Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ummu Fatimah

10 November : Mengenang dan Meneruskan Perjuangan

Sejarah | Saturday, 12 Nov 2022, 22:58 WIB

Gugur satu, tumbuh sribu ” bait dan melodi “Gugur Bunga” kembali mengangkasa. Apalagi jika bukan untuk mengenang peristiwa sejarah fenomenal bahkan cukup berdarah pada bangsa ini. Tepat 10 November kemarin, masyarakat kembali mengenangnya sebagai hari Pahlawan layaknya tahun tahun sebelumnya. Bahkan, melalui akun resminya Kementrian Pertahanan melangsungkan live streaming bertajuk “Menjadi Pahlawan Di Era Digital”. Pada acara tersebut, tersemat harapan pada generasi muda untuk tidak segan menjadi sosok pahlawan di masa modern dengan memanfaatkan digitalisasi teknologi yang ada. Satu hal yang terlintas dalam benak ialah mengapa mesti menjadi pahlawan?

Penetapan 10 November sebagai hari Pahlawan tentu bukan tanpa sebab. Hari itu bukan hanya moment untuk mengenang orasi Bung Tomo pada arek arek Suroboyo yang heroik, bukan juga sekedar mengenang nama nama tokoh yang gugur saat memukul mundur tentara Inggris setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya (Tribun.com, 8/10/22). Akan tetapi menjadi hal penting bagi generasi saat ini memahami penyebab peperangan itu sendiri sebelum beranjak menduplikasi sosok sosok yang tulus dalam perjuangan tersebut.

Catatan 10 November 1945

Indonesia, sebagai negeri dengan sumber daya alam yang melimpah ternyata tidak begitu saja dilepaskan oleh Belanda sebagai bagian dari sekutu. Untuk itu, mereka bekerja sama dengan Inggris dan pasukannya NICA datang ke negeri ini bukan hanya untuk melucuti tentara Jepan tetapi juga untuk mengokohkan kaki di bumi pertiwi tanpa mengindahkan status kemerdekaan Indonesia secara de facto (Inews.id.com, 5/10/22). Tujuan mereka hanyalah satu, kembali melakukan penjajahan kepada negeri ini. Bahkan demi melangsungkan tujuan itu, Inggris tidak segan mengerahkan persenjataan terbaiknya, menerjunkan banyak tentara hingga mengeluarkan ultimatum sebagai ancaman jika rakyat enggan menyerah. Puncak gencatan senjata terjadi pada 10 November sebagai hari terakhir batas ultimatum Inggris. Saat itu juga Bung Tomo mengobarkan orasinya melalui radio untuk melangsungkan jihad fii sabilillah. Alhasil gelora takbir menggema diseantero negeri bukan hanya Surabaya. Peperangan berlangsung cukup lama bahkan sengit, dilansir dari akun instagram @komunitasliterasiislam peperangan yang terjadi saat itu merupakan perang terbesar kedua setelah perang dunia kedua.

Batin Para Pejuang

Melihat kilas balik sejarah, telah nampak perjuangan para pendahulu untuk bertahan dari penjajahan yang mengintai. Pemahaman atas getirnya mejadi budak manusia telah jelas dirasakan oleh pendahulu bangsa. Kekhawatiran nampaknya bukan sekedar tentang sumber daya yang nanti tidak menjadi hak mereka, akan tetapi lebih dari itu semua. Bukankah pendahulu kita paham betul bahwa keserakahan yang dimiliki Barat tidak lain disebabkan oleh konsep berpikir materialistik yang mereka agungkan, dengannya manusia rela memperbudak, menjatuhkan, memaksa pihak lain bahkan berlaku tidak manusiawi atau amoral. Hal ini juga dapat kita temui ketika menengok fakta fakta sejarah penjajahan.

Konsep yang sangat bertolak belakang dengan pemahaman pendahulu bangsa yang notabene adalah kaum Muslimin pada saat itu. Pasalnya dalam Islam tidak pernah pengajaran tentang konsep hidup berbasis materi diterima oleh para tokoh bangsa. Apalagi penjajah tersebut juga berusaha menggerus pemahaman Islam dengan berbagai aturan yang ada. Alhasil tidak heran jika fakta sejarah juga memperlihatkan para pejuang bangsa ini disatukan oleh satu kata yang mampu mengobarkan semangat. “Allahu Akbar”. Karena sejatinya peperangan saat itu bukan hanya tentang tanah air milik siapa tetapi tentang hidup ini untuk apa.

Kobaran semangat api jihad para pahlawan mampu menjelaskan bahwa semangat perjuangan tidak lain muncul dari pemahaman tentang hidup ini untuk apa dan untuk siapa. Mereka yang berjuang dengan penuh kesadaran tau bahwa kematian bisa saja menghampiri, akan tetapi jika itu artinya mampu menyelamatkan negeri ini dari penjajahan fisik yang tidak manusiawi, serta ancaman degradasi moral karena masuknya pemahaman materialisme di tengah kehidupan dan bahkan mampu mempertahankan falsafah hidup yang benar sesuai tuntunan Pencipta, maka semua itu tidak apa apa untuk diperjuangkan. Tanpa kesadaran tersebut, mustahil para pendahulu rela berjuang hingga gugur.

Metamorfosa Imperealisme

Penjajahan selesai beberapa tahun setelah negeri ini merdeka. Namun, seperti yang telah diketahui bersama bahwa semangat penjajahan ialah mindset materialisme yang mendarah daging di dalam jiwa manusia. Pasca perjanjian Meja Bundar, negeri ini tidak lagi dilandai penyerangan secara fisik oleh Barat. Akan tetapi bukankah mindset penjajahan selayaknya masih ada dalam benak mereka?

Ketika diamati lebih dalam, penjajahan atau pengambilan keuntungan baik sumber daya alam ataupun sumber daya manusia yang dilakukan oleh Barat masih berlangsung hingga saat ini. Melalui arus globalisasi yang diopinikan, masuklah pemahaman asing seperti kebebasan (liberalisme) melalui 7F (Food, fashion, film dll), hedonisme dan sekulerisme yang mana semua itu membentuk generasi materilistik. Baik melalui media massa, bombardir idola hingga kebijakan publik yang pro industri hiduran. Semua fasilitas yang berasas materi inilah yang berlahan menanamkan mindset materialis pada generasi muda. Alhasil ketika mindset generasi saat ini sama dengan penjajah, mereka tidak akan merasa bahwa penjajahan itu masih ada, bahkan cenderung berpihak pada mereka. Hal ini banyak ditemui dengan adanya jual beli SDA kepada asing maupun aseng yang terjadi di negeri ini. Dengan begitu, lebih mudah bagi Barat untuk mengendalikan sebuah negara meskipun telah memproklamasikan kemerdekaannya. Karena sejatinya yang tersandra bukan lagi fisik tetapi pemikiran serta keberpihakan.

Memaknai Hari Pahlawan

Hakikatnya peringatan hari pahlawan bukan hanya sekedar ceremonial belaka untuk mengenang bagaiamana cerita tokoh pendahulu bangsa tanpa memahami esensi yang ada di dalamnya. Dahulu ancaman datang dari Barat dengan tank, misil, hingga perbudakan serta kerja paksa. Para tokoh pun berjuang membebaskan negeri ini dari penjajahan fisik tersebut. Maka jika saat ini ancaman yang kita rasakan adalah degradasi moral, hedonisme, liberalisme yang meniscayakan I68t, kekerasan seksual hingga mental healt yang notabene lahir dari akar yang sama yaitu mindset materialisme yang digaungkan oleh Barat. Bukankah itu artinya perlu adanya pejuang baru untuk membebaskan generasi muda dari penjajahan pemikiran ini?

Pada dasarnya ketika kerusakan yang disebabkan oleh adanya imperealisme Barat dibiarkan maka akan terjadi kerusakan yang massif baik dari segi pemikiran ataupun fisik sehingga bangsa ini bukan hanya mundur tetapi diambang ajalnya. Untuk itu, perlu adanya generasi penerus yang memperjuangkan kebeneran layaknya para pendahulu bangsa.

Pendahulu negeri ini menyadari bahwa satu satunya yang mampu menyatukan anak bangsa adalah kalimat Tauhid karena mereka sadar bahwa kebenaran hanyalah milik Pencipta Langit dan Bumi, sehingga bukankah ketika imperialisme gaya baru muncul menyasar pemikiran generasi muda saat ini, menjadi penting untuk menyampaiakan falsafah hidup yang benar. Islam dengan sifat Rahmatalilalaminnya pada kalayak ramai? Jika dulu mereka berperang dengan tongkat bambu dan senapan kini saatnya kita berperang dengan lisan dan tulisan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image