Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shelby Amadea

Media Sosial Sebagai Penyebab 'Kena Mental', Benarkah Ungkapan Tersebut?

Teknologi | Wednesday, 15 Dec 2021, 10:38 WIB
Sumber: https://pixabay.com/images/id-5777377/

"Dasar jelek, baru gitu aja kena mental"

"Caper banget jadi orang"

Cyberbullying. Pasti kalian sudah tidak asing bukan dengan kata tersebut? Nah, kalimat-kalimat diatas adalah beberapa contoh komentar yang sering kita temukan namun tanpa kita sadari menujukkan tindakan cyberbullying. Walaupun media berita jarang mengangkat kasus perundungan via online, pada kenyataannya perlakuan tersebut masih sering dilakukan dan dinormalisasikan oleh beberapa orang maupun kelompok. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yulita, dkk (2021), banyak pengguna media sosial sudah mengetahui tentang apa itu cyberbullying namun lebih memilih diam saat melihat tindakan tersebut secara langsung. Terkadang pelaku cyberbullying juga tidak memandang usia lho! Orang dewasa bisa saja merundung anak remaja yang baru puber, begitupun sebaliknya. Seluas itu ya ternyata jangkauan media sosial!

Lalu, pernahkah kalian berpikir "Apa sih yang akan korban rasakan ketika mendapatkan perlakuan cyberbullying?" Setelah saya perhatikan, ternyata respon mereka sangat beragam! Ada yang merasa senang dan semakin gencar membuat warganet kepanasan, merasa biasa saja dan bersikap tidak peduli, merasa takut dan mematikan kolom komentar, dan lainnya. Namun yang paling banyak dijumpai adalah, akhirnya korban lebih memilih untuk menarik diri dari lingkungan dengan cara me-nonaktifkan akun media sosialnya. Korban yang menarik diri dari lingkungan membuktikan bahwa cyberbullying sangat berpengaruh besar bagi kesehatan mental. Bukan hanya mental korban saja yang rusak, tetapi pelaku juga lho! Nah sebelum kita membahas tentang kesehatan mental secara lebih lanjut, yuk kita kenali dulu apa itu cyberbullying!

Apa itu cyberbullying dan bagaimana sih bentuknya?

Cyberbullying adalah perilaku agresif yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu kewaktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawan atas tindakan tersebut. — UNICEF

Hal ini dilakukan oleh siapapun yang pastinya memiliki kekuatan lebih besar secara jumlah, fisik, maupun mental terhadap individu yang dianggap lemah. Berikut adalah beberapa contoh perlakuan cyberbullying yang tanpa sadar sering kita temukan di media sosial:

1. Menyebarkan hoax

2. Mempermalukan seorang individu dengan menyebar aib

3. Meninggalkan komentar jahat, toxic, dan dapat menyakiti satu individu atau kelompok

4. Berpura-pura menjadi orang lain atau mencuri identitasnya

5. Menghasut atau memprovokasi massa untuk mengejek satu individu atau kelompok

Efek yang dirasakan oleh korban maupun pelaku cyberbullying

Setelah teman-teman mengetahui bentuk-bentuk tindakan cyberbullying, menurut kalian apa yang akan dirasakan korban? Perlakuan-perlakuan diatas tentu akan memberikan efek yang cukup besar bagi korban.

Sumber: https://pixabay.com/images/id-2293377/

Menurut para pakar yang berkontribusi dengan UNICEF, dampak yang akan dirasakan oleh korban adalah mengalami kecemasan secara berlebihan atau yang lebih dikenal sebagai anxiety. Lalu korban juga akan merasa was-was terhadap lingkungan sekitar, menarik diri dari kehidupan sosial, kehilangan minat terhadap hal yang disukai, bahkan kemungkinan terburuk adalah korban akan mengalami depresi dan melakukan percobaan bunuh diri!

Walaupun kesehatan mental korban yang paling banyak dirugikan dalam tindakan cyberbullying, bukan berarti pelaku tidak mengalami perubahan mental juga ya teman-teman. Beberapa efek pada mental pelaku yang dapat dirasakan adalah mudah marah, tidak memiliki rasa empati, keras kepala, merasa dirinya paling superior, dan menjadi agresif.

Stigma tentang penyakit mental yang berkembang di masyarakat

Lalu bagaimana dengan kalimat 'Kena Mental' yang dipopulerkan oleh netizen Indonesia, apakah ada benarnya? Benar. Seperti yang sudah dijelaskan, apabila seseorang mendapat perlakuan buruk secara terus menerus maka kesehatan mental individu itu dapat terganggu. Namun menurut saya karena kalimat tersebut sering dijadikan bahan candaan, akibatnya banyak orang meremehkan mental health issues yang seharusnya tidak boleh disepelekan. Padahal banyak loh penderita penyakit mental yang lebih memilih untuk menutup diri karena dijadikan bahan candaan dan adanya stigma yang berkembang di masyarakat seperti penyakit mental adalah aib.

Kembali ke topik tentang cyberbullying, bagaimana sih cara mencegah terjadinya cyberbullying? Menurut Rahayu (2013) untuk mencegah terjadinya cyberbullying, orang tua harus memberikan edukasi kepada anak-anak mereka tentang perilaku online yang benar dan aman. Orang tua juga harus melakukan pemantauan terhadap aktivitas online anak-anak mereka yang bisa dilakukan baik secara informal maupun formal. Selain peran orang tua, menurut saya pengguna media sosial juga harus memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab atas komentar yang mereka berikan untuk orang lain.

Nah apabila kamu sudah membaca artikel ini, ayo kita sama-sama gunakan media sosial dengan bijak dan menolak tindakan cyberbullying yang masih terhitung tinggi di Indonesia agar tercipta lingkungan media sosial yang damai, positif, dan ramah bagi seluruh penggunanya.

Referensi

Yulieta, dkk. (2021). Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 1 No. 8. Bandung. diakses dari https://journal.actual insight.com/index.php/decive/article/view/298/233

UNICEF Indonesia diakses dari https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying

Rahayu, Flourensia Sapty. (2013). CYBERBULLYING SEBAGAI DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI. diakses dari https://jsi.cs.ui.ac.id/index.php/jsi/article/view/321/296

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image