Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Puspa Kenanga

Masjid dari Masa ke Masa

Agama | Wednesday, 25 Jan 2023, 13:49 WIB

Belakangan ini fungsi masjid ramai diperbincangkan, ada pihak yang keberatan dengan aktifitas tertentu yang dilakukan di masjid. Kondisi tersebut mencuat menyusul ungkapan yang disampaikan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Beliau menegaskan masjid maupun rumah ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan partai politik maupun lainnya. Ini disampaikan Ma'ruf usai adanya pengibaran bendera salah satu partai politik di masjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat.

Ma'ruf menyampaikan, tindakan pengibaran bendera partai di tempat ibadah berpotensi untuk menimbulkan konflik antar jamaah. Sebab, dengan banyaknya jamaah yang dimiliki suatu tempat ibadah, maka akan semakin banyak juga preferensi politik yang dimiliki. "Masjid itu kan jamaahnya, aspirasi politiknya juga belum tentu satu kan, banyak. Kalau nanti datang satu partai, kemudian terjadi nanti partai lain datang lagi, atau jamaahnya kemudian menjadi berantakan atau bubar," katanya.

Karena itu, lanjut Ma'ruf, masuknya kepentingan politik di masjid dapat membawa perpecahan di tempat ibadah dan sekitarnya."Itu tidak maslahat. Di dalam keutuhan jamaah juga tidak baik. Karena itu, semua partai harus mematuhi itu. Dan saya dengar sudah diperingatkan itu. Karena memang kita supaya tidak boleh menggunakan itu," katanya. (https://www.republika.co.id/berita/ro5a9h349/wapres-tegaskan-masjid-harus-bebas-dari-kepentingan-partai-politik)

Saat ini, fungsi masjid tidak lebih dari sekedar tempat ibadah ritual. Pada zaman Rasulullah SAW dan para khilafah sesudahnya, masjid menjai pusat aktivitas ummat. Perubahan fungsi masjid ini sejalan dengan berkembangnya faham sekulerisme di tengah masyarakat, termasuk kaum muslim. Sekulerisme, sebuah faham yang membatasi peran agama hanya dalam ranah privat saja. Menurut faham sekuler ini, urusan umum dan kegiatan kemasyarakatan tidak boleh diatur berdasarkan aturan agama. Gampangnya, tidak boleh membawa-bawa agama dalam urusan selain ibadah ritual. Kaum muslimin dengan latahnya menerima dan mengikuti saja arahan dari kafir barat tersebut. Hal ini disebabkan sejak runtuhnya daulan khilafah Ustmani pada tanggal 3 Maret 1924, kaum muslimin semakin dijauhkan pemahamannya dari Islam.

Pemahaman sekuler tersebut, terbawa pula dalam memaknai peran masjid hanya sebagai tempat ibadah saja. Padahal masjid adalah symbol dari Islam dan ummat Islam. Pengkerdilan fungsi masjid sebagai symbol Islam berdampak pada semakin tidak fahamnya kaum muslimin terhadap ajaran islam yang kaffah. Yang terlihat hanyalah Islam sebagai ibadah ritual saja.

Penting bagi kaum muslimin untuk me-refresh fungsi masjid bagi kaum muslimin. Berikut adalah beberapa fungsi masjid pada masa Rasulullah SAW.

· Masjid merupakan tempat ibadah yang paling utama bagi kaum muslimin.

Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir menceritakan dari Rasulullah bersabda : “ Apabila seseorang laki laki bersuci kemudian pergi menuju masjid untuk mengerjakan shalat maka akan dicatat atas setiap langkahnya menuju masjid 10 kebaikan.” HR Ibnu Hibban no 2045 – Al Ihsan, Ahmad 4/159, Abu Ya’la dalam Musnad no 1747, Ath Thabraani dalam Al Kabir 17/259 dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 1/211

Imam Muslim telah merilis beberapa hadis terkait dengan fungsi masjid, di antaranya adalah: ``Sesungguhnya (masjid-masjid) ini hanyalah untuk (tempat) dzikrullah, salat, dan qira'ah Alquran`` (Shahih Muslim, kitab al-Thaharah/2, bab Wujub Gasl al-Baul wa Ghairihi/30, no. hadis 100, 1998: 164).

· Masjid juga sebagai pusat pendidikan.

Bahkan kegiatan pendidikan di masjid diberlakukan jadwal khusus, sebagaimana disampaikan Ibn Mas’ud ra dalam riwayat berikut ini:

Dari Abu Wa`il, ia berkata: ‘Abdullah (ibn Mas’ud) mengajar orang-orang setiap hari Kamis. Lalu ada seseorang yang usul: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sungguh aku ingin seandainya anda mengajar kami setiap hari.” Ia menjawab: “Sungguh tidak ada yang menghalangiku dari hal tersebut selain aku takut membuat kalian jenuh. Saya menentukan jadwal dalam mengajar sebagaimana Nabi saw dahulu menentukan jadwal kepada kami karena takut jenuh menimpa kami.” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab man ja’ala li ahlil-‘ilm ayyam ma’lumah no. 70). Hadits ini menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan di masjid tidak harus setiap hari sebagaimana disebutkan hadits di atas agar tidak ada kejenuhan dalam belajar. (https://attaubah-institute.com/)

Pada masa Rasulullah, belajar diselenggarakan dalam bentuk halaqah-halaqah, yaitu cara belajar mengajar yang dilakukan kelompok kecil dengan membuat lingkaran, sedangkan madrasah adalah tempat belajar.

· Menerima utusan negara lain.

Penulis Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, Sami bin Abdullah Al-Magluts, menyebutkan dalam salah satu buku atlasnya bahwa salah satu tiang Masjid Nabawi dinamakan dengan Tiang Duta dikarenakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemui utusan negara lain di sana.

“Tiang Duta/Utusan : Posisinya menempel dengan jendela kamar Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dinamakan demikian karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggunakannya sebagai tempat pertemuan ketika ada Duta/utusan bangsa Arab yang datang kepadanya.” (Al-Maghluts, Atlas Al-Hajj wal Umrah, hlm. 247).

· Mengirim utusan ke suatu wilayah.

Sebagaimana saat menerima duta dari negara lain, Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat untuk menerima mereka. Maka demikian halnya ketika Rasulullah mengirim utusan ke suatu wilayah di luar Madinah. Sebagai contoh adalah pengiriman Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari ke Yaman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memakai masjid sebagai markas pemberian tugas dan arahan terkait tugas tersebut. Hal ini karena pada saat itu, belum ada satu tempat khusus sebagai pusat pengaturan urusan pemerintahan semacam istana kepresidenan pada masa kini.

Saat itu, kantor pusat pemerintahan Islam adalah Masjid Nabawi. Sehingga urusan-urusan resmi kenegaraan semacam penerimaan utusan dari negara lain atau mengirim utusan resmi ke luar wilayah Madinah diselenggarakan di masjid.

· Bermusyawarah untuk menentukan kebijakan umum terkait persoalan umat dan negara atau menetapkan strategi menghadapi musuh negara.

Dalam sejarah perang dalam Islam, perang Uhud dan perang Ahzab merupakan dua perang besar yang penuh dengan peristiwa genting di dalamnya. Dalam menghadapi dua perang tersebut, disebutkan dalam sirah Nabi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan musyawarah dengan para tokoh shahabat.

Musyawarah tersebut dilakukan untuk menentukan strategi paling tepat untuk menghadapi ancaman serangan musuh. Ancaman ini sangat serius karena membahayakan eksistensi negara Islam saat itu. Dan tempat penyelenggaraan musyawarah penting semacam ini adalah di masjid. ini berarti masjid menjadi semacam markas besar para petinggi militer.

Melakukan musyawarah dalam urusan umat dan negara memang merupakan kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sebagaimana diterangkan oleh Dr. Akram Dhiya’ al ‘Umari sebagai berikut:

“Begitu kaum Muslimin mendengar kabar pasukan Ahzab berkumpul untuk menyerang mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung mulai bermusyawarah dengan mereka membahas apa yang sebaiknya beliau lakukan untuk menghadapi pasukan Ahzab.

Itulah kebiasaan yang beliau lakukan setiap kali menghadapi masalah-masalah yang penting untuk mengambil hati para sahabat dan sekaligus untuk dijadikan panutan bagi generasi mendatang.

Beliau ingin mendapatkan masukan dari mereka dalam hal yang tidak ada petunjuk wahyu, seperti masalah perang, dan masalah-masalah penting lain yang menyangkut umat. (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah: 134). (https://pabrikjammasjid.com/fungsi-masjid/)

Untuk itu, marilah kita fahami kembali Islam secara kaffah termasuk dalam memberi makna pada fungsi masjid. Wallahu’alam bishawwab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image