Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhevy Hakim

Sertifikat Halal Jangan Sekadar Komoditas

Info Terkini | Wednesday, 18 Jan 2023, 10:56 WIB

Sertifikat Halal Jangan Sekadar Komoditas

Oleh: Dhevy Hakim

Pembahasan mengenai sertifikat halal kembali hangat diperbincangkan. Bak kado di awal tahun, pemerintah menetapkan kebijakan wajibnya sertifikasi halal khususnya untuk tiga kelompok produk.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menyebut ada tiga kelompok produk yang wajib bersertifikasi halal pada 2024. Jika tidak, Kemenag bakal menjatuhkan sanksi kepada para pelaku usaha yang menjual ketiga produk ini tanpa sertifikat halal. (cnnindonedia.com, 08/01/2023)

Kebijakan tersebut akan segera dimulai, masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 Oktober 2024. Berdasarkan Undang-undang No. 33 tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Adapun mengenai sanksi, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Muhammad Aqil Irham menerangkan bahwa sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 tahun 2021 sanksi yang akan diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. (kemenag.go.id, 07/01/2023)

Bagi seorang muslim tentu saja jaminan produk halal sangatlah penting bahkan sifatnya harus. Islam telah mengatur dalam hal makanan dan minuman mana yang halal dan mana yang haram untuk dikonsumsi. Jelaslah hanya yang halal saja sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT seorang muslim akan mengkonsumsinya.

Sebagaimana di dalam nash Alquran maupun hadis, makanan dan minuman banyak yang dijelaskan adalah yang terkategori diharamkan. Sebut saja khamr, penggunaan barang najis, darah, hewan yang diharamkan seperti babi dll.

Ya, semestinya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim produk yang disertifikasi adalah produk-produk yang mengandung kriteria yang diharamkan. Apalagi biaya pengurusan sertifikat halal hingga saat ini masih dinilai rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan oleh syariat. Namun dalam sistem saat ini, sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan.

Sertifikasi halal seolah hanyalah life service sehingga produknya bisa di terima di pangsa pasar yang mayoritas adalah beragama Islam. Inilah wajah negara dengan sistem kapitalisme, yang menjadikan rakyat sebagai bumper untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Khilafah sebagai pelaksana diterapkan syariat Islam akan memberikan jaminan halal atas apa saja yang akan dikonsumsi oleh semua warganya tanpa harus ribet mengurus sertifikasi kehalalan.

Setiap pelaku usaha terwarnai didalam pembuatan produknya dengan produk yang halal. Tanpa adanya sertifikasi halal, negara secara langsung mengontrol para pelaku usaha. Melalui qodhi hisbah yang bekerjasama sama dengan para polisi selalu meninjau langsung ke pasar ataupun di tempat pengolahan produk. Sebagai langkah pencegahan, negara akan memberikan ketegasan bagi siapa saja yang melanggarnya.

Non muslim dipersilahkan mengkonsumsi apa yang menurut aqidah agamanya dibolehkan. Namun, negara mengatur dengan tegas tidak boleh diperjualbelikan di area publik.

Dengan demikian, jaminan kehalalan hanya benar-benar dapat diraih jika sistem yang ditegakkan adalah sistem Islam. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image