Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Fatoni

NU: Satu Abad Pembaruan untuk Peradaban Islam

Agama | Thursday, 02 Feb 2023, 20:24 WIB

Pada 7 Februari 2023, Nahdlatul Ulama (NU) akan merayakan Harlah-nya yang ke-100 di Sidoarjo dengan mengusung tema krusial “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”. Tema ini dipilih berlandaskan salah satu hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat Islam, setiap seratus tahun, seorang yang memperbarui untuk mereka (interpretasi) ajaran agama mereka.” (HR Abu Daud).

Para ulama meyakini bahwa setiap 100 tahun akan lahir seorang mujaddid (tokoh pembaruan). Seiring perjalanan waktu, banyak tokoh-tokoh Islam yang telah berjasa melakukan pembaruan pada abadnya masing-masing. Dalam lintasan sejarah, Imam Ahmad ibnu Hanbal menyebut nama Umar bin Abdul Aziz yang menjadi khalifah Bani Umayyah sebagai tokoh pembaru abad pertama Hijriyah. Ia juga mencantumkan Imam asy-Syafi‘i sebagai tokoh pembaru pada abad kedua Hijriyah.

Imam Ahmad beralasan, Umar bin Abdul Aziz dikenal dengan gerakan kembali kepada penerapan syariat yang dicanangkan pada masa pemerintahannya (99-102 H). Sedangkan Imam asy-Syafi‘i adalah nasir as-sunnah (penolong sunnah) yang berhasil mempertemukan antara ahlul hadis (kaum skripturalis) dan ahlur ra’yi (kaum rasionalis).

Tokoh pembaru Islam yang lain ada nama Imam al-Ghazali. Ia dalam ijtihadnya dikenal menggunakan kajian spekulatif para filsuf rasional dan renungan mistis para sufi yang besendikan sunnah, sehingga masing-masing kajian ilmu tersebut didudukkan pada posisi yang benar.

Spirit Pembaruan Kiai Abdul Wahab Hasbullah

Pada suatu masa di awal abad ke-20, ide-ide pembaruan sedang berlangsung di Makkah. Kiai Abdul Wahab Hasbullah sendiri hidup pada masa berkembangnya ide-ide pembaruan tersebut akibat pengaruh pemikiran Jamaluddin al-Afghani (1838–1897), Muhammad Abduh (1849–1905), dan Rasyid Ridha (1865–1935). Inti dari ide pembaruan itu berlatar kondisi kaum muslim yang mengalami kemunduran akibat sikap taklid terhadap pemikiran abad pertengahan.

Ide-ide pembaharuan itulah yang menumbuhkan gagasan pembaruan dalam diri Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Sepulangnya dari Makkah, ia mendirikan lembaga kajian Taswirul Afkar bersama Kiai Mas Mansur, lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan bersama Kiai Ahmad Dahlan, dan koperasi Nahdlatut Tujjar bersama Kiai Hasyim Asy’ari. Berdirinya ketiga lembaga tersebut merefleksikan spirit pembaruan Kiai Abdul Wahab Hasbullah hingga berdiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Bagaimanapun, isu pembaruan dari tanah Mekah telah mengundang ragam reaksi dari ulama Indonesia. Muhammadiyah (1912) melakukan pembaruan dengan mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, rumah yatim piatu dan menerapkan teknik manajemen modern yang kemudian diikuti oleh al-Irsyad (1914) dan Persis (1923). Sedangkan dari kalangan ulama tradisonalis dimotori oleh Kiai Abdul Wahab Hasbullah dengan mengadopsi ide-ide pembaruan untuk merintis berdirinya lembaga pendidikan madrasah dan membidani lahirnya organisasi NU.

Tak heran bila Greg Feally (1967) merekomendasikan perlu adanya kajian khusus yang di antaranya menitikberatkan pada pemikiran pembaruan Kiai Abdul Wahab Hasbullah atas kelahiran organisasi NU. Pemikiran pembaruan Kiai Abdul Wahab Hasbullah penting dikaji mengingat ide-de pembaruan yang melandasi lahirnya organisasi NU menjadi pondasi penting berdiri tegaknya organisasi ini hingga sekarang.

Sayangnya, saat mendengar kata NU, maka yang pertama kali terbayang dalam benak kita adalah cap tradisional, budaya lokal yang kental, kaum sarungan dan stigma ketinggalan zaman. Berbeda misalnya ketika mendengar kata Muhammadiyah, Persis dan yang lainnya, maka yang terbayang ialah modernisasi, pembaruan dan berkemajuan.

Dikotomisasi di atas terlihat jelas dari sejarah pertarungan wacana tradisi lokal dan Islam yang menjadi representasi munculnya organisasi NU dan Muhammadiyah. Embrio dari pertarungan itu menghasilkan perbedaan dikotomis yang melahirkan stigma NU sebagai organisasi bercorak tradisional dan Muhammadiyah serta organisasi lainnya sebagai cerminan organisasi modern.

Persoalannya, dikotomi antara tradisional dan modern berdampak pada Islam itu sendiri. Akhirnya terjadi pengabaian dari beberapa kalangan terhadap kemungkinan terjadinya proses proses pembaruan di tubuh organisasi NU. Kenyataannya, pendirian NU tidak lepas dari semangat pembaruan Kiai Abdul Wahab Hasbullah serta mengalami perkembangan corak berpikir dengan ditandai munculnya pembaruan studi keislaman di era 90-an. Hal ini sesungguhnya bisa mematahkan stigma pada organisasi yang selama ini dianggap tradisionalis.

Persiapan Jelang Satu Abad Nahdlatul Ulama

Pembaruan Menuju Peradaban Islam

Peringatan 1 abad NU senyatanya menawarkan angin segar sebagai respon terhadap wacana pembaruan yang berkembang. Sumbangsih tokoh-tokoh pembaru NU di bidang ilmu pengetahuan tidak dapat diragukan lagi dalam memajukan peradaban Islam ala kaum tradisionalis. Itu sebabnya, salah satu dari 9 agenda besar yang menjadi perhatian NU di usianya yang ke-100 ialah ‘Fiqih Peradaban’.

Mengutip situs NU (11/8/2022), Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan bahwa ‘Fiqih Peradaban’ bakal mengambil sudut pandang penilaian fiqih atas legitimasi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tatanan dunia. Melalui hal tersebut, NU bertekad ingin membangun landasan yurispordensi Islam untuk perdamaian dan harmoni global.

Menurut Gus Yahya, ‘Fiqih Peradaban’ adalah tema yang masih asing di dunia Islam meskipun telah banyak digunakan di Indonesia dan di kalangan NU untuk merujuk kepada wacana keagamaan dalam berbagai masalah di tengah masyarakat. Misalnya, fiqih perempuan yang membahas soal korelasi perempuan dengan Islam, fiqih disabilitas yang berisi pembahasan menyangkut kekhususan bagi penyandang disabilitas, dan lain sebagainya.

Harlah NU yang ke-100 merupakan momentum untuk membangun kembali peradaban Islam pasca berakhirnya kejayaan Kekaisaran Turki Usmani dan Perang Dunia II. NU secara historis memiliki klaim yang kuat sebagai aspiran tatanan dunia yang adil dan harmonis bersendikan kesetaraan hak serta martabat bagi setiap umat manusia.

Namun demikian, kendati NU relatif mampu berperan dalam upaya menciptakan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran, tentu saja masih banyak yang harus disempurnakan. Kenyataannya, ketidaksempurnaan itu membuat sebagian kelompok mencari tatanan baru sehingga muncul radikalisme dan terorisme.

Seperti dituturkan Kiai Abd. Muchith Muzadi (Mustasyar PBNU 2004-2009), bahwa NU didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem keagamaan dalam Islam, yaitu kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang diwakili Kemal Attartuk yang sekuler di Turki. Karena itu, NU dinilai memiliki modal sejarah untuk memperjuangkan kembali peradaban Islam yang moderat dan menyejukkan.

Tekad untuk membangun kembali peradaban dunia Islam sejalan dengan gagasan dari sejumlah organisasi Islam di Indonesia dan intelektual muslim lain di berbagai belahan dunia. NU sejatinya sadar betul akan kekayaan sejarah masa lalu dan keinginan untuk berkontribusi untuk membangun peradaban Islam yang berskala global.

Sebagai salah satu ormas keagamaan terbesar di Indonesia, NU dapat memperkuat kontribusi itu dari internal komunitas dan berlanjut ke umat Islam Indonesia, dunia Islam, hingga dunia secara umum. NU adalah pemilik sejarah perjuangan yang panjang, komunitas yang militan, juga mempunyai banyak kiai dan intelektual yang mumpuni. Sumber daya itu jika dimanfaatkan secara maksimal, tidak mustahil akan menjadi kekuatan dahsyat untuk membangun kembali peradaban Islam dan dunia.

_______________

Ahmad Fatoni, Alumnus International Islamic University Islamabad Pakistan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image