Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cut Syafira Aldina

Santri, Stigma Buruk Tentangnya dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Khazanah | Tuesday, 01 Nov 2022, 11:30 WIB
image by pexels.com
image by pexels.com

Peringatan Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2022 menjadi momentum besar bagi umat Islam untuk kembali memikirkan tentang stigma buruk yang dihadapi oleh institusi yang menaungi para santri yaitu pesantren. Penetapan tanggal hari santri pun berlatar dalam memberikan penghargaan pada resolusi jihad yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari 22 Oktober 1945 lalu.

Santri dan Stigma Buruk Tentangnya

Resolusi jihad di Surabaya itu berhasil menjadi tonggak awal perjuangan santri dalam membela tanah air dan mengusir penjajah. Seruan dari ulama pendiri NU (Nahdhatul Ulama), KH. Hasyim Asy’ari pun lantang berbunyi “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu”.

Namun belakangan ini, berita tentang santri dan pesantren kerap kali muncul bukan bernafaskan perjuangan malah sebaliknya. Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh pengajar di pesantren, penganiayaan yang dilakukan oleh sesama santri, sampai pembakaran yang dilakukan senior pada junior di pesantren. Semua kejadian itu mau tidak mau berujung pada stigma negatif yang akhirnya muncul di kalangan masyarakat.

Tentu menjadi pertanyaan tentang fungsi pesantren yang harusnya menjadi lembaga pendidikan agama Islam tertinggi, menanamkan moral keagamaan sebagai pedoman hidup, mengapa bisa melahirkan generasi yang tidak beradab?

Sebenarnya stigma buruk terhadap santri dan pesantren juga tidak asing sejak dulu, dan mungkin saja masih relatable di jaman sekarang. Eksistensi santri dan pesantren sering dianggap sebagai sarang radikalisme, aliran yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Salah satu peristiwa yang dijadikan alibi adalah aksi Bom Bali.

Gerak-gerik aktivitas pondok pun kerap dicurigai karena masyarakat menganggap bahwa mereka adalah para teroris yang gila agama, dengan ideologi jihad membara di dada. Lagi-lagi muncul tanda tanya besar, bagaimana bisa pesantren yang bertugas menciptakan kader-kader ulama berpengetahuan luas (tafaqquh fi al-din) mampu menjadi salah satu masalah dalam masyarakat?

Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Jika ingin menjawab semua permasalahan itu, coba kita kembali pada konsep pendidikan itu sendiri. Menurut Syed Naquib Al-Attas, saat ini dilema kaum muslimin ada pada kritisnya ilmu pengetahuan. Seperti yang kita tahu bahwa Islam memandang ilmu sebagai sebuah sarana terpenting untuk mengenal dan mengetahui al-Haqq. Sayangnya, seiring berjalannya waktu umat Islam cenderung memilih untuk mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat sekuler, yang dianggap lebih maju.

Ada dua faktor yang menyebabkan hal itu, salah satu faktornya disebutkan oleh Rahimahullah Syekh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi, menurutnya hegemoni dan kolonialisme Barat terhadap negara Islam yang berlangsung secara terus menerus. Sedangkan faktor kedua yaitu dangkalnya pengetahuan umat Islam terhadap agamanya, hal ini terdapat pada buku karya Ghalib bin Ali Awaji, yang berjudul Al-Madzāhib al-Fikriyah al-Mu’āsirah, wa Dauruhā fī al-Mujtama’āt wa Mauqifu al-Muslim Minhā.

Berkat dua faktor ini timbul lah kecendrungan sikap imitatif dalam diri umat Islam yang pada akhirnya kehilangan identitas. Lalu krisis identitas ini pun diangkat oleh ulama muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib al-Attas yang berupaya mendefinisikan makna ilmu. Al-Attas pun membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu kedalam dua bagian, yang pertama adalah ilmu adalah sesuatu yang datang dari Allah dan diberikan kepada insan sebagai karunia-Nya. Sedangkan yang kedua adalah sesuatu yang dicapai oleh jiwa yang aktif dan kreatif berdasarkan daya usaha akliahnya sendiri, yang telah melalui pengalaman, penyelidikan dan pengkajian.

Berlandaskan dengan definisi di atas, ilmu yang pertama mempunyai dua kenyataan; yang satu sebagai tanzīl, dan lainnya sebagai pengenalan yang merujuk kepada diri. Sebagai tanzil, ilmu yang pertama merujuk kepada umat manusia umumnya dan merupakan hidayah yang membimbing ke arah al-Haqq (Allah Ta’ala); suatu petunjuk yang mengarahkan hidup manusia ke jalan yang lurus dan benar. Ilmu inilah yang disebut al-‘Ilm, yakni ilmu yang sebenarnya.* Oleh karena itu dalam definisinya yang pertama penekanan lebih diberikan kepada Allah Ta’ala, sumber segala ilmu, sedangkan dalam definisinya yang kedua kepada manusia, si pencari ilmu.*

Untuk mencapai ilmu yang pertama, sebagai petunjuk ke arah al-Haqq, manusia harus menempuh jalan usaha, ibadah serta kesucian di dalam hidupnya. Sedangkan agar mencapai ilmu yang kedua, diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri dayausaha akliah melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar-akali dan pemerhatian, penyelidikan dan pengkajian. Ilmu ini berdasarkan pada pengumpulan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi. Penuntutan ilmu ini tidak batasnya sebab ia merujuk kepada maklumat-maklumat yang juga tidak berbatas, di mana nilai kegunaan hidup duniawi, yang merupakan alat juga bagi manusia dalam menyesuaikan dirinya dengan keadaan alam sekelilingnya. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains..., 182)

Jika sumber ilmu menurut filasafat dan science sekuler adalah berasal dari orang yang memiliki otoritas, akal, pancaindra dan intuisi yang artinya semuanya berasal dari diri manusia. Maka hal ini bertentangan dengan sumber dan metode ilmu menurut al-Attas, ia menjabarkan bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran, yaitu: indera yang sehat, laporan (khabar) yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains..., 34)

Konsep ilmu menurut Syed Naquib Al-Attas pun jika dilihat sama dengan pembelajaran di dalam pesantren. Lalu, jawaban dari pertanyaan awal adalah kembali pada pesantren yang mampu menerapkan islamisasi keilmuan yang benar pada para santri agar nantinya bisa menjadi insan kamil sesuai dengan cita-cita awal.

Setelah paham terkait paradigma ilmu, dalam dunia pendidikan dikenal ada tiga tema besar yaitu tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Al-Attas cenderung lebih memakai ta’dib yang bermakna mendidik, kehalusan budi, kebiasaan baik, akhlak, kepantasan, kemanusiaan, kesusatraan. Maka tak jarang al-Attas menyebutkan bahwa salah satu alasan Islam mundur bukan karena ekonomi atau pun politik melainkan karena Loss of Adab.

Kata-katanya yang terkenal saat mengisi seminar pendidikan Islam Internasional di Makkah, tahun 1977 berisi “the central crisis of Muslim today is loss of adab”. Adab yang dimaksud yaitu loss of disipline-disipline of body, mind and soul. Menurut beliau hal ini terjadi akibat kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan. Maka pesantren pun harusnya menanamkan konsep adab pada ilmu pengetahuan secara utuh. Bukan hanya mementingkan nilai akademis tinggi namun prakteknya nihil. Tidak memahami hakikat ilmu, tujuan mencari ilmu dan tidak memahami bagaimana memperoleh ilmu.

Tak jarang pesantren saat ini hanya menanamkan hafalan dan hafalan pada para santri tanpa mengajarkan makna ilmu seperti yang diterangkan oleh al-Attas. Maka tak heran stigma negatif pun bermunculan, lalu melahirkan rasa insecure dalam diri santri. Sehingga tidak percaya diri dalam menghadapi perubahan zaman.

Tapi tenang saja, pendidikan Islam punya peluang yang begitu besar jika para santri dan pesantren bekerjasama dengan baik. Jika tema Hari Santri Nasional tahun ini yaitu “Berdaya menjaga martabat kemanusiaan” maka mari kita ubah sedikit menjadi “Berdaya menjaga martabat keilmuan dan kemanusiaan”.

Sumber:

*Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), 78.

*Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, (Bandung: Mizan, 2003)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image