Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatimah Azzahra

Gagal Fokus Kekerasan Gender

Gaya Hidup | Wednesday, 09 Nov 2022, 21:59 WIB

Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan ayah kepada istri dan anaknya baru-baru ini memunculkan berbagai reaksi. Tentu saja semua pihak mengutuk perbuatan tersebut apapun alasan pelaku.

Kekerasan Gender Ekstrem

Diantara yang berpendapat adalah adanya pernyataan bahwa kasus KDRT ini termasuk kekerasan gender ekstrem. Seperti dilansir dari laman Republika.co.id, bahwa Komnas Perempuan memandang pembunuhan terhadap anak perempuan merupakan kekerasan berbasis gender yang ekstrem sebagai puncak dari kekerasan dalam rumah tangga. (6/11/2022)

Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan pembunuhan tersebut bukan tindak kriminal biasa sehingga pelaku perlu dihukum dengan pemberatan. Ia berpendapat bahwa dalam kasus ini seorang anak berhak atas perlindungan dari orang tuanya dan berhak bebas dari penyiksaan. Kedua, telah terjadi pembunuhan dengan berbasis gender. Juga kekerasan fisik sadis kepada sang istri. Inilah tiga alasan yang melatarbelakangi permintaan pemberatan hukuman bagi pelaku.

Gagal Fokus Gender

Entah mengapa isu Gender yang ditampilkan dalam kasus KDRT ini. Padahal fakta di lapangan juga banyak terjadi KDRT dengan Gender yang sama. Ada kasus suami tega membunuh istri dan anak laki lakinya di sebuah pondok di area ladang pertanian di Desa Kenyabur Kecamatan Hulu Sungai Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat (3/10/2022).

Bulan september lalu, pria di Ngawi tega membunuh ayahnya yang sakit stroke karena bosan merawat dan ingin merantau. Di Asahan, Sumut, seorang pria tewas dibunuh anak tirinya sendiri lantaran kesal tidak diberi uang (10/3/2022). Masih banyak kasus kekerasan dengan Gender yang sama dan nasib yang sama mengenaskannya bahkan lebih parah.

Penyebab KDRT

Bukan karena Gender KDRT terjadi. Banyak faktor yang melatarbelakangi, bisa karena iman yang kurang kuat, kondisi ekonomi yang tidak stabil, beratnya beban kehidupan, komunikasi yang kurang lancar, gaya hidup yang tidak sehat, dan lainnya.

KDRT terjadi karena masalah kompleks dan Sistemik bukan hanya karena Gender. Membawa isu gender kedalam faktor KDRT justru mengaburkan akar masalah sebenarnya. Yang akhirnya akan membawa kekeliruan dalam mengambil solusi.

Apakah hutang yang menumpuk dalam keluarga terjadi karena isu Gender? Apakah suami yang memakai narkoba melakukannya karena isu Gender? Apakah istri yang sudah lelah karena haknya tidak dipenuhi sehingga meminta cerai terjadi karena isu Gender? Tentu jawabannya bukan.

Hutang bisa jadi ada karena kebutuhan atau juga gaya hidup. Hutang takkan jadi masalah jika bisa dibayar dan ia tak berlipat karena denda atau riba. Tekanan akan bertambah jika hutang yang ada sulit untuk dibayar karena belum ada uang untuk membayar hutang. Apalagi jika hutangnya memiliki denda dan riba. Lengkaplah sudah penderitaan.

Suami yang stress mengalihkan beban hidupnya dengan memakai narkoba. Katanya tak punya uang untuk bayar hutang dan mencukupi kehidupan tapi bisa membakar uang dengan memakai narkoba. Aneh memang. Pulang bukan bawa solusi malah membawa diri yang tidak sadar juga resiko penyakit menular.

Sekuat dan tangguhnya istri, ia tetap butuh suami yang melindungi. Mencukupi kebutuhannya, menjaganya, menyayanginya, dan menghargainya. Karena besarnya tekanan hidup suami, hak atas istri juga anak banyak yang akhirnya terlalaikan. Lalai memberikan nafkah pada istri, lalai mendidik dan membimbing istri juga anak, lalai dalam menjaga dan melindungi. Wajar jika muncul lelah dalam diri istri.

Inilah hal kompleks Sistemik yang menjadi faktor terjadinya KDRT. Yang intinya bukan terjadi karena isu Gender.

Islam Jawabannya

Jika diajukan pertanyaan tentang solusi KDRT dan semua turunannya. Maka, dengan yakin saya akan menjawab bahwa islam adalah solusi. Dalam Islam, negara diwajibkan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Termasuk sandang, pangan, papan, juga kesehatan, pendidikan dan keamanan. Oleh karena itu, negara akan memberikan mekanisme mempermudah setiap suami dan para tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Bisa jadi pula negara akan menggratiskannya. Ini bisa saja dilakukan karena pos pemasukan negara dalam Islam yang banyak. Islam juga mengatur pos harta yang digunakan untuk kemaslahatan umat. Dengan terjaminnya pemenuhan kebutuhan setiap rakyat, stress, beban kehidupan, masalah finansial akan berkurang.

Sementara sistem pendidikan islam akan membimbing dan membentuk individu menjadi karakter yang bertakwa. Sejak dalam buaian dididik oleh orangtua, sampai mengenyam bangku pendidikan di sekolah juga perguruan tinggi. Ilmu yang dimiliki akan diasah di tengah masyarakat. Karena dorongan pendidikan dalam Islam adalah ilmu untuk amal. Sehingga terbentuklah manusia yang berkepribadian islam sebagaimana Rasul membina para sahabat dan sahabiyah.

Manusia yang bertakwa takkan tergoda barang dan aktivitas haram yang ada di depan mata. Ia akan sekuat tenaga menjauh dan mencari lingkungan pertemanan yang kondusif bagi pertumbuhan imannya. Termasuk godaan mencicipi narkoba dari teman.

Istri yang sholeha pun akan bersabar dan bersyukur atas kondisi suaminya. Pula suami yang soleh, takkan tega istrinya berjuang sendirian. Ia akan berusaha seoptimal mungkin. Juga dalam memenuhi kewajiban mendidik, mengayomi dan menyayangi istri.

Inilah potret kehidupan saat islam diterapkan. Bukan hanya dongeng belaka, tapi ia betul pernah diterapkan selama kurang lebih 13 abad lamanya. Sampai akhirnya islam diasingkan dan menjadi terasing seperti sekarang.

Jika kita benar-benar ingin solusi hakiki bagi KDRT ekstrem ini, maka mari bersama memperjuangkan islam jadi sistem kehidupan. Seperti masa Rasulullah saw dan para sahabat.

Wallahua'lam bish shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image