RUU EBET Butuh PP yang Libatkan Banyak Kementerian dan BUMN, Mengapa?

Teknologi  
Focus Group Discussion RUU EBET DPR RI dan UGM. (foto : istimewa)

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Pengamat energi dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Tumiran mengatakan hadirnya Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) harus diikuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang melibatkan banyak kementerian dan instansi serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PP tersebut untuk mendukung program pengembangkan industri manufaktur.

"Jika RUU EBET ini disahkan maka ada 12 PP (Peraturan Pemerintah,red) yang diperlukan. Takutnya PP tidak sejalan dengan UU," kata Tumiran pada Focus Group Discussion (FGD) Kunjungan Kerja Legislasi RUU EBET Komisi VII DPR RI di UGM Yogyakarta, Kamis (3/11/2022).

BACA JUGA : UGM Dukung Kampanye Program Makan B2SA untuk Hadapi Krisis Pangan

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini mengatakan pemerintah sebelumnya sudah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2025 tentang penggunaan Energi Baru Terbarukan sebesar 23 persen dari kebutuhan energi nasional. Namun hal itu tidak tercapai karena tidak ada dukungan dari banyak Kementerian. Bahkan Kementerian saling lempar tanggung jawab atas gagalnya mencapai target tersebut. .

“Semua orang seolah ingin mengambil peran itu. Selama ini koordinasi tidak jalan. Seharusnya Kementerian ESDM, Kemenkeu, BUMN dan Kementerian Perindustrian ikut. Percepatan penggunaan energi baru terbarukan harus mendukung pertumbuhan ekonomi,” kata Tumiran.

Bagi Tumiran, pengembangan energi baru dan terbarukan apabila dilakukan secara serius akan mampu menumbuhkan penciptaan lapangan kerja. Di antaranya, tumbuh dan berkembanganya industri manufaktur lokal yang mampu menghasilkan produk Energi Baru Terbarukan (EBT) dari dalam negeri sendiri.

BACA JUGA : Kehadiran UU PDP Wajib Dibarengi Peningkatan Literasi Digital Masyarakat

“Saya tidak melihat pasal-pasal dalam RUU ini bisa menciptakan ekonomi baru. Bagaimana ekonomi dan lapangan kerja kita bisa tercipta. Jangan sampai nanti kita pakai produk dari luar dan kita akan hutang,” jelas Tumiran yang mencermati RUU EBET.

Sedang Prof Deendarlianto, peneliti ahli dari Pusat Studi Energi (PSE) UGM mengatakan untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060, setidaknya diperlukan peningkatan penggunaan bauran energi EBT sebesar 2,3 persen per tahun. “Peningkatan bauran EBT sebesar 2,32 persen setara 3-4 Giga Watt,” kata Deendarlianto.

Sedang pengembangan manufaktur lokal pengunaan energi baru dan terbarukan ini menyesuaikan dengan area kebutuhan. Ia mencontohkan penggunaan panel surya di mana industri manufaktur berkembang di daerah Jawa dan Riau. Sementara penggunaan panel surya lebih banyak diperlukan di Indonesia bagian timur.

“Dari RUU ini, saya kira kita perlu memperkuat industri manufaktur nasional dengan menjadikan pengembangan SDM di pendidikan vokasi serta regulasi pendukung sesuai dengan proyeksi kemampuan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan kapasitas SDM dan kemandirian teknologi dan ekonomi nasional,” katanya.

BACA JUGA : Pemberdayaan Masyarakat Jangan Terjebak pada Praktek Kapitalisasi

Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tengah menggodok RUU EBET. Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan kehadiran RUU ini untuk menjawab persoalan ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Pemerintah berupaya meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan. “Negara kita mengalami problem luar biasa selama ini ditopang oleh energi fosil yang telah menimbulkan masalah ekonomi dan lingkungan,” kata Sugeng.

Dijelaskan Sugeng, untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, pemerintah melakukan impor sekitar 900 ribu barel per hari untuk memenuhi kebutuhan 1.580 ribu barrel setiap hari. Sedang sumur minyak Indonesia hanya mampu menghasilkan 500-610 ribu barrel saja. “Bila tidak ditemukan cekungan minyak yang baru, sumber minyak kita hanya bertahan 11 tahun saja,” jelas Sugeng.

Sumber energi gas alam, lanjut Sugeng, sumber dayanya cukup melimpah namun pemerintah melakukan impor dalam bentuk liquified petroleum gas (LPG). Nilai impor mencapai Rp 80 triliun guna memenuhi kebutuhan kompor gas skala rumah tangga setiap keluarga di Indonesia.

Kata Sugeng, cadangan batubara di dalam negeri cukup melimpah yang selama ini lebih banyak diekspor ke luar. Tingkat konsumsi batubara di dalam negeri mencapai 142 juta ton per tahun untuk bahan bakar pembangkit listrik. Namun begitu, energi batubara dianggap penyumbang emisi karbon yang jumlahnya terus dikurangi karena pemerintah menargetkan nol emisi karbon pada tahun 2060.

“Energi fosil sudah menjadi masalah dari sisi ekonomi dan ekologi. Sehingga penggunaan energi baru dan energi terbaru menjadi kebutuhan dengan target net zero emissions tahun 2060,” ujarnya. (*)

BACA JUGA : Fakultas Peternakan UGM Dampingi BUMDes Kadilanggon Produksi Konsentrat Domba

Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image