Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Febri Anto

Nilai Moral Dalam Novel Negeri 5 Menara

Sejarah | Thursday, 19 Jan 2023, 15:49 WIB

Nilai Moral Dalam Novel Negeri 5 Menara

A.Pendahuluan

Buku pertama trilogi karya A. Fuadi berjudul Negeri 5 Menara dirilis Juli 2009 oleh PT Gramedia Pustaka Utama di Jakarta. Edisi awal berisi 423 halaman. Terinspirasi dari kisah nyata perjalanan hidupnya yang berawal dari didikan di alam Minang dan berlanjut saat hijrah ke Jawa untuk bersekolah di Pondok Modern Gontor untuk menempuh pendidikan di bidang agama. Karya fiksinya konon mampu membangkitkan ambisi untuk sukses.

Selain itu, film berjudul sama Negeri 5 Menara difilmkan di lokasi di Pondok Modern Gontor. Film Negeri 5 Menara yang serentak diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada 1 Maret 2012 juga telah memikat animo penonton bioskop Indonesia. Film ini mendapat banyak tanggapan positif dari berbagai sumber dan telah menarik lebih dari 500.000 penonton.

B.Pembahasan

Tokoh utama buku ini adalah Alif Fikri, pemuda asal Bayur, kota kecil di tepi Danau Maninjau, Bukittinggi, Sumatera Barat, lulusan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan lahir di sana. Alif tidak pernah bepergian ke luar kerajaan Minangkabau seumur hidupnya. Tahun-tahun awalnya dihabiskan dengan bermain sepak bola di sawah berlumpur, mencari rejeki nomplok di hutan Bukit Barisan, dan berenang di air jernih Danau Maninjau.

Tak disangka, ia terpaksa melintasi Sumatera menuju sebuah komunitas di pedalaman Jawa Timur. Alif bercita-cita melanjutkan pendidikan ke SMA unggulan di Bukittinggi karena ingin suatu saat nanti bisa seperti Habibie. Sementara itu, ibunda Alif berharap agar Alif melanjutkan pendidikan agama di jalur Madrasah Aliyah (MA) dan kelak menjadi pemuka agama ternama yang berilmu tinggi, seperti Buya Hamka.

Alif merasa bimbang antara melanjutkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah atau mengabdi kepada orang tuanya dengan menuruti keinginan ibunya karena situasi ini. Hingga suatu ketika, Pak Etek Gindo, seorang santri pesantren asal Jawa Timur yang saat itu sedang belajar di Kairo, mengambil keputusan sulit untuk belajar agama di sana atas rekomendasi salah seorang pamannya.

Alif berangkat keesokan paginya dan melakukan perjalanan ke Jawa Timur selama tiga hari tiga malam dengan bus bersama ayahnya di sisinya. Perjalanan hidup Alif sebagai santri di Pondok Madani pun dimulai. Alif terkesima dengan kalimat man jadda wajada pada hari pertamanya di Pondok Madani (PM). "Siapa pun yang tulus akan berhasil." Kata-kata mutiara ringkas namun dikemas dengan kebijaksanaan; mereka sangat membangkitkan semangat dan memiliki makna yang dalam. Bagi Alif dan murid-murid lainnya, Man Jadda Wajada tidak diragukan lagi bukanlah sumber acuan hidup. Namun, itu adalah garis yang menginspirasi seseorang untuk selalu serius dalam upaya mereka untuk berhasil.

Pendidikan merupakan isu utama dalam buku Negeri 5 Menara, dilihat dari latarnya, yaitu pesantren dimana tokoh utamanya banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Sebagai wadah berlangsungnya proses pendidikan, maka konsep pendidikan dengan sendirinya akan memunculkan setting berupa sekolah, yang dalam cerita ini adalah pesantren.

Kejujuran, kedisiplinan, ketekunan, tanggung jawab, empati, hormat, doa, dan syukur merupakan beberapa prinsip moral dalam interaksi interpersonal dengan diri sendiri yang terdapat dalam novel Menarakarya Ahmad Fuadi Negeri 5. Tertera di bawah ini:

Alif, tokoh dalam buku tersebut digambarkan sebagai sosok yang jujur, pekerja keras, akuntabel, dan menghargai orang tuanya atas karunia yang dimilikinya. Alif terang-terangan mengaku kepada ibunya bahwa pemahaman agamanya kurang karena ingin menjadi ekonom dan insinyur. Tindakan heroik Alif dalam mengungkapkan kebenaran tentang kurangnya pemahaman agamanya kepada ibu kandungnya menunjukkan pendekatannya yang tulus.

Alif juga disebutkan selalu berdoa kepada Allah SWT dan terus meminta pertolongan Allah. Alif shalat setelah Ashar berjamaah, memohon agar dimudahkan menjadi Jasus agar bisa menemukan orang-orang yang durhaka. Alif dengan tulus memohon pertolongan Allah agar lebih mudah baginya untuk melacak orang-orang yang melanggar hukum dan berdoa untuk pemulihan ketenangan dan ketentraman dalam hidupnya.

Guru Pondok Madani sudah terbiasa mengikuti aturan. Guru-guru di Pondok Madani cukup ketat dalam mematuhi standar yang ditetapkan dan memberikan kebebasan kepada siswanya untuk melakukan hal yang sama. Di Pondok Madani, semua santri diwajibkan untuk mematuhi peraturan, dan mereka yang melanggar peraturan akan menghadapi konsekuensi, menurut Ustad Torik, yang berpesan kepada muridnya bahwa siapa pun yang ingin keluar dari Pondok harus dengan persetujuan sendiri dan tidak boleh ada orang lain. bisa berbicara atas nama mereka.

Protagonis novel, Atang, terbukti memiliki belas kasihan kepada teman-temannya. Atang turut merasakan dan memahami keresahan yang dialami Alif dan Baso, dua temannya. Kepedulian dan bantuan untuk memulangkan Alif dan Baso, yang tidak dapat berlibur, dapat menunjukkan empati. Atang mendorong Alif dan Baso untuk kembali ke rumahnya di Bandung karena prihatin terhadap mereka, berjanji akan menyediakan makanan dan tempat tinggal gratis selama mereka di sana.

REFERENSI

Nopianti, S. D. (2017). Nilai Moral Dalam Novel Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye. Jurnal Diksatrasia, 1(2), 199–202. Diperoleh dari http://jurnal.unigal.ac.id/index.php/diksatrasia/article/download/599/497

Fuadi, A. (2012). Negeri 5 Menara. Jakarta: PT Gramedia

Akmal, & Masyhuri. (2018). Konsep Syukur (Gratefulnes) (kajian Empiris Makna Syukur bagi Guru Pon.Pes Daarunnahdhah Thawalib Bangkinang Seberang, Kampar, Riau). Jurnal Komunikasi Dan Pendidikan Islam, 7(2), 1–22. Diperoleh dari journal.staimsyk.ac.id/index.php/almanar/article/download/86/84Pustaka Utama

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image