Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Toleransi Bernama Imlek

Info Terkini | Thursday, 19 Jan 2023, 13:56 WIB
Di masa Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI, Imlek dirayakan dan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Foto: Republika

Tidak berlebihan jika ada yang menyebut KH Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Budayawan Jaya Suprana bahkan mengatakan dari Gus Dur dia belajar humanisme, kemanusiaan, Islam dan tata negara. Menurutnya, Gus Dur adalah sosok pembela minoritas yang termarjinalkan. Gus Dur mengajarkan kepada manusia Indonesia untuk menghargai kelompok minoritas di Indonesia.

Di masa Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI, Imlek dirayakan dan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Hal ini merupakan sebuah keputusan revolusioner mengingat di era pemerintahan sebelumnya, perayaan Imlek di tempat-tempat umum dilarang.

Gus Dur menugaskan jajarannya untuk mencabut Inpres 14 tahun 1967 yang membelenggu Khonghucu, khususnya dan masyarakat Tionghoa pada umumnya. Gus Dur kemudian menetapkan Kepres 6 tahun 2000 tertanggal 17 Januari 2000, bertepatan sebulan sebelum perayaan Imlek di tahun yang sama.

Alhasil, perayaan Imlek secara meriah pertama kali diselenggarakan di Balai Sudirman, Jakarta yang dihadiri Presiden Gus Dur sendiri dan Wapres Megawati Soekarnoputri. Atas keputusan tersebut, Imlek pun dijadikan sebagai hari libur fakultatif secara nasional.

Menjadi pertanyaan, apa sebenarnya yang mendorong Gus Dur melakukan hal itu. Setidaknya ada tiga hal, menurut Damien Dematra (mengutip dari bukunya Sejuta Doa untuk Gus Dur). Pertama, Gus Dur sangat memahami persoalan yang dihadapi kelompok Tionghoa dan penganut Konghucu yang minoritas. Gus Dur sangat dekat dengan beberapa tokoh Tionghoa dan mendengarkan keinginan dan aspirasi mereka.

Kedua, Gus Dur sangat serius dan bersungguh-sungguh memasang badan dengan isu yang sangat sensitif tersebut. Ketiga, Gus Dur membuktikan dirinya komitmen dengan perjuangan HAM serta konsisten sebagai pejuang HAM, pluralis sejati yang tidak hanya berhenti di tahap wacana.

Bangkitnya Toleransi Runtuhnya Otoritarianisme

Era reformasi memberikan suasana politik yang demokratis dan egaliter kepada semua warga negara Indonesia. Warga Tionghoa mendapatkan momentum untuk memanfaatkan suasana politik tersebut. Hal ini mengubah nasib kelompok mereka dari status diskriminatif menjadi setara dengan warga lain dalam bentuk keterlibatannya dalam sosial dan politik.

Jika di era Orde Baru, aspirasi etnis Tionghoa tidak tersalurkan ke lembaga politik atau Pemerintah, maka era reformasi justru sebaliknya. Kita bisa menyaksikan saat ini, warga etnis Tionghoa ada yang terpilih menjadi anggota legislatif, dan mereka berkecimpung dalam perpolitikan nasional.

Warga Tionghoa yang saat ini masih minoritas mendapat tempat semestinya dan mengalami pembauran dengan warga lainnya. Tokoh Tionghoa Lieus Sungkharisma pernah menegaskan meski dirinya keturunan Tionghoa namun memiliki jiwa nasionalis seperti lainnya.

Bangkitnya toleransi di era reformasi berawal dari perlawanan terhadap diskriminasi kelompok minoritas. Gus Dur pernah bertemu Choi Gean Deuk, Presiden Sung Kyu Kwan Majelis Agama Khonghucu Korea Selatan. Dia menjelaskan alasan bersimpati dan membela penganut agama tersebut. Antara lain disebabkan adanya rasa senasib sepenanggungan, implementasi nilai kemanusiaan dan keimanan atas nilai ketuhanan yang menjadikan dirinya mendukung bangkitnya toleransi di Indonesia.

Kebijakan Pemerintah

Beberapa kalangan menilai kebijakan Pemerintah di era Orde Lama dan Baru yang menyebabkan warga Tionghoa menjadi termarjinalkan dan tidak mampu berbaur. Keterlibatan etnis Tionhoa di masa Orde Baru hanya menjadi broker alias makelar atas kepentingan pragmatis politik. Dalam kondisi ini, seorang tokoh Tionghoa yang mewakili kepentingan orang dalam kekuasaan digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Di era Reformasi, kondisi itu berubah mulai dari digunakannya kata "Tionghoa" untuk menggantikan Cina atau China. Kode di KTP inisial K-1 dihapus, dan agama Konghucu diakui negara. Di beberapa sekolah dan banyak tempat, dibolehkan menggunakan bahasa Tionghoa sebagai alat komunikasi.

Di era ini, ada dua partai politik yang menjadi wadah aspirasi yakni Partai Pembauran Indonesia dan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia. Meski pada kelanjutannya, kedua parpol tersebut tidak eksis.

Dengan berbagai persoalan kontemporer, tentunya yang harus dikedepankan adalah sikap toleran. Kita harus mengingat ulang semangat Gus Dur mengajarkan kemanusiaan, menghargai perbedaan dan toleran terhadap kelompok marjinal melalui kebijakannya yang bernama Imlek. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image