Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hanafi Alrayyan

Filosofi Ucapan Memanjatkan Doa, Kenapa Tidak Mengucapkan Membaca Doa Saja?

Agama | Sunday, 27 Nov 2022, 09:30 WIB

Sering kali kita mendengar ucapan “marilah kita memanjatkan doa kepada Tuhan yang maha kuasa agar acara kita berjalan dengan baik dan lancar”, tutur seorang master of ceremony dalam sebuah acara.

sumber gambar:nisara_animasi

Mendengar kalimat tersebut, ada satu lema yang menarik untuk kita diskusikan, yaitu “memanjatkan doa”. Kenapa tidak menggunakan “membaca doa” saja? Kenapa harus memanjatkan?

Sekilas dilihat dari segi bahasa, memanjatkan berasal dari kata panjat yang mempunyai arti naik ke tempat yang lebih tinggi. Panjat pinang, panjat tebing misalnya, sebuah aktifitas naik secara perlahan untuk menuju puncak tertinggi.

Guna memahami istilah memanjatkan dalam diskusi ini, perlu digunakan dua pendekatan kebahasaan; yaitu hakiki dan majazi. Secara hakiki mampu memunculkan pemahaman bahwa Tuhan bersemayam di tempat yang paling tinggi.

Dalam teologi lintas agama di Nusantara, ada satu agama di Nusantara yang mempunyai cara beribadah dengan menyembah sesuatu yang paling tinggi di muka bumi ini. Bukan gunung yang paling tinggi, tapi pohon. Sebab setinggi-tingginya gunung, pasti ada pohon di atas gunung. Oleh sebab itu, ucapan berdoa di masyarakat kita juga sering menggunakan ucapan “memohon doa”.

Dalam pandangan teologi Islam juga terjadi perdebatan yang panjang tentang dzat Tuhan. Perdebatan ini lahir dari adanya perbedaan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat antropomorfisme.

Misalnya saja QS.al-A'raf (7): 54

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ

Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,kemudian Dia bersemayam di atas ʻArasy.

Teolog Muslim terpecah menjadi dua kubu dalam memahami ayat ini. Pertama mereka yang memahami ayat ini dengan tekstualis, sehingga mereka berkeyakinan bahwa Arasy itu maksudnya Tuhan mempunyai singgasana di tempat yang tertinggi. Kedua mereka yang memahami ayat ini dengan menggunakan ta’wil atau kontekstualis, Tuhan tidak bertempat di ‘Arasy, tetapi maksudnya adalah Tuhan yang maha Tinggi, maha Kuasa. Sebab jika Tuhan mempunyai singgasana, maka Ia seperti manusia. Padahal Tuhan laisa ka mistlihi sya’un (tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia).

Sedangkan secara majazi, “memanjatkan” melahirkan makna bahwa kita sebagai hamba adalah makhluk yang rendah, tak kuasa, serta perlu bantuan dan pertolongan dari Tuhan yang “Tinggi”, yang maha kuasa. ucapan tersebut adalah ekspresi terdalam dari seorang hamba kepada Tuhan. Bentuk rendah hati terhadapnya, kita hamba yang meminta harus punya etika.

Di tengah kondisi bangsa kita yang tidak baik-baik saja, pandemi covid-19 yang belum reda secera total, bencana banjir, gempa bumi di Cianjur, kondisi ekonomi di tengah ancaman resesi, aktifitas memanjatkan doa kepada yang kuasa harus selalu dilakukan. Terlebih lagi, memanjatkan doa untuk bangsa dan negara.

Referensi:

Harun Nasution , Teologi islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan / Harun Nasution.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image