Resolusi KKP 2023, Segera Atasi Dampak Negatif Reduksi Perizinan Investor
Bisnis | 2022-12-30 13:37:33Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya kelautan yang mencapai 3.000 triliun rupiah per tahun namun belum terkelola dengan baik. UU Nomor. 11/2020 tentang Cipta Kerja telah mereduksi perizinan dan kemudahan investor. Reduksi ini tentunya menimbulkan dampak negative terhadap masyarakat nelayan kecil atau tradisional.
Terdapat sejumlah pasal yang direvisi dari empat UU yang berlaku di sektor kelautan dan perikanan, yakni UU No. 31/2004 jo UU No. 45/2009 tentang Perikanan; UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K); UU No. 32/2014 tentang Kelautan; serta UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Perubahan yang mendasar dan bisa merugikan publik di sektor kelautan dan perikanan dengan adanya UU Cipta Kerja di antaranya. Pertama, soal definisi nelayan kecil menjadi kabur, karena tidak lagi menyertakan batasan ukuran kapal yang digunakan seperti pada UU No. 45/2009 (5 GT) maupun UU No. 7/2016 (10 GT). Dengan demikian eksistensi nelayan kecil semakin tidak terlindungi oleh negara.
Kedua, soal kewenangan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, jika sebelumnya ditangani langsung oleh Menteri, saat ini dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Ketiga, soal perizinan usaha sektor kelautan dan perikanan, direduksi menjadi satu izin saja, yaitu perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Keempat, soal pengoperasian kapal perikanan asing di wilayah Indonesia, tidak lagi menyertakan kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah awak kapal. Kelima, soal kewenangan perencanaan dan perizinan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (WP3K), jika sebelumnya ditangani Pemerintah Daerah, saat ini dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Keempat aspek diatas pada hakikatnya merupakan bentuk liberalisasi usaha kelautan yang yang merugikan masyarakat lokal dan pemerintah daerah.
Selain itu, apabila terdapat kebijakan yang diklaim seolah-olah strategis, Pemerintah Pusat langsung dapat memberi izin, meskipun ditentang atau tidak ada dalam rencana yang sudah ditetapkan oleh pemda. Keenam, soal ketentuan sanksi pengoperasian kapal ikan yang tidak membawa dokumen perizinan, pembangunan/impor/modifikasi kapal ikan yang tidak memiliki persetujuan, serta pengoperasian kapal yang tidak mendaftar sebagai kapal ikan Indonesia, jika sebelumnya terdapat sanksi denda dan pidana, saat ini hanya berupa sanksi administrasi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan sebenarnya tidak ada alasan bagi Indonesia untuk mengimpor ikan dari luar negeri. Karena ikan untuk konsumsi sangat melimpah. Jadi, tidak ada alasan sebetulnya untuk menyerap ikan dari impor.
Pihak KKP menegaskan kalaupun kelonggaran impor itu ditujukan untuk mempermudah industri, pihaknya berharap ada cara lain. Semestinya KKP bersama Kementerian Perdagangan memperbaiki handling process. Karena itu yang menjadi salah satu tanggungjawab Kemendag untuk memperbaiki barang-barang yang masuk di pasar.
KKP menyatakan harga ikan tidak boleh terlalu tinggi dan terlalu rendah. Harga ikan yang terlalu rendah akan memukul nelayan sebab ongkos tangkap mereka sangat mahal.
Kondisi infrastruktur KKP kini masih memprihatinkan karena kurang memadai untuk mengelola sumber daya kelautan. Perlu optimasi dan penambahan infrastruktur KKP untuk mengakselerasi program kerjanya. Dibutuhkan sistem dan solusi teknologi terkini yang bisa membantu mengintegrasikan pengelolaan sumber daya kelautan. Pada prinsipnya sistem memiliki konten dari berbagai aspek, dari aspek ekologi, ekonomi kelautan, masalah sosial wilayah pesisir hingga tata kelola pulau-pulau kecil.
Apalagi hingga kini belum terintegrasi secara baik Vessel Monitoring System (VMS), fleet management and control pada kapal inspeksi, Cooperative Astrophysics and Technology Satellite (CATSAT), data base perizinan dan log book.
Begitu juga dengan database karakteristik kapal inspeksi, parameter biologi laut untuk menunjang analisas atau prediksi fishing ground juga belum terkelola dengan baik. Database dan sistem analisa statistik parameter fisik oseanografi untuk prediksi cuaca laut masih jauh dari harapan.
KKP memiliki infrastruktur sistem pemantau kapal ikan atau Fishing Monitoring Centre (FMC) di Jakarta dan di dua Regional Monitoring Centre (RMC) yakni di Batam dan Ambon. Serta infrastruktur transmitter VMS sebanyak 1500 unit, sistem integrasi radar kapal inspeksi perikanan dan VMS.
Dengan infrastruktur diatas mestinya data VMS yang berupa posisi, kecepatan dan heading kapal serta jenis dan jumlah hasil tangkapan dari kapal dapat terpantau secara nasional di FMC, secara regional di RMC dan secara lokal (sesuai radius jangkauan radar kapal) di kapal inspeksi terdekat. Sedangkan setiap kapal inspeksi perikanan juga memiliki transmitter VMS, sehingga posisi kapal tersebut dapat pula terpantau baik di FMC maupun RMC.
Namun, infrastruktur di atas selama ini tidak optimal, kurang terintegrasi dan masih lemahnya standardisasi dan kalibrasi. Akibatnya, operasionalisasi VMS kurang efektif dan justru menimbulkan pemborosan BBM untuk operasional.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.