Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image GANI KAHAR 2021

Bisnis Waralaba/Franchise dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syari’ah

Bisnis | Sunday, 05 Dec 2021, 16:39 WIB

Di zaman ekonomi yang berkembang pesat sekarang ini, istilah Franchise atau waralaba sudah tidak asing terdengar di telinga kita, bisnis Franchise sudah merebak di segala sektor dari bisnis makanan, kebutuhan harian, Jasa dan lain-lain. Waralaba telah menjadi istilah yang sangat populer. Secara singkat waralaba digunakan untuk menunjukkan apa yang sebelumnya sering disebut sebagai pengaturan lisensi. Dalam arti yang populer, ada karakter dagang di mana seorang yang terkenal atau suatu karakter yang telah tercipta memberikan lisensi kepada orang lain, yang dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama, Orang-orang yang ingin memulai bisnis tapi tidak ingin dibuat pusing dengan segala perencanaan usaha yang rumit. Nah, sekarang banyak para pegiat usaha Kelas menengah hingga kelas atas memperluas jangkauan usaha mereka dengan sistem Franchise. Apa itu Franchise dan bagaimanakah pandangan islam menyikapi sitem waralaba yang satu ini? Yuk mari kita bahas.

Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat itu seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk-produk makanan dengan merk tertentu. Sebenarnya waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat. Di Amerika Serikat waralaba mulai dikenal ketika perusahaan-perusahaan bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka. Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba generasi kedua, yang disebut sebagai entire business franchising. Dalam sistem yang semakin berkembang ini, ikatan perjanjian tidak lagi hanya mengenai satu aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh aspek pengoperasiaan perusahaan pemberi waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu paket prestasi kepada penerima waralaba (franchisee) berupa bentuk atau dekorasi tempat usaha, konsep kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen dan organisasi perusahaan.

Waralaba didefinisikan sebagai hak istimewa (privilage) yang terjalin dan atau diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran. Dalam format bisnis, waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual prosuk atau jasa sesuai dengan kesepakatan.

Dalam Ekonomi islam, Suatu waralaba adalah bentuk perjanjian kerja sama (syirkah) yang isinya memberikan hak dan wewenang khusus kepada pihak penerima. Waralaba merupakan suatu perjanjian timbal balik, karena pemberi waralaba (franchisor) maupun penerima waralaba (franchisee) keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu.Berikut alasan waralaba dikategorikan sebagai bentuk syirkah:

Waralaba adalah kerjasama yang saling menguntungkan, berarti bisnis waralaba memang dapat dikatakan kategori dari syirkah dalam hukum Islam.

Terdapat prestasi bagi penerima waralaba, hal ini sama dengan syirkah.

Terdapat barang, jasa dan tenaga memenuhi salah satu syarat syirkah.

Terdapat dua orang atau lebih yang bertransaksi, sepakat, hal tertentu, ditulis (dicatat) dan oleh sebab tertentu sesuai dengan syarat syirkah (Yusuf, 2009)

Unsur yang terpenting dalam sistem bisnis waralaba adalah masalah hak cipta. Hak cipta dalam bisnis waralaba meliputi logo, merk, buku petunjuk pengoperasian bisnis, brosur atau pamflet serta arsitektur tertentu yang berciri khas dari usahanya.Adapun imbalan dari penggunaan hak cipta ini adalah pembayaran fee awal dari pihak terwaralaba kepada pihak pewaralaba. Hak cipta di dalam khazanah hukum Islam termasuk hal baru, akan tetapi beberapa ahli hukum Islam telah berusaha untuk membahasnya, seperti Fathi Daroini menyebut hak cipta sebagai haqqul ihtikar. Karya cipta yang bersumber dari hasil pemikiran merupakan jalan bagi perkembangan dan kemajuan kebudayaan manusia.Hasil pikiran itu jika dilihat dari kacamata fiqh Islam bisa dimasukkan dalam kategori manfaat, bukan benda. Hal ini dapat dilihat dari hadist yang mengatakan: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, teputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan diamalkan ke orang lain, dan anak sholeh yang mendo’akan orang tuanya”. (H.R. Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah, hadist Musnad bin Hanbal).

Aspek bahwa hak cipta berupa merk dagang dan nama perusahaan merupakan jasa/manfaat yang dihasilkan oleh karya intelektual, dan mempunyai nilai finansial yang telah dinyatakan jelas dalam syari’ah. Akad terhadap jasa/manfaat yang dihasilkan juga merupakan akad yang sah, sebagai salah satu objek akad selain benda. Hanya saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal hak cipta bisnis waralaba berbasis syari’ah yaitu franchisor harus menyediakan apa saja informasi dan keahlian yang diperlukan oleh franchisee agar barang-barang baru yang dia produksi kualifikasinya sama dengan barang aslinya (yang diproduksi oleh franchisor). Sebab, jika diantara keduanya berbeda, maka ini merupakan bentuk penipuan dan tipu muslihat (Abdurrahman, 2014)

Dalam mekanisme kerja bisnis waralaba berbasis syari’ah harus didasarkan pada prinsip keadilan dan saling menguntungkan kedua belah pihak untuk menciptakan sinergi dalam mencapai tingkat laba optimal yang dibagi proporsional. Begitu juga dengan penentuan franchise fee dan royalty fee, dalam penentuan franchise fee pewaralaba harus adil dalam menentukan berapa besar biaya yang dibebankan kepada terwaralaba untuk semua jasa yang disediakan, termasuk biaya rekruitmen sebesar biaya pendirian yang dikeluarkan oleh pewaralaba untuk kepentingan terwaralaba dalam menjalankan bisnisnya tersebut. Tidak boleh ada biaya-biaya terselebung di luar hal tersebut.

Dalam bisnis waralaba syari’ah antara pewaralaba dan terwaralaba harus menanam nilai kejujuran dalam melaksanakan kerja sama bisnisnya. Karena sangat mungkin dalam sebuah bentuk bisnis kerja sama seperti waralaba terjadi penzaliman satu sama lain, kecuali orang-orang yang berpegang teguh pada perintah Tuhannya dan selalu ingin berbuat baik akan mempunyai rasa takut untuk berbuat dzalim.

Bisnis waralaba syari’ah mengutamakan attitudebisnis yang baik sebagai kunci keberhasilan bisnis waralaba tersebut. pembayaran Franchise fee bisnis waralaba berbasis syari’ah, sesuai dengan kaidah syirkah abdan dan syirkah inan yang dalam akadnya pengambilan keuntungan dua mitra yang bekerjasama (dalam hal ini franchisor dan franchisee) diperbolehkan setelah usaha berjalan, tidak boleh mengambil keuntungan jika usaha belum berjalan.

Dalam pembagian keuntungan bisnis waralaba berbasis syari’ah harus berdasarkan prinsip bagi hasil gross profit yaitu keuntungan kotor yang belum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum usaha. Dan Net profit yaitu keuntungan bersih yang sudah dikurangi oleh biaya-biaya selama usaha.

Dalam bisnis waralaba berbasis syari’ah, aspek bahwa hak cipta berupa merk dagang dan nama perusahaan merupakan jasa/manfaat yang dihasilkan oleh karya intelektual, dan mempunyai nilai finansial yang telah dinyatakan jelas dalam syari’ah. Akad terhadap jasa/manfaat yang dihasilkan juga merupakan akad yang sah, sebagai salah satu objek akad, selain benda. Hanya saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal hak cipta bisnis waralaba berbasis syari’ah yaitu franchisor harus menyediakan apa saja informasi dan keahlian yang diperlukan oleh franchise agar barang-barang baru yang dia produksi kualifikasinya sama dengan barang aslinya.

Nah kawan-kawan mungkin itulah uraian singkat mengenai bisnis waralaba dalam perspektif Hukum Ekonomi Syari’ah. Semoga bermanfaat ????

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image