Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sadam Misbahul Anwar

Hukum Ekonomi Syariah Sebagai Peletak Dasar Ekonomi Indonesia Pada Masa Pandemi

Info Terkini | Tuesday, 07 Dec 2021, 11:01 WIB

Pandemi Covid-19 membawa dampak yang sangat pelik dalam perekonomian bangsa Indonesia. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi sebesar -5,32% pada triwulan II 2020. Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk mengurangi dampak Covid-19. Program PEN bertujuan melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya selama pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 ini dapat dijadikan sebuah momentum untuk para pelaku ekonomi syariah dalam mengambil peran yang lebih besar dalam membantu pemulihan perekonomian bangsa, salah satunya dengan membahas RUU Ekonomi Syariah.

Hingga saat ini, landasan hukum mengenai perbankan syariah, zakat dan wakaf, pasar modal syariah memang sudah ada, namun payung hukum secara makro dalam hal ini adalah RUU Ekonomi Syariah masih belum ada. Menurut Dr. M. Syafii Antonio, M.Ec, Wakil Ketua III Dewan Pertimbangan DPP IAEI sebagai keynote speech dalam webinar yang diselenggarakan oleh Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) dengan judul “Urgensi RUU Ekonomi Syariah dalam Rangka Optimalisasi Kontribusi Ekonomi Syariah dalam Perekonomian Nasional”, menyatakan bahwa adanya RUU Ekonomi Syariah akan menciptakan peluang yang lebih besar bagi aktifitas ekonomi syariah untuk memperbesar dampak sosio-ekonomi dalam perekonomian nasional. Seperti yang kita ketahui bahwaIndonesia memiliki banyak sekali potensi yang tidak dimiliki oleh negara lain sebagai kiblat perekonomian syariah dunia. Salah satunya ialah sektor industri halal, antara lain sektor makanan (halal food), fashion (modest fashion), media dan rekreasi (media & recreation), pariwisata (muslim-friendly travel), farmasi (halal pharmaceuticals), kosmetik (halal cosmetic), dan keuangan (islamic finance)[4]. Sedangkan untuk sektor keuangan, dari yang sebelumnya menduduki peringkat enam di tahun 2018/19, sekarang Indonesia menduduki peringkat satu dunia.

Menurut Abdul Rasyid, SHI., MCL., Ph.D sebagai Ketua Bidang Pengembangan Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam DPW IAEI DKI Jakarta, memaparkan bahwa industri halal di Indonesia mempunyai potensi besar untuk berkembang, namun sayangnya saat ini Indonesia belum menjadi pemain utama di tingkat global. Indonesia masih merupakan konsumen produk halal, bukan produsen.

Dan berdasarkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 menurut Abdul Rasyid, SHI., MCL., Ph.D, bahwasanya terdapat beberapa tantangan pengembangan ekonomi syariah, salah satunya pada industri halal di Indonesia, yaitu (1) regulasi industri halal yang belum memadai, (2) literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang masih kurang, (3) interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah, (4) peningkatan konsumsi dan kebutuhan produk halal di dalam negeri yang tidak diimbangi dengan jumlah produksinya, (5) tata kelola dan manajemen risiko sektor halal yang belum memadai, (6) pemanfaatan teknologi belum optimal pada industri halal, dan (7) standar halal Indonesia belum dapat diterima di tingkat global.

Menurut Dr. Amirsyah Tambunan MA sebagai Wakil Sekretaris Jenderal MUI menambahkan bahwa tantangan Indonesia untuk mampu menjadi pusat halal dunia adalah terletak pada tiga hal, yaitu sumber daya manusia, regulasi, dan pembiayaan atau modal. Saat ini perguruan tinggi sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia belum mampu menciptakan link and match. Para akademisi perlu turun ke lapangan untuk mengkorelasikan antara ekspektasi dunia usaha yang membutuhkan sumber daya manusia dengan design perguruan tinggi yang mencetak sumber daya manusia terkait. Sedangkan regulasi ekonomi syariah yang kuat dibutuhkan untuk mendokrak pertumbuhan ekonomi syariah. Salah satu agenda yang dikerjakan saat ini adalah melakukan merger bank BUMN syariah, meskipun pelaksanaanya di lapangan tidaklah mudah. Terakhir, tantangan ekonomi syariah berada pada pembiayaan yang saat ini tergolong high cost, yaitu biaya operasional yang tinggi namun returnnya kecil. Kedepannya, pembiayaan ekonomi syariah perlu diseimbangkan antara operasional dan impact yang dihasilkan. Dari sisi perundang-undangan, Dr. M. Ali Taher Parasong, SH., M. Hum sebagai anggota DPR RI menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait ekonomi syariah masih bersifat sektoral, parsial, dan tidak terkoordinasi secara berkelanjutan. Terdapat tumpang tindih antar aturan berbasis syariah dengan aturan hukum nasional, antara lain yang berkaitan dengan pajak dan sertifikasi tanah wakaf.

Sayangnya isu ekonomi syariah ini masih sebatas teori dan konsep. Teori ini bisa menjadi implementatif jika bernilai di dalam hukum positif nasional. Hukum positif hanya ada pada DPR yang kemudian diundang-undangkan bersama dengan pemerintah.

RUU Ekonomi Syariah adalah kehendak bersama dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hukum, kepastian hukum, dan keadilan hukum. Kita memiliki agenda besar untuk mewujudkan Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia. RUU Ekonomi Syariah mampu menjadi dasar hukum aktifitas ekonomi syariah dan membentuk mekanisme koordinasi pengembangan ekonomi syariah. Hal ini diharapkan mampu mempercepat tujuan kita menjadi satu lokomotif ekonomi syariah yang paling maju di dunia.

Bertanggung Jawab :

Nama : Sadam Misbahul Anwar

Asal Instansi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Status : Mahasiswa

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image