Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asri Hartanti on Ahaa Channel

Menyoal Nasib Guru Honorer Indonesia

Politik | Wednesday, 30 Nov 2022, 09:47 WIB

Di sebuah negara antah berantah, Sumber Daya Alam melimpah ruah. Begitu pula dengan Sumber Daya Manusianya. Mereka semua adalah pekerja keras, yang mempunyai pandangan visioner. Begitu pula dengan segala sistem kehidupan yang mendukung; sangat supportif. Sistem hukum misalnya, sangat mendukung sehingga menekan sebesar-besarnya kasus korupsi di negara tersebut. Seluruh rakyat merasakan manfaat dari pengolahaan Sumber Daya Alam, termasuk guru-guru. Mereka hidup sejahtera dengan gaji sebesar Rp.30.000.0000,00 per bulan. Tidak ada lagi kekhawatiran di hati mereka tentang apakah tahun depan bisa diterima CPNS atau tidak, karena semua guru di negara ini mendapatkan hak dan dibebani kewajiban yang sama.

Nama negara tersebut tentu saja bukan Indonesia. Meskipun dunia mengklaim bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan Sumber Daya Alam. Namun, managemen pengelolaannya tidak bisa dibilang baik. Itulah kenapa kita masih saja berkutat dengan permasalahan seputar ketahanan ekonomi. Belum lagi persoalan tentang mental-mental independensi kita yang perlu dipertanyakan, sehingga masih saja ada beberapa pihak yang percaya bahwa anak-anak negeri ini tidak mampu mengelola sendiri Sumber-Sumber Daya Alam tersebut untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Inilah yang menjadi pangkal permasalahan guru honorer. Seandainya pemerintah memiliki sumber penghasilan yang memadai, bukan hanya mengandalkan dari pajak, niscaya mereka tidak akan keberatan dalam mengalokasikan pendapatan negara untuk menggaji guru-guru honorer tersebut. Bisa dibayangkan nikmatnya menjadi guru di Indonesia; gaji mencukupi, dan bekerja bisa sepenuh hati.

Namun persoalan mungkin tidak akan berhenti ketika managemen pengelolaan Sumber Daya Alam negara ini baik. Negara ini juga menghadapi tantangan keras budaya korupsi yang sudah mendarah daging. Alokasi gaji para guru bisa saja disunat oleh para pemegang otoritas sehingga ketika sampai ke tangan mereka, mereka hanya tinggal menerima sekian persen dari berapa yang seharusnya mereka terima.

Dari sini, bisa disimpulkan bahwa guru honorer-guru honorer di Indonesia menghadapi masalah multi dimensional yang seiring berjalannya waktu terlajin satu sama lain menjadi permasalahan sistemik sehingga untuk mengurainya saja membutuhkan waktu yang tidak singkat, apalagi untuk menyelesakannya.

Dari zaman Iwan Fals menciptakan lagu Umar Bakrie sampai terjadinya peristiwa viral dimana Menteri Pendidikan Nadiem Makariem tertunduk malu tanpa bisa berbuat apa-apa ketika di’marahi’ salah satu anggota DPR, rentang waktunya sangat jauh. Itu cukup jauh untuk disimpulkan bahwa sudah tidak terhitung lagi berapa kali bergantinya pemerintahan di Indonesia, dan masih saja sistem pengangkatan dan penggajian guru menjadi masalah.

Akankah permasalahan ini terulang lagi dan terulang lagi? Dan yang lebih penting, apakah pemerintah akan mampu menyelesaikannya tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah mungkin negara demokrasi ini akan mampu mewujudkan terlaksananya aturan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1? Bukti empiris menyatakan bahwa sejak Indonesia merdeka sampai sekarang dimana kita selalu menganut sistem pemerintahan demokrasi, hal ini tidak pernah terwujud. Kedemokrasian ini telah mengikat kita dengan jerat-jerat hutang luar negeri, sehingga ketika kita akan berencana yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan negara adidaya, kita senantiasa dijegal. Kemandirian dalam mengelola Sumber Daya Alam tentunya tidak diinginkan oleh negara-negara biang demokrasi, karena mereka tidak akan mendapatkan cipratan.

Sudah saatnya negara ini mengembalikan semuanya pada aturan Islam, termasuk dalam hal pemerintahan, pendidikan, sosial, dan lain-lain, karena terbukti demokrasi menjadi penjegal tunggal independensi negara ini, sehingga gagal total mengurusi tidak hanya guru-guru di negara ini, namun juga sebagian besar rakyat Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image