasi bahwasanya Islam merupakan ajaran universal yang dibawa oleh Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil alamin.

Pokok-pokok ajaran Islam berisi penyempurnaan yang menyeluruh mengenai aspek-aspek kehidupan manusia. Mengapa kata menyempurnakan dipilih? Sebab Rasulullah SAW diutus untuk melanjutkan risalah para Nabi dan Rasul sebelumnya.

Selain itu, Rasulullah SAW menghadapi realitas yang sama sekali menentang dan menantang nilai-nilai kemanusiaan pada saat itu.

Kedua, bangsa Indonesia terbentuk pertama kalinya pada tahun 1928 dalam suatu pertemuan akbar yang kita sebut sebagai sumpah pemuda. Buya Syafii pun lebih condong pada pendapat ini.

Beliau menegaskan, bangsa Indonesia tidak perlu memiliki beban sejarah yang begitu berat sebab dirinya pun sebenarnya belum berumur satu abad.

Kesadaran sebagai satu kesatuan bangsa ini mendorong kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Nasionalisme untuk pertama kalinya dibumikan secara utuh oleh pemuda-pemudi pejuang kemerdekaan. Tidak lain, adanya persentuhan kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara Barat dan Timur yang memacu adanya kemajuan berpikir di kalangan pejuang kemerdekaan kita. Dan ternyata, mayoritas dari mereka adalah seorang Muslim.

Bukankah hal ini aneh jika dikatakan bahwa Islam dan Kebangsaan bertentangan? Di samping mereka begitu banyak perbedaan dalam hal ideologi dan strategi perjuangan tetapi disatukan dalam satu visi besar bersama, Indonesia merdeka.

Ketiga, dibentuknya organisasi modern seperti Sarekat Islam, Budi Oetoemo, Al-Irsyad, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, dll memadukan perjuangan yang bercorak antara politik, sosio-kultural, dan keagamaan.

Sukar dicari argumentasi yang mempertentangkan antara Islam dan Kebangsaan yang baru belakangan mencuat di kalangan pengusung cita-cita Islam sebagai dasar Negara. Walaupun dengan berat hati, Islam tidak dijadikan sebagai dasar Negara lantas tidak membuat ulama maupun para pejuang kita memberontak kepada Negara.

Pemberontakan DI/TII maupun pemberontakan PKI bisa dibilang merupakan pemberontakan yang didasarkan atas pilihan politik bercorak ideologis semata.

Keempat, seperti yang kita tahu, bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa persatuan dalam awal pembentukan bangsa Indonesia pada abad XX. Bahasa Melayu sendiri adalah bahasa yang lekat sekali dengan agama Islam, dikarenakan kesultanan pertama yakni Samudera Pasai di Aceh menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca.

Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai pengaruh penting dalam membentuk kesadaran kebangsaan. Banyak sekali bukti historiografi yang valid untuk dijadikan argumentasi dalam hal ini.

Setelah kita membahas hubungan erat yang menautkan antara wawasan keindonesiaan dan keislaman yang diikat sangat baik oleh Pancasila, sekiranya sangat perlu sikap moderasi itu ditunjukkan untuk menegaskan hubungan erat tersebut.

Dibutuhkan refleksi sejarah secara mendalam guna mencari akar moderasi dalam perspektif kebangsaan yang ternyata sudah mengakar kuat pada bangsa Indonesia, jauh sebelum terbentuknya konsep Negara-Bangsa (nation state). Sikap moderasi ternyata telah berakar kuat di budaya Nusantara yang memang sejak dahulu telah hidup dengan budaya yang begitu kaya.

Moderasi dalam Beragama dan Berbangsa

Moderasi dalam KBBI V berarti: Pengurangan kekerasan; Penghindaran keekstreman. Sedangkan moderat berarti: Selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; Berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.

Turunan katanya berupa moderator berarti: Orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya); Pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah. Dalam istilah musik kita mengenal moderato berarti tenang, sedang dalam tempo.

Ada pula moderato cantabile berarti permainan musik yang dimainkan dengan gaya yang megah dan merdu dengan tempo yang tenang.

Dalam bahasa Arab, moderasi mempunyai padanan kata dengan washathiyyah. Jika diartikan ialah sikap tengahan atau moderat.

Dalam ajaran Islam, kita dianjurkan untuk bersikap tengahan alias washathiyyah. Artinya, dalam bersikap kita harus mengambil jalan terbaik atau dengan kata lain jalan tengahnya. Bukankah Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik perkara adalah aushatiha (jalan tengah).

Ulama kenamaan asal Indonesia, Hasbi As-shiddieqy memaknai jalan tengah, yakni tidak bersikap layaknya kaum Nasrani yang terlalu berlebih-lebihan dalam agama (ghuluw) atau tidak bersikap seperti kaum Yahudi yang terlalu meremehkan atau merendahkan agama.

Kaum muslimin diharapkan mengambil sikap pertengahan, yaitu tidak berlebih-lebihan dan tidak meremkan atau merendahkan dalam beragama. Inilah sebab kaum muslimin disebut oleh Al-Qur’an sebagai umat terbaik (Al-Baqarah: 143).

Dalam konteks kebangsaan, moderasi kita bisa maknai sebagai sikap terbaik dalam bernegara. Chauvinistik atau nasionalisme ekspansif tentu saja bukanlah nasionalisme yang kita anut.

Seperti yang dilakukan oleh bangsa Jerman dahulu yang menganggap ras Arya adalah ras paling tertinggi di muka bumi sehingga mempunyai hak untuk menguasai dunia. Begitu pula dengan Belanda dan Jepang yang datang ke Nusantara atas dasar nasionalisme ala chauvinisme yang menindas bangsa lain tanpa belas kasihan.

Sikap chauvinism tidak saja kita temui dalam berkebangsaan. Sikap fanatisme buta pun boleh jadi lahir dari paham keagamaan yang sempit. Fanatisme buta atau mencintai kelompok secara berlebihan dapat membuat konflik yang cukup meresahkan.

Sikap saling tidak menghargai satu sama lain adalah hasil dari sikap fanatisme buta ini, seperti konflik-konflik yang telah kita bahas sebelumnya. Maka dari itu, kita memerlukan integrasi-interkoneksi antara paham keagamaan dan kebangsaan yang dilandasi oleh sikap moderat atau washatiyyah.

Tidak hanya itu, moderasi dalam berkebangsaan bukan pula sikap pasif yang acuh tak acuh dengan kondisi krisis yang telah menimpa kita dalam berbagai aspek kehidupan. Sikap moderat tidak diartikan berdamai dengan keadaan.

Adakalanya sikap moderat mendorong kita untuk menumpaskan kezhaliman yang ada di muka bumi. Cukuplah Rasululullah SAW menjadi tauladan kita dalam sikap moderatnya. Bagaimana Rasululla SAW mencontohkan bahwa sikap moderat bukanlah sikap lembek.

Kita diajarkan untuk mencintai bangsa dan ikut turut mempertahankan kedaulatan yang ada dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Tiap-tiap kita memiliki peran dalam membangun bangsa ini.

Walaupun kita berbeda-beda, tetapi semboyan kita tetap satu, bersatu dalam perbedaan. Kita tidak perlu cemas jika ini menjadi paradigma kita dalam berbangsa dan bernegara. Seperti yang telah dibahas, kita memiliki akar yang kuat dari sejarah panjang perjalanan bangsa ini.

Nilai-nilai keagamaan yang universal mengajarkan betapa sikap moderat itu adalah sikap terbaik yang kita miliki.

Maka dari itu, moderasi perlu kita ajarkan kepada seluruh masyarakat agar persatuan ini tetap terjaga. Kita tidak mau konflik SARA maupun krisis secara terus-menerus menghantam bangsa kita. Perlu persatuan kuat untuk sama-sama berjalan mengusung perabadan dunia yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan dimanapun berada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image