Balita Jatuh Versus Koruptor Bansos: Mana yang Khilaf?
Edukasi | 2022-10-18 08:12:12Tindakan setiap manusia pada dasarnya mempertimbangkan pengetahuan atau informasi dalam otaknya (stock of knowledge). Ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena pertimbangan apa yang ia tahu atau ketahui. Karena setiap apa yang ia tahu di dalamnya melekat konsekuensi. Dalam filsafat mungkin tahu atau pengetahuan di sini bisa dianggap sebagai kesadaran.
Namun demikian, dalam praktik kehidupan keseharian nyatanya ada saja tindakan yang dilakukan manusia yang tidak didasari oleh pengetahuan atau karena ketidaktahuannya. Kita mungkin pernah mendengar seorang nenek pencari kayu bakar yang duduk di kursi terdakwa dengan tuduhan mencuri kayu. Apakah si nenek pencuri kayu ini tahu bahwa tindakannya memunguti ranting dan batang pohon di hutan sebagai perbuatan melanggar hukum? Tentu akal sehat kita mengatakan bahwa pastilah si nenak tak memahami itu, sehingga ia pun otomatis tak tahu konsekuensi dari perbuatannya. Maka idealnya, status perbuatan si nenek cukuplah dimaknai sebagai kekhilafan. Meski seringkali hukum positif tak mau tahu dengan motif ketidaktahuan, tetapi paling tidak hukum juga perlu menunjukkan spirit yang berkeadilan.
Ini berbeda dengan tindakan seorang pejabat yang mengorupsi miliaran rupiah dana bantuan sosial (bansos) misalnya. Mungkinkah seorang pejabat yang berpendidikan tinggi, memiliki jabatan dan ororitas yang besar tidak tahu konsekuensi dari perilaku korupsinya? Plus, yang dia korupsi adalah uang yang menjadi hak orang-orang miskin, apakah ia tidak pernah membayangkan potensi kualat misalnya. Atau di depan majlis hakim Pengadilan Tipikor dia akan menjawab semisal ini:
“Maaf yang mulia, saya tidak tahu kalau tindakan saya itu korupsi, saya tidak tahu kalau itu melanggar hukum.”
Kok rasanya ini tidak mungkin ya, akan menjadi hil yang mustahal.
Tahu dan Khilaf
Secara fitrah manusia sejatinya condong pada kebaikan (kebenaran), sehingga setiap dia melakukan kesalahan (maksiat atau kejahatan), hatinya yang murni akan meresponnya dengan kegelisahan. Ini berlaku bagi mukalaf, mereka yang sudah bisa membedakan benar dan salah, sehingga bisa kenai kewajiban dan larangan (menjadi subyek hukum). Artinya, di level ini manusia dianggap sudah tahu dan cukup informasi atas tindakan yang dipilihnya, pun karenanya memahami risiko dan konsekuensi atas perbuatannya.
Berbeda dengan anak kecil, balita yang baru mapan berjalan misalnya. Saat ia berlarian di pelataran rumah, ia tak peduli dengan risiko, tak peduli kalau mungkin ada genangan air atau kulit pisang. Karena ia belum memiliki pengalaman, belum cukup informasi di otaknya, ia belum memiliki kesadaran atas situasi. Maka orang dewasa di sekitarnyalah yang justru cemas dan takut, mungkin sambil teriak-teriak. Ya karena orang dewasa sudah sadar situasi, tahu informasi dan risikonya. Saat akhirnya anak jatuh dan terluka misalnya, di situlah ia merekam pengetahuan untuk bekal tindakannya kemudian. Bolehlah disebut si anak jatuh karena khilaf, dan orang tuanya tidak mungkin memberikan sanksi kan?
Si anak belum tahu bahwa dengan keseimbangan tubuhnya yang masih labil, ia bisa terjatuh saat berlarian dengan kencang. Ia belum punya pengetahuan, sehingga tak paham pula dengan risiko dan konsekuensi. Karena sekali lagi, tahu menuntut konsekuensi, begitulah hukum sosialnya. Ada bapak-bapak yang mengeluhkan pinggangnya sering nyeri. Ia lantas meminum paracetamol dan nyeri sedikit berkurang. Besoknya kambuh lagi dan seterusnya. Ia mungkin mencurigai gejala penyakit tertentu, ginjal misalnya. Tetapi begitu istri menyuruhnya melakukan general check up, ia spontan menolaknya dengan keras. “Ogah lah, nanti malah tahu penyakitnya, tambah pusing pula nanti.”
Si bapak memilih tidak tahu diagnosa penyakitnya karena tak siap dengan konsekuensinya. Karena sebagai orang dewasa ia menyadari, bahwa jika terlanjur tahu, akan banyak konsekuensi yang harus diambilnya, entah itu berobat rutin, mengonsumsi obat berulang, beban hidup bertambah, dan sebagainya.
Maka bagi orang dewasa yang sudah paham situasi ini (mukalaf), bisa membedakan benar salah, hukum berlaku untuknya. Tidak ada alasan khilaf atau bertindak karena ketidaktahuan. Sebab lazimnya khilaf, tindakannya kemungkinan tidak berulang. Anak kecil yang memakan kue kakaknya, ia tidak tahu, sehingga cukup diberi tahu. Sang nenek juga mengambil kayu tanpa tahu jika perbuatannya melanggar hukum, ketika akhirnya tahu tentu ia mungkin tak mengulanginya lagi.
Terhadap tindakan yang dilatarbelakangi karena ketidaktahuan atau kehilafan, maka penanganan terbaik adalah dengan mengedukasi, bukan memberikan sanksi. Sebab orag-orang yang khilaf ini lebih memiliki harapan untuk berubah menjadi lebih baik ke depannya. Karena itulah konsep edukasi lebih relevan untuk dikedepankan, alih-alih memberikan hukuman. Sebaliknya, jika hukuman yang diberikan, alih-alih memberikan pencerahan kesadaran, yang terjadi justru potensi warisan kesakitan yang mendendam, membuat mereka yang khilaf justru antipati dengan hukum.
Sementara pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang sudah mukalaf, ia tahu hukum dan konsekuensinya, tetapi tetap melakukan. Seorang pencuri, koruptor, begal, mereka tentu paham atas tindakan berikut konsekuensinya. Sama halnya dengan oknum guru PNS di Kabupaten Batang yang mencabuli 40 siswinya, ia jelas tahu betul status tindakannya, paham risikonya. Justru karena menyadari itu, ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, plus strategi tertentu (modus) untuk memuluskan tindakannya.
Terhadap oknum guru ini, tidak mungkin cukup diberitahu seperti halnya anak kecil. Perilaku semacam ini dilakukan dengan tahu dan sadar konsekuensi, sehingga yang perlu dilakukan adalah menutup peluangnya untuk berbuat tindakan serupa, termasuk melalui sanksi represif yakni hukuman penjara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.