Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yakub Kau

Bayi Perempuan Harus Tindik Dulu Supaya Jadi Cantik atau Tambah Cantik? Patriarki Sekali

Curhat | Sunday, 09 Oct 2022, 13:16 WIB

 

Kalau harus ditindik dulu bayi perempuan baru bisa dikatakan cantik atau tambah cantik, lantas bagaimana dengan bayi laki-laki? Partiarki sekali!!

***

Anak saya berjenis kelamin perempuan. Usianya baru enam bulan dan belum ditindik. Setiap dibawa jalan-jalan, makemak di komplek sering bilang dia mirip laki-laki. Makanya harus ditindik biar kelihatan cewek.

“Pakeya mao ngande-ngande tiyo alihu onuhe cewe (Pakaikan dia anting biar kelihatan cewek),” begitu kata mereka.

Begitu juga saat di posyandu. Petugas yang kekurangan bahan sering menjadikan soal ini topik utama memulai basa basi.

“Halo sayang. Eh, bo belum pake tindik ini? Padahal kalau tindik, adek tambah cantik, lho.

Narasi seperti ini tak cuma datang dari orang luar saja. Dari dalam keluarga ada oma dan tante-tantenya yang sudah berulang kali mengingatkan. Awalnya, saya menanggapinya biasa saja. Orang mereka keluarga senior yang sayang keluarga junior. Jadi, ya, wajar.

Akan tetapi, saya kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Bikin saya heran. Setiap kali dijawab “belum waktunya”, “nanti saja”, atau sekadar kasih senyum pasti ada-ada saja pertanyaan dan pernyataan lanjutan yang memicu perdebatan. Entah mengapa, hanya gara-gara perintilan kecil saja cara pandang orang-orang ke anak saya seperti “kurang lengkap” atau ada “bagian yang hilang”.

Mungkin bagi mereka narasi seperti itu tidak terdengar sesuram eksploitasi anak. Bagi mereka itu saran positif, tapi sejujurnya tidak lebih dari sebuah omong kosong.

Sekarang apa urgennya bayi perempuan ditindik? Kan, bayi belum paham makna asesoris yang dipakai. Lagian tindik atau anting juga bukan satu-satunya pembeda jenis kelamin. Apa harus ditindik dulu baru bisa dikenali mana bayi perempuan dan mana bayi laki-laki?

Pikiran nyinyir saya jadi bertanya-tanya: masa, sih, cuma bayi perempuan yang dituntut untuk tampil sesuai standar tertentu? Masa iya cuma bayi perempuan yang pantas dijadikan objek pasif untuk kepuasan indrawi? Harus begini lah, harus begitu lah, baru cukup dikatakan cantik atau tambah cantik. Kalau begitu, harusnya ada standar tertentu untuk bayi laki-laki supaya bisa dikatakan ganteng atau tambah ganteng.

“Patriarki sekali!,” begitu kata seorang teman.

Darisini kita bisa melihat kalau diskriminasi penampilan atau objektifikasi perempuan sudah ada sejak perempuan itu lahir. Dan saya yakin masih banyak standart-standart tertentu yang dibebankan ke bayi perempuan, tetapi belum atau enggan dikomeni oleh para orang tua. Para orang tua selama ini “dipaksa” menerimanya. Sebab jika tidak, akan dianggap menabrak adat atau melawan kodrat.

Untuk beberapa orang tua menganggap tindik telinga pada bayi perempuan wajar-wajar saja. Bahkan ada yang menganggapnya sebuah tradisi. Biasalah, kalau bukan untuk membuat anaknya tampil fashionable, alasannya karena kulit bayi masih gampang ditembus mesin sehingga mengurangi risiko sakit atau ketidaknyamanan di kemudian hari.

Sementara bagi para penolak, tindik menindik telinga bayi dianggap sebuah bentuk pelecehan dan kekerasan pada anak. Sebab tindakan tersebut bisa menyakiti, bisa mengubah bentuk tanpa persetujuan anak terlebih dahulu.

Saya sendiri cenderung menganggap hukum tindik telinga pada bayi perempuan tidak wajib dan tidak masalah seandainya narasi-narasi tadi tidak ada. Kalau perlu ganti dengan narasi yang berpotensi menggembirakan. Misalnya, “Eh adek minum susu apa?”, terus kasih bondo (sedekah untuk bayi yang baru lahir).

Begini kan, enak. Orang tua yang low budget seperti saya jadi terbantukan dan punya bahan untuk di upload ke media sosial. “Masyaallah. Alhamdulillah. Rezeki anak saleh. Makasih tante semoga rezekinya bertambah (sambil pasang foto susu dan popok).”

Bagi saya, menindik telinga sama halnya dengan mendidik. Menindik itu hak anak. Bersifat personal. Jika begitu, berarti hukum boleh tidaknya tergantung si anak juga. Dengan kata lain kita mendidiknya bagaimana cara bertanggung jawab. Tanggung jawab atas rasa sakit, kebersihan telinga, dan menjaga perhiasan yang dia pakai.

Meski demikian, saya ingin memberi beberapa tips. Tentu tips untuk orang tua yang berencana menindik telinga bayinya. Bukan tips memulai basa basi yang baik dan benar untuk makemak dan petugas puskesmas tadi.

Tips ini berdasarkan sejumlah kasus yang saya temui di lapangan.sebelum tulisan ini jadi. Karena pada praktiknya tindik telinga pada bayi tidak selamanya sesuai harapan. Ada risiko-risiko yang tidak bisa dianggap lucu-lucuan. Sebagai orang tua, mestinya kita tidak boleh bersikap lugu dengan risiko-risiko ini.

Pertama, diperhatikan kapan waktu menindik telinga bayi dan berkonsultasilah dengan dokter. Ada kasus di mana hasil tindikan tidak kompak alias tidak simetris. Lalabota kalau orang Gorontalo bilang. Istri saya mengalaminya.

Mengapa demikian? Karena bisa jadi telinganya ditindik sebelum waktunya. Sebab terlalu dini menindik telinga bayi justru akan membuat posisi lubangnya terlihat miring, terlalu dekat, atau terlalu jauh dengan wajah ketika bertumbuh dewasa.

Memang, menurut American Academy of Pediatrics (AAP) tidak ada waktu terbaik untuk menindik telinga bayi. Umur berapa pun silakan, yang penting dilakukan secara medis oleh ahlinya ahli, intinya inti, core of the core. Namun, sebagian ahli juga menyarankan saat anak sudah berusia 6 bulan.

Kedua, Perhatikan betul orang yang menindik dan pastikan alatnya steril atau tidak. Ada kasus telinga bayi membengkak dan bernanah usai ditindik. Mengapa timbul risiko seperti ini? Ya, karena memang setiap kita menindik kulit akan membuka peluang terjadinya infeksi. Apalagi kalau petugasnya amatiran. Kita tentu tidak mau anting yang dibeli tidak terpakai dan berakhir di toko emas.

Ketiga, perhatikan betul perhiasan yang bakal akan dipakai. Hal ini bisa mencegah risiko tak kasat mata dan tak kasat rasa. Misalnya, anting yang terlalu besar atau terlalu berharga, justru akan mengganggu aktivitas bermain si kecil. Kebayang kan, bagaimana si kecil sementara bermain, sementara lari-lari terus antingnya nyangkut di baju atau jatuh? Kalau bukan si kecil yang nangis, ya, emaknya yang sedih. Bukan begitu?

Ketiga hal ini (mungkin masih banyak) lebih penting ketimbang mengimani omong kosong yang orientasinya hanya melulu soal kepuasan indrawi semata. Sebab perkara tindik menindik telinga bayi bukan semata-mata soal indrawi sehingga yang keluar hanya seputar tampilan fisik.

Bayi perempuan sama sebagaimana bayi laki-laki. Dunia mereka tidak dibentuk oleh satu jenis pernak pernik fashion kekinian berukuran mini saja. Yang mereka butuhkan tumbuh kembang bukan tumbuh cantik/ganteng. Sebab itu, narasi seperti di awal harus musnah dari muka bumi.

Percayalah semua bayi yang dilahirkan sehat dan normal, insyaallah, akan benar-benar tumbuh menjadi manusia yang lengkap. Mau ditindik atau tidak, mau pakai anting atau tidak, bayi tetap saja gemesin. Walau hanya dipakaikan baju serta sepatu yang nyaman, bayi tetap bisa dijadiin talent utama dalam konten TikTok ibu-ibu sekalian.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image