Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agil Septiyan Habib

Jauhi Alam Sekitar!

Gaya Hidup | Friday, 14 Oct 2022, 15:37 WIB

Kekaguman kita terhadap alam justru menjadikan kondisi alam itu semakin memburuk. Padahal kekaguman dan kecintaan terhadap alam seharusnya menjadikan alam itu membaik, bukan sebaliknya. Paradoks ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang salah dari cara kita mencintai alam. Ungkapan bahwa cinta tidak harus memiliki mungkin menjadi kunci atas penyelamatan lingkungan di bumi.

icsilviu" />
Terlihat indah rumah-rumah yang berdampingan dengan alam, tapi ada efek sampingnya| Ilustrasi gambar : pixabay.com / icsilviu

Maraknya Kanal youtube jelajah alam selama beberapa waktu terkahir merupakan salah satu indikasi tingginya minat kita terhadap alam sekitar. Kegemaran netizen terhadap ragam tayangan alam sekitar begitu besar. Jumlah viewer dan subscriber-nya mencapai puluhan ribu, ratusan, bahkan jutaan.

Seperti hukum ekonomi, makin tinggi permintaan maka turut membesar pula penawarannya. Animo para youtuber untuk menghadirkan konten bergenre alam, hutan, dan sejenisnya menjadi semakin banyak dari waktu ke waktu.

Alhasil, jumlah kanal yang hadir pun semakin bervariasi. Mulai dari yang membawakan dengan pendekatan mistis, sampai dengan yang membikin rumah-rumahan ditengah hutan dari bahan ala kadarnya. Tanpa kita sadari bahwa sebenarnya hal itu menyisakan efek samping terhadap alam itu sendiri.

Ada pohon-pohon yang ditebang. Ada sampah yang dibuang sembarangan. Menjadikan hutan dan alam seperti halaman belakang rumah yang bisa diperlakukan semau-maunya.

Atas nama kenyamanan hidup dekat dengan alam maka semakin banyak rumah hunian yang dibangun diatas lahan yang sejatinya untuk hidup tumbuh-tumbuhan ataupun hewan. Kawasan Puncak Bogor sudah seperti toserba rumah hunian yang setiap jengkalnya telah mulai berganti dari pepohononan menjadi vila liburan.

Keinginan mendekat dengan alam bukannya menjadikan kita melindunginya, tapi justru mendorong kita untuk secara egois memilikinya. Padahal alam itu milik orang banyak. Milik masyrakat luas. Bukan cuma milik pemilik sertifikat tanah dimana alam itu berada.

Hasrat cinta terhadap alam sekitar yang begitu ingin memiliki itulah yang kemudian menjadi sumber masalah. Membuatnya murka dengan caranya yang tidak biasa. Tanah longsor dan banjir seolah menjadi luapan emosi yang tak tertahan setelah sekian lama.

Kita yang katanya mencintai alam nyatanya justru menuangkannya dengan cara yang egois. Selayaknya kekasih, kita ini terlalu memaksakan semua kehendak kita. Memutuskan sesuatu yang seolah-olah itu baik untuk alam padahal sebenarnya itu semua demi diri kita sendiri.

Adakalanya cinta yang terbaik itu adalah tidak perlu memiliki. Membiarkan sang pujaan berkembang bahagia dalam kebebasannya, bukan dengan kungkungan kita.

Percuma mengkalim mencintai sesuatu jikalau pada akhirnya sang cinta tidak pernah merasakan kebahagiaan samasekali. Akibatnya, kita hanya akan merasakan kebahagiaan semu nan sesaat. Lambat laut cinta yang kita klaim itu akan menyakiti dengan caranya.

Sebelum hal itu terjadi, maka keegoisan ini harus dihentikan. Menjauhlah dari alam sembari tetap mencitainya secara tulus. Jagalah ia dari satu sisi tempat yang jauh, yang tak mengusiknya barang sedikitpun. Namun tetap memberikan kehangatan dari kejauhan.

Relakah kita untuk berbuat demikian?

Salam hangat,

Agil S Habib

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image