Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MOHAMAD HALIM HAMBALI

Covid-19 dalam pandangan AQIDAH ISLAM

Agama | 2021-12-09 06:46:26
https://www.merdeka.com/gaya/mengapa-di-mesir-lentera-identik-dengan-ramadan.html" />
https://www.merdeka.com/gaya/mengapa-di-mesir-lentera-identik-dengan-ramadan.html

Assalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kita pahami terlebih dahulu apa itu COVID-19 itu, COVID-19 itu bagian dari penyakit yang di sebabkan karena virus dan termasuk bagian yang memang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala, jadi memang ciptaan Allah subhanahu wataala. Juga termasuk apa yang disebabkan oleh COVID-19 itu sendiri seperti muncul penyakit, itu juga ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Nah, karena kita orang yang beriman kepada Allah Subhanahu Wataala, iman kepada Qada dan Qadar nya Allah, semua segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Allah baik buruknya yang terjadi itu semua ketetapan Allah subhanahu wa ta'ala. Jadi, COVID ini sudah ditetapkan oleh Allah terjadinya meskipun itu apakah memang diupayakan oleh manusia atau memang murni terjadi secara alami.

Andaikan memang di buat oleh manusia atau dimunculkan oleh manusia, itu pun nggak lepas dari kehendaknya Allah subhanahu wa ta'ala, atau memang terjadi secara alami, Allah menghendaki itu tanpa perantara manusia semuanya semua sudah ditetapkan oleh Allah dan kita tahu itu adalah ketetapan dari Allah karena sudah terjadi, karena kalau memang belum terjadi maka hanya Allah yang Maha tahu

Kita sebagai Muslim menyikapi hal tersebut dengan meyakini itu takdirnya Allah subhanahu wa ta'ala, maka ketika kita berusaha untuk menghindarinya kemudian kita bisa selamat, maka kita bersyukur kepada Allah karena terhindar dari musibah itu. namun seandainya kita sudah berusaha untuk menghindarinya atau ketika kita kena kemudian berusaha untuk menyembuhkannya tapi ternyata Qoddarullah tidak sembuh misalnya atau sampai meninggal, itu pun sudah tetapkan oleh Allah, dan kita harus bersabar menghadapinya atau bersabar ketika kita punya keluarga yang telah mengalaminya karena kita yakin sudah ketentuan Allah subhanahu Wa Ta’ala.

Namun terhadap pandemi ini atau virus yang muncul kemudian menimbulkan penyakit yang kemudian dikenal dengan COVID-19 maka kita harus tetap mewaspadainya, ada ikhtiar untuk menghindarinya karena kita tidak tahu ketetapan Allah atas diri kita, apakah termasuk yang terkena virus atau tidak. Andaikan sudah ikhtiar tetap kena, maka kita tetap harus nerima dan sabar karena sudah ketentuannya. Andaikan ikhtiar kemudian tidak kena, maka kita bersyukur tetap tidak boleh sombong dan harus menyadari semua sudah dalam ketetapannya.

Lewat teori kasb (usaha), Imam al-Asyʿarī mengatakan bahwa segalanya di dunia ini terjadi atas izin Allah, tetapi manusia tetap punya potensi dan tanggung jawab untuk berusaha. Teori ini memang rumit, tapi dalam bahasa sederhana, saya bisa merangkumnya dengan ungkapan berikut:

“Optimalkan ikhtiar lalu bertawakkal.”

Artinya, ada sinergi yang seimbang antara ikhtiar, doa, dan tawakkal. Pokoknya, harus ada keseimbangan antara ikhtiar lahir dan batin. Berikutnya, lewat teori ini, mazhab Asy’ariyyah ini juga tidak membabat habis hukum alam sebagai sunnatullah.

Berdoa dan bertawakkal adalah kemestian yang akan menentramkan batin kita dan menghindarkan kita dari ketakutan yang berlebihan. Dua paket ini tidak dapat dibantah. Hanya saja, yang perlu diingat sembari berdoa dan sebelum bertawakkal (mewakilkan urusan yang berada di luar kemampuan kita kepada Allah) ada hal yang perlu dilakukan, yakni ikhtiar.

Nah, ikhtiar optimal kita dalam menghadapi Covid-19, misalnya, bisa dilakukan dengan mengikuti himbauan hasil “ijtihad” para ilmuwan, yang informasinya sudah tersebar di mana-mana, seperti: jaga jarak, hindari kerumuman, #dirumahaja. Atau, kalau memang mendesak betul harus keluar rumah, ya silakan ikuti prosedur yang disarankan. Mengapa?

Sederhana saja, bahwa metode tersebut sudah terbukti efektif di negara-negara yang berhasil menekan penyebaran virus Covid-19. Kalau sudah ada buktinya, apakah kita masih mau menentang hukum alam? Yang benar saja.

Lantas, ada juga yang berucap: “Kita Punya Allah, dan Allah pasti akan menolong kita.” Tetapi, siapa kita sehingga berani “memasti-mastikan” sesuatu kepada Allah?

Memang, keimanan itu penting sekali, tetapi jangan sampai keimanan kita menjatuhkan kepada kecerobohan, kerusakan, dan kezaliman yang lahir dari ketidakmautahuan, untuk tidak mengatakan kebodohan, dan sikap takabbur. Keimanan mustinya melahirkan sikap rendah-hati dan semangat untuk mencari dan menyebarkan informasi yang tepat. Dalam kondisi seperti saat ini, setiap pernyataan yang lahir dari pemimpin umat dipertaruhkan; apakah ia melahirkan kemanfaatan atau kemadaratan yang luas.

Benar, Nabi memang menganjurkan kita untuk sholat di masjid, silaturahmi, dan bersalaman. Tetapi perlu diingat juga bahwa Nabi, dalam salah satu hadis, juga menganjurkan untuk menjauhkan diri dari orang yang berpenyakit kusta karena tergolong penyakit menular.

Ada hadis lain: “Jika kalian mendengar ada wabah tha’un dalam satu tempat, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya. Dan jika kalian ada di dalamnya maka janganlah kalian keluar darinya” (Muttafaq ‘Alaih).

Nabi, dengan demikian, menganjurkan umatnya untuk bersikap logis, mengikuti hukum alam, dalam mengambil langkah. Nabi tidak mengajarkan untuk menantang keadaan tanpa perhitungan yang matang dengan dalil, “Allah pasti akan menolong kita.” Nabi tidaklah sombong

Demikian

Wassalaamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image