Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sejatinya Kita Jangan Hidup Layaknya Tinggal di Atas Bulatan Bandul Latto-Latto

Pendidikan dan Literasi | Monday, 23 Jan 2023, 13:47 WIB

Meskipun belum ada data pasti, sejak berjangkitnya demam latto-latto, kini sebagian anak-anak, remaja, bahkan orang tua agak mengurangi intensitasnya dalam bermain gadget. Kini hampir di setiap sudut jalan, di depan rumah, dan taman terdengar suara tek-tok orang bermain latto-latto sebagai pengganti sementara memainkan akun tik-tok. Kondisi ini sedikit membantu sebagian orang tua yang tengah berupaya keras mengurangi intensitas anak-anaknya dalam bermain gadget.

Tulisan ini tidak akan membahas secara mendalam tentang permainan latto-latto, namun tulisan ini berupaya menyajikan beberapa catatan filosofis dari permainan ini. Pertama, untuk anak-anak dan generasi millenial mungkin melihat permainan latto-latto ini sebagai permainan baru. Padahal secara historis, permainan latto-latto ini merupakan permainan jadul yang kembali dihidupkan (reborn).

Jika kita agak jeli melihatnya, reborn of latto-latto ini bisa bermakna sebagai kerinduan orang untuk kembali ke masa lalu. Pencetus reborn of latto-latto ini kemungkinan besar tengah merindukan asyik dan indahnya permainan sederhana pada masa lalu.

Kedua, jika benar reborn of latto-latto ini sebagai wujud kerinduan terhadap keindahan dan asyiknya masa lalu, secara filosofis kerinduan ke masa lalu bukan milik dunia permainan saja, namun juga milik semua lini kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Dalam kehidupan sosial, terutama dalam bidang kuliner, kini orang-orang tengah menggandrungi kembali ke kuliner masa lalu alias tradisional. Dalam dunia kuliner, kita mengenal cireng, bacil, seblak, kelepon, kue pancong, surabi, pentol, dan beragam makanan tradisional lainnya yang kini naik tahta disajikan di hotel-hotel dan mall.

Makanan yang dulunya dianggap makanan kaum alit yang tidak mampu membeli makanan mahal super enak, kini penggemarnya bukan lagi orang-orang alit, namun banyak juga dari kalangan menengah dan kaum elit. Antrian pembeli selalu memenuhi tempat penjualan makanan jadul tersebut.

Kini bukan hanya makanannya saja yang digandrungi, tradisionalitas dalam penyajian dan tempat makannya pun menjadi buruan para pecinta kuliner. Semakin tradisional penyajian suatu makanan dan tempatnya, semakin laku pula makanan tersebut.

Tidaklah mengherankan, kini daun pisang, daun jati, dan pembungkus makanan alami lainnya mulai kembali naik daun. Mereka kembali menyadari menggunakan daun sebagai pembungkus makanan jauh lebih aman bagi kesehatan tubuh dan lingkungan daripada menggunakan pelastik atau pembukus berbahan kimia lainnya.

Dalam dunia politik setali tiga uang dengan dunia sosial. Kini banyak masyarakat awam dan politisi yang menggandrungi kembali ke masa lalu.

Mungkin pembaca pernah melihat dan membaca tulisan di bak truk bergambar Presiden Soeharto, “piye kabare, masih enak jamanku toh” dan beragam tulisan lainnya. Hal ini jangan dianggap sebagai tulisan sederhana, namun hal ini menyiratkan perasaan sebagian orang yang ingin kembali ke masa lalu, masa orde baru yang secara ekonomi dan kenyamanan hidup masyarakat terasa “lebih enak” daripada kehidupan pada saat ini.

Tak jauh berbeda dengan masyarakat awam, kini ada pula sekelompok politisi yang ingin kembali ke masa lalu. Salah satunya adalah dalam penyelenggaraan Pemilu. Para politisi tengah hangat membicarakan sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka dalam penyelenggaraan Pemilu.

Kini sistem penyelenggaraan Pemilu ini tengah diajukan ke Mahkamah Agung untuk dikaji, diuji, dan mendapatkan keputusan dan kepastian hukum. Padahal, dulu tatkala reformasi bergulir hampir semua politisi sepakat untuk mengubah penyelenggaraan Pemilu dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka.

Ketiga, selayaknya kita berhati-hati ketika memiliki keinginan kembali ke masa lalu. Kemungkinan besar akan terjadi benturan dengan kondisi saat ini dan benturan dengan perbedaan pendapat dengan orang atau pihak lain.

Mereka yang tidak setuju dengan kembali ke masa lalu akan menganggap sebagai langkah kemunduran yang sarat nostalgia. Contohnya dalam hal penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka.

Politisi pendukung pemilu sistem proporsional terbuka berpendapat, kembali ke penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional tertutup merupakan langkah mundur dari sistem demokrasi. Sementara para politisi pendukung pemilu sistem proporsional tertutup akan mempertahan pendapat dan keinginannya dengan beragam argumen.

Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dalam menghadapi suatu permasalahan. Hanya saja, perbedaan dan perdebatan yang terjadi jangan sampai melahirkan benturan yang menimbulkan suara yang lebih keras dari suara tek-tok permainan latto-latto.

Perbedaan dan perdebatan yang terjadi jangan sampai memecah persaudaraan dan persatuan yang menghilangkan tujuan mulia dari kehidupan kita yang sebenarnya, yakni sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas utama memakmurkan kehidupan. Terlebih-lebih bagi umat Islam harus semakin dewasa. Betapa tidak, sampai saat ini, nasib umat Islam masih sering dibentur-benturkan dengan kepentingan berbagai pihak.

Secara global, dunia Barat masih mencurigai eksistensi umat Islam sebagai ancaman bagi peradaban dan kehidupan mereka yang liberal. Tidaklah mengherankan jika sebagian intelektual Barat berpendapat, jika kehidupan umat Islam “tidak diganggu”, mereka akan “mengganggu” kepentingan negara-negara Barat di belahan dunia manapun.

Sekitar tahun 1998, Samuel P. Huntington, salah seorang ilmuwan politik asal Amerika pernah membuat tesis yang berjudul The Clash of Civilazation, benturan peradaban. Hipotesis pokok dari tesis tersebut adalah prediksi akan terjadinya benturan antara peradaban Islam dengan peradaban Barat. Namun secara global, tesis tersebut ingin membuktikan sikap phobia negara-negara Barat terhadap Islam dan umatnya.

Selama kita hidup di bulatan planet bumi ini, positif-negatif, pro-kontra dalam menghadapi suatu permasalahan pasti terjadi. Namun perbedaan tersebut jangan sampai menimbulkan benturan yang dapat memecah belah persatuan, persaudaraan, dan menenggelamkan nilai-nilai murni kemanusiaan.

Sejatinya, kita merasakan hidup bersama, berdampingan penuh kasih sayang dan perdamaian di atas bulatan planet bumi yang sama, memiliki hakikat tugas universal yang sama, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, memakmurkan kehidupan, dan menghindari benturan dengan siapapun. Sejatinya pula, kita jangan hidup layaknya tinggal di atas bulatan bandul latto-latto yang selalu dibentur-benturkan satu sama lainnya agar melahirkan suara kegaduhan.

Ilustrasi : bermain latto-latto (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image