Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Dahri

Di Ruang Tengah, Memandang Cakrawala

Edukasi | Friday, 11 Nov 2022, 20:13 WIB
Sumber: Republika.co.id

Budaya menjadi jalan panjang penerimaan sebuah kesadaran. Percaya atau tidak, disadari atau tidak, kehidupan ini bermuara pada konsep dan kesadaran manusia atas kondisi sekitar, sehingga kepekaan itu menjadi tradisi dan budaya. Sebagai orang jawa, saya kenal istilah "Seje Deso Mowo Coro," bahwa setiap ruang sosial memiliki cara dan sudut pandang yang berbeda. Faktanya, di suatu daerah tentu berbeda cara komunikasi sosialnya dengan daerah lainnya. Hal ini menjadi dasar sebuah pola multikultur yang harus dipahami tanpa memandang sebuah perbedaan sebagai kekurangan atau kelebihan. Hal ini pernah disinggung oleh Buya Syafii Maarif (2010: 18) bahwa Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama dan latar belakang sejara, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari indonesia yang memberi keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.

Oleh sebab itu, memandang perbedaan sebagai arus dinamis dalam kehidupan juga menjadi bagian dari suluk sosial, bahwa kemanusiaan menjadi lebih utama ketimbang apapun seperti yang digaungkan oleh Gus Dur. Sehingga memandang perbedaan seperti halnya memandang cakrawala yang luas nan indah. Inilah ruang tengah. Ruang di mana Buya Syafii Maarif menyebutnya sebagai ruang kebudayaan. Ruang di mana manusia tanpa embel-embel apapun bisa bercengkrama dan bersendagurau. Ruang kebudayaan inilah yang menjadi tema besar dalam arusutama keberlangsungan kehidupan. Ketika perbedaan itu menyatu dalam bingkai kemanusiaan, maka bukan perpecahan yang tumbuh, melainkan kebersamaan. Bukan semangat kompetitif yang dibangun, melainkan semangat kultur kebersamaannyalah yang menjadi lebih menonjol.

Hal ini akan menjadi satu dimensi dari rasa, atau kepekaan. lebih-lebih kepekaan sosial yang muncul dari kepekaan batin. Kepekaan batin harus dimiliki oleh siapapun, tanpa terkecuali (Buya Syafii Maarif, 2022). Di masa paceklik kesadaran ini memang harus ditumbuhsuburkan kepekaan batin setiap manusia. Jika ia seorang politikus, maka harus memiliki kepekaan batin tentang kepentingan rakyat, keberpihakan dan kebermanfaatan bagi rakyat secara menyeluruh. Ibarat dua sisi mata uang, kepekaan sosial adalah dampak dari kepekaan batin yang kuat, dimana kepekaan batin itu mereduksi ragam dinamika ide di dalam diri, sehingga muncul sebuah gagasan berupa kepekaan sosial yang berlandaskan intelektualisme dan spiritualisme.

Jika ia seorang guru, dosen atau pendidik lainnya, ia harus memiliki kepekaan batin atas kebutuhan intelektual dan kesadaran spiritual peserta didik yang harus dibangun sejak dini, karena yang terpenting adalah moral - intelektual peserta didik. Jika ia seorang pedagang atau pengusaha, ia tentu harus memiliki kepekaan batin atas segala kepentingan yang tidak merugika berbagai pihak, untuk meraih keuntungan.

Apalagi jika ia seorang agamawan atau brahmana sekalipun, tentu harus memiliki kepekaan batin dalam aspek menentramkan jiwa semua pihak, mengarahkan dan membimbing manusia menuju puncak pendakian rohaninya. Memberi teladan sebagia wujud transformasi nilai, karena para wali sanga membangun kebudayaan dan keberagamaan nusantara muaranya adalah pada teladan. Romo Kyai Agus Sunyoto (2012) mewedarkan proses penyebaran islam yang dilakukan oleh para wali sanga, khususnya Sunan Kali Jaga adalah dengan teladan kesenian tari topeng, wayang dan gamelan sehingga membangun sebuah kebudayaan dan peradaban sampai saat ini.

Berangkat dari ilustrasi di atas, maka perbedaan bukanlah sebuah ancaman atau pola distruktif, melainkan pola dinamis dan dialektis menuju sebuah ruang yang disebut kemaslahatan. Peradaban inilah yang oleh Buya Syafii Maarif disebut sebagai warisan kemanusiaan. Ia menawarkan sebuah transformasi pengetahuan akan pentingnya nilai-nilai humanisme dalam proses kehidupan, dalam proses memajukan dan meningkatkan kemanusiaan. Karena dengan begitu, seperti disinggung di atas, kehidupan ini akan menjadi seperti pelangi yang indah dengan ragam warna yang menghiasinya. Begitulah kehidupan, tidak bisa dituntut untuk menjadi sama, bahkan dalam ruang yang paling dalam pun, kehidupan ini tergantung pada rencana Sang Maha, kata para bijak "sebaik-baiknya rencana manusia, lebih indah nan berwarna rencana Tuhan". Sehingga konsep humanisme dapat menjadi filter dari arogansi politik identitas, yang justru memecah belah sebuah kemajemukan, salah satu contoh adanya gerakan radikalisme di Indonesia, yang hampir 15 tahun terakhir sangat masif kemunculannya. walupun Indonesia sebenaranya sampai hari ini masih dibentengi oleh NU dan Muhammadiyah sebagai gerakan intelektual dan gerakan tradisi keberagamaan atas gerakan radikalisme. Salah satu benteng utamanya adalah kebudayaan.

Bagaimana kebudayaan ini dapat menjadi penyelaras dalam kehidupan yang selalu berkembang ini? Tentu ini adalah pertanyaan yang kerap disinggung dalam ruang-ruang diskusi. Di mana kebudayaan dipahami sebagai rangkaian ide semata. Di mana ide kerap terikat oleh kepentingan tertentu. Bukan berarti kehidupan ini tanpa kepentingan, tapi mbok itu semua harus diimbangi dengan kepekaan dan kesadaran. Seperti yang pernah disinggung oleh Buya Syafii dalam salah satu artikelnya tentang seni dan sastra, menurutnya "Seni dan sastra dapat membangun sebuah kehidupan yang selaras, pun juga dapat merobohkan tembok keangkuhan dan ketidakterkendalian para pejabat yang sudah jauh melenceng dari tatanan sosial"(Buya Syafii Maarif, 2022: 99). Karena indonesia memerlukan perawatan khusus dan stamina spiritual yang luar biasa dan saling pengertian yang mendalam antar - kita, sehingga dapat menuju pada berbagai aspek kepemimpinan yang berwawasan jauh ke depan, lebih adil, berdaulat dan bermartabat (Buya Syafii Maarif, 2015: 20).

Ia juga menjelaskan bagaimana kerangka dan energi dari sebuah keindahan dapat mengubah tatanan ketidakbecusan dan najis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena yang dibangun dari sebuah keindahan adalah kedalaman hati atau kepekaan batin. Dan faktanya, kebudayaan melingkupi keindahan tersebut, bahkan jauh mendalam sehingga melahirkan kepekaan batin dan sosial. Oleh karena itu, kebudayaan adalah aspek paling dominan dalam menyentuh - membangung kemanusiaan. Buya Syafii Maarif (2015; 24) menjelaskan bahwa dalam membangun semangat kemanusiaan perlu adanya kesadaran akan perdamaian dan harmonisasi. Hal ini berakar pada pandangan Mpu Tantular yang menegaskan tentang kebinnekaan, di mana misi utama filosofi kebinnekaan adalah agar semua pemeluk agama-agama dapat hidup berdampingan damai dan harmonis.

Wong sejarah saja mencatat bagaimana energi kemanusiaan itu dapat merubah tatanan kekuasaan yang singset. Walaupun muncul masalah baru sebagai warisan kekuasaan. Artinya keindahan memang dapat menumbuhkan kepekaan batin dan sosial sehingga melampaui kemanusiaan. Buya Syafii Maarif mengutip apa yang disampaikan Mahatma Gandhi bahwa "Manakala saya melihat keajaiban terbenamnya matahari atau keindahan bulan, jiwa saya mengembang dalam pengabdian pada Maha Pencipta." Pendek kata, keindahan dapat mempengaruhi apapun, sehingga menjadi lebih waras dan mawas.

Poin utamanya adalah bagiamana kebudayaan dan kemanusiaan dapat berjalan beriringan. Untuk menumbuhkan kebudayaan maka perlu membangun kemanusiaan, dan modal utama sebuah kebudyaan adalah kemanusiaan. Sehingga wajar jika Buya dalam akhir sebuah tulisan tentang "Seni dan Politik" menyinggung pentingnya sebuah keindahan, seni dan sastra. Di mana keindahan memiliki energi untuk menjinakkan politik kekuasaan yang brutal sekalipun. Karena politik kekuasaan sudah jauh dari kemanusiaan, tentu juga jauh dari kebudayaan.

Budaya dan Andap Ashar

Kebudayaan mengarusutamai sebuah kesadaran akan pentingnya moral. Tentunya dalam aspek komunikasi sosial. Mengapa demikian? karena kebudayaan dan kemanusia hampir tidak bisa melekat dalam ruang-ruang pendidikan formal. Apa buktinya? Materi yang jadi dominasi dalam ruang-ruang pendidikan adalah materi kompetitif, sedangkan materi keberagamaan dan kebudayaan hanya memiliki ruang seperempat saja. Hal itu tampak dalam uji kompetisinya, dan bahkan materi yang diujikannya.

Disadari atau tidak perspektif moral sosial hari ini sangatlah menurun. Jika jiwa kemanusiaan tumbuh maka tentu tidak aspek administratif yang ditonjolkan, tetapi aspek substantifnya. Lho kan, keduanya bisa digabungkan? memang, tapi praktiknya tentu tidak seperti konsep yang ditawarkan. Aspek bahasa, hampir jarang ditemui anak-anak hari ini memiliki kebahasaan jawa yang kental. Padahal bahasa menjadi indikasi dasar sebuah moral. Apa yang kurang dalam hal ini? yaitu kesadaran yang dibangun dalam aspek budaya dan moralitas.

Aspek spiritualitas dapat ditumbuhkan saat aspek kesaran budaya dan moralitas itu tumbuh. Bentuknya adalah tanggung jawab. Sedangkan tanggung jawab lebih dekat dengan moral. Budaya jawa mengenal istilah andap ashor, moralitas yang terukur dan mendalam. Dalam ruang pesantren, hal ini sangat lekat. Di mana setiap santri harus memiliki sikap andap ashor agar mendapat sebuah nilai yang disebut keberkahan. berkah guru, berkah kyai dan lain sebagainya.

Artinya, apa yang dibangun oleh Buya Syafii Ma'arif adalah perspektif kebudayaan dan moralitas. Wujudnya adalah kesadaran dan kepekaan sosial. Memandang keberagaman sebagai anugerah yang harus disyukuri dan sebuah keniscayaan akan tumbuhnya manusia-manusia yang purna (red: Insan Kamil). Karena dengan begitu, kebudayaan sepeti dikatakan oleh Cak Nur (1999) adalah sebuah ruang kesadaran manusia dalam membangun peradabannya. Pendek kata, manusia adalah ruang yang sangat luas, ibarat cakrawala, manusia adalah ruang dengan purwarupa ide, kreatifitas, intelektual, spiritualitas dan moralitas.

Buya menawarkan konsep pluralisme sebagai wujud kesadaran akan pentingnya kemanusiaan. Artinya kemanusiaan ini sebagai aset kebudayaan untuk menuju peradaban manusia yang luhur. Karena menuju manusia yang luhur perlu adanya ragam perjumpaan dan perpisahan sebut Irfan Afifi (2019). Manusia Luhur atau purna adalah manusia yang berkebudayaan, dengan pemahaman bermoral. Di mana bermoral ini adalah kesadaran komunikasi sosial yang harus selalu dilatih dan ditumbuh kembangkan. Semakin kuat dan keras prosesnya, maka akan semakin besar ruangnya, sehingga bisa menjadi manusia ruang seperti yang kerap kali dikatakan oleh Mbah Nun dalam rangkaian ceramahnya.

Buya Syafii Maarif berdialektika dengan perjalanan empirismenya dan menawarkan pengetahuan tentang kebudayaan, kemanusiaan dan moralitas pluralisme dari berbagai proses dan pandangan keilmuannya. Dikatakan dalam serat Wulangreh Pakubuwana IV bahwa:

Manungsa geguru marang wong kang nyata, kang becik martabate, kang weruh ing kukum, serta kang ngibadah, sukur wong kang tapa, kang wus amungkul, tan mikir pawewehing lyan.

Dalam hal ini, dapat diartikan bahwa untuk menumbuhkan kemanusiaan di samping berguru kepada pengalaman dan kehidupan, juga bergurulah pada manusia lain, yang memiliki keunggulan moralitas, memahami hukum dan norma-norma, ahli ibadah, dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain atas pengetahuan dan jasanya.

Kriteria dalam Serat Wulangreh di atas, tentu sangat dekat dengan apa yang selalu digaungkan oleh Buya Syafii Maarif terkait pluralisme, humanisme dan kesadaran multikultur. Karena untuk menyadari bahwa perbedaan itu anugerah perlu adanya pemahaman mendalam tentang kehidupan yang dibarengi dengan disiplin keimluannya. Konsepsi andap ashor sangat nampak dalam rangkaian intelektual Buya Syafii. Sehingga cakrawala itu tampak sangat indah dan luas membentang. Pemikirannya ternyatakan oleh tingkah dan lakunya. Bahkan tidak jarang apa yang ia lakukan justru melampaui kemanusiannya, sepertihalnya manusia kaloskagathos, manusia yang memiliki cakrawala berpikir sangat luas dan mendalam.

Sehingga budaya dan andap ashor adalah ruang pluralisme kemanusiaan tidak hanya sebagai identitas kebudayaan melainkan langkah menuju kemanusiaan itu sendiri. Langkah menuju pada ambang batas kesadaran tentang nilai-nilai dan pancaran Tuhan yang juga melekat dalam cipatanNya. Sehingga, gaung kemanusiaan bukan semata-mata mengenal dan memahami perbedaan melainkan menghargai dan menghormatinya. []

Sumber Bacaan:

Buya Syafii Maarif, 2022. Ranah Gurindam dalam Sorotan, Jakarta: Maarif Institute.

Buya Syafii Maarif, 2015. Fikih Kebinekaan. Jakarta: Mizan & Maarif Institute.

Buya Syafii Maarif, 2010. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Yogyakarta: (PUSAD) Pusat Studi Agama dan Demokrasi.

Buya Syafii Maarif, 2018. Islam, Humanity and The Indonesian Identity. Leiden: Leiden University Press.

Muhammad Qorib, 2019. Pluralisme Buya Syafii Maarif: Gagasan dan Pemikiran Sang Guru Bangsa. Yogyakarta: Blidung.

Nurkholis Majid, 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image