Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Nabil Robbani

Qoul Shahabi Pada Ekonomi Modern dan Ekonomi Khulafau-r Rasyidiin

Agama | Thursday, 08 Dec 2022, 14:05 WIB

Ekonomi merupakan ilmu sosial yang bersifat dinamis terhadap perubahan zaman, kebijakan demi kebijakan terhadap suatu masalah tentunya akan berbeda sesuai zamannya. Banyak masalah baru setiap zamannya, banyak pula problemsolvingnya terhadap masalah tersebut, contoh pada masa Khulafau-r Rasyidin beberapa kebijakan sering diputuskan untuk menangani suatu masalah; ketika ada tanah hasil rampasan perang, banyak yang tidak produktif dan justru menyebabkan biaya opersional meningkat. Pada masa khalifah Utsman bin Affan, beliau menetapkan untuk Swafi Land/ tanah rampasan yang didapat dari hasil perang agar dikelola oleh masyarakat sipil sehingga mengurangi biaya operasional yang dikeluarkan oleh negara, kemudian ditetapkanlah pajak atasnya. Tanah menjadi produktif dan beban negara pada masa itu berkurang drastis.

Ilustrasi Istinbath Hukm (Sumber: Pexels Photo)
Ilustrasi Istinbath Hukm (Sumber: Pexels Photo)

Kepemilikan tanah Swafi Land terus menghasilkan banyak manfaat pada zaman Utsman bin Affan, tetapi kerena ekonomi merupakan ilmu sosial yang dinamis dan manfaat yang diterima juga fluktuatif terhadap negara, tidak banyak kalangan yang merasa senang akan kepemilikan tanah oleh swasta yang walaupun sudah dikenakan pajak oleh negara. Untuk menghindari masalah itu, pada masa Ali bin Abi Thalib, beliau membatalkan kebijkan itu dan dikembalikan kepada negara untuk mengelola tanah rampasan itu.

Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, kita tidak mengabaikan berkembangnya pergerakan sosial dalam kehidupan perekonomian, guna mendapatkan dan merasakan hidup yang serba cukup. Keadaan modern sekarang tidak seperti keadaan pada masa khulafau-r rasyidin, ketika ada suatu masalah ekonomi, para khulafau-r rasyidin bisa memberikan kebijakan atau fatwa yang bisa dijadikan sandaran dan pedoman dalam berekonomi sosial, sesuai dengan ajaran yang mereka dapat dari baginda Muhammad SAW, tidak asing bahwa fatwa-fatwa tersebut dijadikan sebagai salah satu metode penetapan hukum yang dikenal sebagai Qoul Shahabi.

Qoul Shahabi menjadi salah satu dari sekian metedologi istinbath hukm/ penetapan hukum Islam, walaupun Qoul Shahabi bukan merupakan dari keempat metode (Al-Qur’an, Al- Hadist, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas) yang muttafaq/ disepakati oleh jumhur ulama. Walaupun kedudukan Qoul Shahabi masih dalam kategori mukhtalaf/ masih diperdebatkan keabsahannya, tidak sedikit madzhab yang masih menggunakannya sebagai metode istinbath hukm. Imam Hanafi dan Imam Hanbali masih meletakkan Qoul Shahabi sebagai metode istinbath hukm, bahkan keduanya menjadikannya sebagai nomor ketiga setelah Hadist Rasulullah SAW. Menjadikan peranan keempat khulafau-r rasyidin sebagai pemberi fatwa setelah Nabi Muhammad, menggantikan Al-Ijma’ yang notabenenya juga sebenarnya fatwa dari para ulama, yang kemudian Al-Ijma’ diletakkan oleh kedua madzhab tersebut setelah Qoul Shahabi.

Problem pada masa modern ini tentu tidak selalu sama dengan apa yang ada pada zaman khulafau-r rasyidin, ketika pada masa ini kita menemukan suatu masalah yang tentunya kita tidak bisa bertanya kepada Nabi Muhammad, ataupun menunggu fatwa dari para khulafau-r rasyidin (Qoul Shahabi). Pada modern ini kita sering menghadapi problem baru dalam perekonomian, yang tentunya sama halnya dengan problem dalam kegiatan ubudiyah yang juga selalu muncul permasalahan baru. Keempat madzhab selalu berijtihad untuk mencari jalan keluar agar para mujtama tidak selalu dalam keraguan untuk melakukan sesuatu yang baru, yang hal tersebut tentunya tidak tertulis hukum kepastiannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Maka peran Al’Ijma dan Al-Qiyas disini selalu digunakan oleh para jumhur ulama dari keempat madzhab dalam istinbath hukm hal tersebut. Hasil dari ijtihad itulah yang dijadikan sandaran para mujtama/ masyarakat untuk bersosial dan beribadah.

Dari berbagai macam sifat manusia, tidak sedikit yang acuh atas hukum yang telah diijtihadkan oleh para ulama, mereka berpendapat dan berdiri teguh hanya pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Tetapi ketika dihadapkan dengan hal yang tidak ada tekstual dari keduanya, tidak sedikit mereka hanya berandai-andai bagaimana hukumnya. Akhir dari andai-andai mereka diputuskan dengan final answer yang mereka dapat hanya dari gurunya bahkan hanya dari temannya yang mereka anggap sudah paham agama. Pertanyaan yang berbagai bentuknya; “menurut ustadz, apakah ini boleh?” “bagaimana ini hukumnya?” dan dijawab “ya ini boleh” atau “jangan itu tidak boleh”. Yang mana jawaban itu tentunya tidak dari permusyawarahan dari para ulama, tidak dari ijtihad para mujtahid.

Peristiwa ini sama prosesnya dengan Qoul Shahabi (Fatwa dari pada sahabat), dari satu masalah baru yang kemudian diputuskan dari fatwa para khulafau-r rasyidin dan para sahabat. Letak perbedaannya adalah pada siapa yang menjawab atau berfatwa, seperti contoh diatas yang menjawab adalah guru atau teman. Maka Qoul Shahabi yang berarti perkataan atau fatwa dari sahabat berubah menjadi Qoul Ustadzi (perkataan atau fatwa dari guru)/ Qoul Shohibi (perkataan atau fatwa dari temanku). Ini sudah menjadi bukti bahwa masyarakat masih belum terbuka mata akan kepentingan bersosial dan beribadah yang baik menurut syariat agama Islam.

Model Pay Later pada transaksi belanja online pada menjadi perbincangan yang sangat hangat diantara para pelaku ekonomi. Sebelum keluarnya fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau sebelum para mujtahid Indonesia berijtihad akan probelm Pay Later, tidak sedikit dari masyarakat yang bertransaksi dengan model tersebut. Tidak sedikit pula jawaban-jawaban akan problem Pay Later dari tokoh-tokoh agama dari berbagai masyarakat yang mengatakan kebolehannya dan ada juga yang melarangnya. Bahkan ada juga pelaku ekonomi muslim yang merasa cukup yakin dengan bertanya kepada teman dekatnya yang ia anggap sudah paham agama, padahal untuk menjadi mujtahid harus memenuhi syarat yang banyak untuk bersama berijtihad bersama para ulama mujtahid lainnya. Untuk menjadi seorang mujtahid, sebagai sebagian contoh ia harus hafal Al-Qur’an dan hafal Al-Hadist beserta mengetahui ilmu istilah-istilah hadist (mushtalahul hadist), harus memiliki sifat dan akhlak yang baik, dan lain sebagainya. Tidak memungkinkan juga kita mendapat fatwa dari para sahabat mengenai problem ini, yang mana mereka telah wafat pada waktu yang sudah lampau.

Depresiasi dari penggunaan metode istinbath hukm menjadi problem yang tidak boleh diabaikan, masyarakat muslim harus diarahkan serta dibukakan pandangan mereka untuk tidak sembrono dalam penyandaran hukum dari suatu kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya. Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam keyakinan agama, pasti sebagai masyarakat muslim kita sering menjumpai hal yang baru yang berkaitan dengan metode konvensional diluar dari metode syariat. Maka sebagai muslim yang baik, kita harus pandai-pandai mengolah mana yang baik menurut syariat dan mana yang tidak. Selagi para mujtahid di MUI berijtihad akan hal baru, sebaiknya kita menjauhi hal baru tersebut, karena masih dikatakan sebagai hal yang syubhat, yang kita belum tau apakah itu halal atau haram.

Anjuran dan ajakan untuk menjadi mujtahid yang baik juga harus didorong oleh MUI kepada masyarakat muslim Indonesia, agar tatanan hukum Islam di Indonesia selalu dalam keadaan baik. Jika tatanan hukumnya baik, maka keberkahan dari sang pencipta juga tidak bisa terelakkan lagi, untuk menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Berekonomi yang baik dan menjadi pelaku ekonomi yang sesuai dengan syariat agama Islam. Hakikat syariat sendiri bukan untuk membatasi kita dari keuntungan-keuntungan yang didapat dari kegiatan ekonomi, tetapi justru untuk menjaga diri (hifzu-n nafs) dan menjaga harta (hifzu-l maal) kita akan mudharat yang tentunya tidak diinginkan oleh semua pelaku ekonomi muslim.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image