Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fajar Wahyu Sejati

Oeroeg dan Kisah Persahabatan Masa Revolusi di Indonesia

Sejarah | Saturday, 28 Jan 2023, 07:54 WIB

Sejarah tidak hanya diceritakan melalui bacaan. Sejarah dapat diceritakan melalui cara yang berbeda, misalnya melalui film. Meskipun terkadang dibumbui dengan nilai fiksi tokohnya, tetapi latar cerita yang muncul nyata. Salah satunya adalah film Oeroeg 1993.

Oeroeg (1993) merupakan salah satu film Indonesia-Belanda yang mengambil dua latar penting dalam narasi sejarah Indonesia. Latar penjajahan masa kolonial Hindia Belanda dan periode Revolusi di Indonesia. Film ini juga menampilkan aspek penting yang menjadi perdebatan yang sedang hangat mengenai perbedaan perspektif pandangan kedua negara.

Film yang mengambil latar maju-mundur disajikan dengan apik. Latar Indonesia pada masa Hindia Belanda ditampilkan dengan baik dan dapat dikatakan nyata seperti yang dinarasikan sejarawan. Latar Indonesia saat mengalami masa revolusi juga ditampilkan sama baiknya. Kisah mengenai orang pribumi Hindia yang menjadi bawahan, serta kuasa orang Belanda yang sangat dihormati saat itu.

Narasi yang dibawa oleh film ini menggambarkan sekali periode penuh ketidakpastian di Indonesia. Pasukan Belanda yang datang dengan membawa tajuk misi menertibkan masyarakat Indonesia yang dicap sebagai pembangkang. Rakyat yang terus mengobarkan perlawanan bawah tanah untuk melawan Belanda.

Kisah pada film ini diadaptasi dari naskah novel Hella Haasse (1918-2011) dalam novel debutnya dengan judul yang sama Oeroeg pada 1948. Dalam jurnal berjudul “History and Fiction: An Uneasy Marriage?” (2018) karya J. Thomas Lindblad menyebutkan bahwa Hella Haasse menghabiskan masa kecilnya di Hindia Belanda. Hella Haasse menggunakan latar periode 1940-an di paruh kedua untuk menggambarkan kisah pada novelnya.

Alur cerita ini dimulai dengan Johan sang tokoh utama dalam film ini sedang memulai latihan dengan militer. Johan dilatih untuk menembak dengan gambaran yang ditembak adalah orang pribumi Indonesia. Johan melalui pelatihan ini dengan baik dan membenarkan ucapan sang komandan ketika salah melafalkan kata “Merdeka” dengan baik.

Alur lalu berpindah saat Johan masih kecil dan bermain dengan temannya yang namanya sekaligus menjadi judul film ini Oeroeg. Mereka berdua bermain di sungai dengan getek (kapal kecil berbentuk papan) kayu. Topik yang mereka cari adalah mengenai penunggu sungai yang akan marah jika mereka melakukan suatu hal yang dilarang. Kisah yang sangat berbeda dengan menggambarkan kedekatan kedua anak ini.

Cerita kemudian berpindah ketika Johan sudah datang ke Indonesia dan bertemu masyarakat Indonesia dalam dua sudut pandang berbeda. Hal ini, karena Johan berpapasan dengan truk yang mengangkut rakyat Indonesia bertuliskan suatu ejekan untuk Belanda yaitu “Dutch Go Home” (Belanda Pulang Kerumah). Tulisan bernada ejekan seperti ini sangat sering dijumpai pada masa revolusi. Dalam jurnal berjudul Indonesia “The Mockery of the Dutch during the Indonesian Struggle to Maintain Independence (1945-1948)” (2021) karya Muhammad Yuanda Zara menyebutkan jika ejekan ini merupakan cara lain dalam menyikapi dan menghadapi kedatangan Belanda kembali ke Indonesia.

Johan setelah mengunjungi tempat penampungan, langsung menuju Kebon Djati. Wilayah tersebut merupakan tempat masa kecilnya, sekaligus terdapat usaha dari ayah Johan. Niat dari Johan ingin mengunjungi sang ayah. Dia diawasi oleh beberapa tentara republik, tetapi ia juga was-was. Sesampainya ia di rumah, menemukan ayahnya yang tergeletak tewas. Ia curiga terhadap Oeroeg atas peristiwa di masa lalu.

Cerita dibawa kembali pada masa kolonial Hindia Belanda. Kisah antara Johan dan Oeroeg yang diam-diam terus bermain meski dilarang oleh ayah Johan dan ayah Oeroeg. Kedekatan ini dipicu karena Ayah Oeroeg yang bernama Deppoh merupakan pembantu setia Hendrik. Hampir setiap kegiatan ayah Johan ditemani oleh Deppoh. Pernah pada suatu ketika, Johan dan Oeroeg terjebak hingga malam hari di sungai.

Tragedi pun terjadi secara tak terduga. Kejadian ini bermula ketika Deppoh dan ayah Johan sedang dalam sebuah acara di tengah sungai. Johan terjatuh masuk sungai dan ditolong oleh ayahnya. Sayangnya, jam tangan ayah Johan yang begitu berharga jatuh ke dalam sungai saat menyelamatkan Johan. Deppoh yang merasa memiliki rasa pengabdian tinggi masuk ke sungai untuk mencari jam tangan tersebut, sayangnya Deppoh ditemukan mengapung tewas setelahnya. Kisah ini terus dipendam oleh keluarga Eropa tersebut hingga Johan mengetahui dari Lida saat akhir film. Kisah yang diketahui oleh kebanyakan orang bahwa ayah Oeroeg menyelamatkan Johan. Tapi bukan itu sebenarnya, hingga mengakibatkan pertentangan untuk keduanya di kemudian hari.

Akibat dari kematian Deppoh, keluarga Johan yang merasa bersalah pun memberikan akses pendidikan pada Oeroeg. Pendidikan yang didapatkan oleh Oeroeg ini sebagai wujud balas budi terhadap Deppoh. Saat itu juga sedang terjadi gerakan politik etis di Hindia Belanda yang mungkin dapat membuka ruang bagi Oeroeg untuk belajar. Menggambarkan dua sudut penting yang jarang dilihat. Pertama, bahwa anak pribumi bisa bersekolah karena politik etis. Kedua, menggambarkan pendidikan ala Belanda saat itu secara tersirat. Dua adegan itu berusaha dimasukkan dalam film menurut saya.

Selama film ini berlangsung, terjadi adegan yang menunjukan ketidaksetaraan antara pribumi dan Belanda. Kenyataannya pada saat itu, memang masih terjadi ketidaksetaraan di lingkup masyarakat. Orang Belanda masih memiliki stratifikasi sosial di atas pribumi. Stratifikasi sosial di Hindia Belanda dibentuk oleh orang kolonial sendiri. Dikutip dari Muklis Paeni (Editor Umum) Boedhihartono, dkk (2009) “Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial” menyebutkan jika stratifikasi ras di Jawa mulai menguat sekitar 1850-an, yang mana kasta orang Eropa lebih tinggi dibanding dengan pribumi.

Pertunjukkan film menjadi salah satu contoh ketidaksetaraan yang terjadi. Johan dan Oeroeg sedang bermain menuju pusat hiburan. Saat itu, sedang digelar pemutaran sebuah film yang semua orang boleh masuk, asal punya tiket. Bebas dalam artian tersebut, tetap ada pembatasan bagi kaum pribumi. Kaum Eropa/Belanda dapat melihat film dengan layar yang baik dan nyaman. Sebaliknya, pribumi mendapat tempat di belakang layar dan menonton dengan layar terbalik. Kejadian ini menunjukkan ketidaksetaraan yang diterima oleh orang pribumi saat itu.

Kejadian tersebut mengakibatkan hubungan antara Oeroeg dan Johan bersitegang. Puncaknya, Johan mendatangi Oeroeg pasca kejadian, jawaban yang ia dapatkan tak seperti yang diduga. Mereka saling marah dan saling bertukar jawaban. Salah paham pun terjadi diantara mereka. Johan pun pergi, karena selanjutnya ia hendak menuju Belanda.

Narasi cerita kemudian dikejutkan dengan plot twist yang mencengangkan. Lida seorang Belanda yang sangat mengenal Oeroeg dan Johan ternyata berjuang juga untuk Indonesia. Ia juga bekerja di tempat penampungan orang Belanda pasca Jepang berkuasa. Gambaran peristiwa seperti ini juga terdapat dalam sejarah yang nyata. Orang Belanda yang beralih untuk mendukung perjuangan republik. Petrik Matanasi dalam artikelnya Poncke Princen: Membelot dari Belanda, Menjadi Aktivis HAM di portal Tirto menyebutkan jika pembelotan orang Belanda ini memang terjadi, salah satunya adalah Poncke Princen yang memilih mendukung Indonesia.

Johan saat itu pun akhirnya ditangkap. Selayaknya seorang tahanan, ia menjadi bahan interogasi oleh petugas. Banyak hal ditanyakan kepada Johan, tapi hanya satu yang ia inginkan, bertemu dengan Oeroeg. Ia ingin bertanya siapa yang membunuh ayahnya. Lida yang menjadi propagandis di pihak Indonesia memberikan pengertian pada Johan tentang kisah yang sesungguhnya. Seperti disebutkan dalam paragraph sebelumnya mengenai kejadian yang sebenarnya. Oeroeg pun saat ini ditahan oleh pihak Belanda akibat suatu peristiwa.

Film Oeroeg ditutup dengan kejadian pertukaran tahanan. Nilai kemanusiaan dalam film pun akhirnya ditampilkan. Digambarkan dalam cerita, bahwa Johan ditukar dengan beberapa tahanan Indonesia yang salah satu diantaranya adalah Oeroeg. Akhir yang baik bermula dari Johan yang bertanya apakah kita masih bisa berkawan? Oeroeg menjawab “jika kita telah setara” dijawab lagi oleh Johan “apa kita belum setara” Oeroeg menimpali dengan tegas “kita belum setara, kita akan setara jika rombongan kami tak dihargai sama denganmu”. Adegan akhir sebagai penutup, Oeroeg menerima jam tangan dari Johan, mereka saling mengucapkan kalimat puitis “tawa latu tawa lana, jauh dekat tetap saudara”.

Secara garis besar, film ini sangat layak ditonton. Bagaimana film ini menampilkan adegan yang menampilkan kenyataan pada periode revolusi dan kolonialisme. Penambahan intrik kisah Johan-Oeroeg dan kasih Johan terhadap orang Indonesia juga menampilkan sisi lain dari kehidupan. Beberapa kisah yang ditampilkan mungkin akan membuat kita sebagai orang Indonesia merasa sedikit tersinggung. Kisah yang mungkin menyoal bagaimana Belanda memandang aksi kita adalah aksi pemberontakan. Sedang kita sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image