Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khaier

Menengok pesantren underground

Gaya Hidup | Wednesday, 28 Sep 2022, 11:15 WIB

Hujan sejak sore belum juga berhenti ketika saya tiba di sebuah rumah toko (ruko) berlantai tiga, kawasan Pasar Cimanggis, Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa orang terlihat berbincang-bincang di bagian depan ruko berkanopi. Beberapa cangkir kopi menemani mereka menghabiskan malam yang kian dingin dan larut. Lantai dasar ruko tersebut digunakan untuk membuka kedai kopi sederhana. Pada salah satu bagian temboknya terdapat mural Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi. Di bagian lain terdapat panel kayu tempat memajang hasil karya beberapa pewarta. Sebagian besar foto menunjukkan potret seorang pria berjanggut dan memakai pakol, penutup kepala khas laki-laki Afghanistan. Penampilannya terlihat santai dengan kemeja lengan panjang yang digulung sampai lengan dan dipadu celana jeans. Namun tampilan pria itu agak kontras dengan beberapa pemuda yang ikut duduk bersila di sekelilingnya. Gaya berpakaian mereka kental dengan subkultur Punk, ditambah tindikan dan rajah pada beberapa bagian tubuh. Mereka tampak serius memperhatikan pria itu berbicara. Di sebelah panel foto dipasang ukiran kaligrafi huruf Arab yang berbentuk orang sedang bersimpuh dan tulisan Tasawuf Underground. Sekitar dua tahun belakangan, ruko tersebut difungsikan sebagai pesantren oleh Ustaz Halim Ambiya (46). Pria yang kerap terlihat memakai pakol itu menyebut pesantrennya sebagai peta jalan pulang. Merintis jalan pulang “Ini bukan pondok pesantren biasa, karena isinya adalah anak-anak yang istimewa,” ujar Halim ketika saya menemuinya di lantai dua, Minggu (13/2/2022). Bagian ruko tersebut biasa digunakan untuk pengajian, salat, belajar, maupun pertemuan lainnya. Lantainya beralaskan karpet. Sebagian dinding dilapisi dengan kayu dan dihiasi kaligrafi. Beberapa foto tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dipajang di salah satu sudut ruangan tempat menyimpan buku-buku. Sebuah foto monumental berukuran besar diletakkan berseberangan dengan tangga sehingga menarik perhatian saat memasuki ruangan itu. Gus Dur yang mengenakan setelan jas berdiri di samping Paus Yohanas Paulus II. Pertemuan Presiden keempat RI dengan pimpinan tertinggi Gereja Katolik itu diabadikan di Vatikan pada April 2000. Lantai paling atas digunakan untuk tempat para santri untuk beristirahat dan menginap. Halim menceritakan perannya sebagai orangtua, guru, sekaligus sahabat bagi anak-anak jalanan. Menurutnya, mereka yang hidup di jalanan juga punya harapan untuk kembali. Beban yang terasa kian berat mendorong mereka untuk mencari jalan pulang. Namun, berapa banyak yang bersedia menjadi penunjuk arah? “Persoalannya, agama tidak benar-benar hadir di tengah mereka. Padahal ada problem di balik itu, masalah kita bersama,” tutur pria kelahiran Indramayu 12 Juli 1974 itu.
Perjalanan Pesantren Tasawuf Underground Inisiatif mendirikan Pesantren Tasawuf Underground bermula dari kegiatan pengajian Ustaz Halim pada 2017. Kala itu ia mendatangi sejumlah komunitas Punk. Perlahan Halim mengumpulkan para muridnya di beberapa tempat, salah satunya di kolong jalan layang Tebet, Jakarta Selatan. Halim memahami peliknya persoalan yang dihadapi anak-anak jalanan. Bukan tanpa alasan mereka memilih hidup di jalan. Hubungan keluarga yang tidak harmonis, ketergantungan narkotika dan minuman beralkohol, masalah ekonomi serta pendidikan, kerap menghambat mereka yang ingin berbenah. “Ketika mereka mencapai titik lelah di jalanan, mau balik ke kampung sudah bertato, tidak diterima, mau pulang sudah tidak diterima, mau lanjutkan sekolah juga tidak bisa,” kata Halim. Setelah kegiatan komunitasnya itu berjalan sekitar dua tahun, Halim memutuskan untuk mencari tempat bagi para muridnya untuk belajar agama. Halim merasa upayanya itu akan sia-sia jika mereka tetap berada di jalanan. Sebab, tidak mudah untuk menghindari pengaruh buruk yang muncul. Lagipula, Ia juga tidak ingin kegiatannya itu hanya menjadi tontonan bagi banyak orang dan akhirnya menimbulkan perasaan narsistik dalam dirinya. Kantor usaha penerbitan buku yang ia miliki di daerah Ciputat sempat menjadi rumah bagi sekitar lima belas muridnya. Mereka belajar berhimpun ala pesantren. Kemudian, pada pertengahan 2020, Halim berhasil mengumpulkan dana untuk menyewa ruko yang kini menjadi tempat belajar bagi sekitar 40 santrinya. “Selama ini mereka ingin berbenah, tapi tidak ada yang membimbing,” kata Halim. Halim ingin hadir di tengah mereka sebagai bapak, guru, dan sahabat. Tiga peran ini yang selalu ia mainkan ketika merangkul mereka yang terpinggirkan. Sebagai bapak, Halim selalu berupaya membela, mendampingi, dan mengayomi para muridnya ketika bermasalah. Seringkali ia menjadi penengah ketika terjadi konflik antarkelompok atau membela anak-anaknya saat berurusan dengan dinas sosial maupun kepolisian. Ketika menjadi guru, Halim menunjukkan mana yang benar dan salah, tak hanya dengan ucapan tetapi juga perbuatan. Peran sebagai sahabat adalah cara yang paling sederhana namun ampuh untuk menjalin kedekatan dengan anak-anak didiknya. Halim memberikan pelajaran hidup dengan cara berbagi, entah perasaan ataupun pengalaman. Ia tak ingin menasihati tetapi memilih menjadi pendengar yang baik. “Dari sini saya mendapat trust dari mereka. Ketika saya menjadi sahabatnya, semua akan menjadi lebih mudah,” ucapnya.
Berbenah melalui Tasawuf “Qalbul Mukmin Baitullah. Hati seorang mukmin adalah rumah Allah.” Ustaz lulusan jurusan Akidah dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jurusan Sejarah Peradaban Islam, ISTAC-Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Kuala Lumpur ini meyakini hati merupakan pintu masuk untuk berbenah. Karena itu, Halim memilih ilmu Tasawuf sebagai peta jalan pulang. Alih-alih menggunakan istilah hijrah atau tobat, ia lebih memilih jalan pulang, yang artinya kembali mendekatkan diri kepada Tuhan dan keluarga. Halim tidak mengajarkan agama kepada para santrinya secara hitam dan putih, melainkan lebih pada aspek batin dan pembinaan rohani. Menurut dia, pembinaan mental spiritual seseorang yang harus lebih dahulu dilakukan. “Tidak bisa, anak Punk yang sudah bertato, lalu kita bicara halal dan haram. Kalau pendekatannya itu, kapan kita mau berbenah?” Halim menuturkan, Tasawuf sebagai jalan hidup artinya mendekatkan diri pada Allah dengan membersihkan hati. Ketika seseorang “dekat” dengan Allah, maka hal itu akan berpengaruh juga untuk sekitarnya, terutama keluarga. Ia mengajari para santrinya menunaikan salat secara khusyuk, penuh penyerahan dan kebulatan hati. “Anak-anak ini punya segudang penderitaan yang bisa diadukan ketika salat, saya ajarkan bagaimana salat secara khusuk. Kita berbisik pada Tuhan yang sama,” ucap Halim. Kali lain dia menerangkan makna sujud dalam salat menurut pendekatan tasawuf, bahwa manusia berasal dari tanah, dihidupkan, dan kembali ke tanah. “Jadi mereka bisa merasakan sensasi salat secara batin,” sambungnya. Dalam buku terjemahan Sirrul-Asrar: Karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (Salima Publika, 2013), mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menulis, Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah. Ia mengutip pandangan Zakaria Al-Anshari yang menyebut Tasawuf sebagai ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi. Menurut Nasaruddin, Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf merupakan ilmu personal, sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. “Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya,” tulis Nasaruddin. Selain pembinaan spiritual, para santri juga dibekali peta untuk kembali kepada keluarga. Dalam hal ini, Halim berupaya membangun kepercayaan diri tiap santri, dari sisi ekonomi dan pendidikan. Berdaya agar mandiri Halim mendorong semua santrinya berdaya secara ekonomi agar bisa lebih mandiri ketika kembali ke keluarga. Ia mengajari para santrinya berwirausaha. Mereka memulai usaha kedai kopi, diberikan pelatihan menjadi barista, membuka usaha laundry hingga tempat cuci kendaraan bermotor. Ada pula santri yang pernah menjadi seniman tato, kini mengasah keterampilannya di bidang desain grafis dan interior. “Kita buka program belajar paket A, B, C. Sekarang sudah ada anak yang kuliah, ambil (Fakultas) Hukum, jadi advokat bagi kawan-kawannya di jalanan,” ucap Halim sambil tersenyum bangga. Jarum jam hampir menunjukkan pukul 22.00. Tak terasa lebih dari dua jam kami berbicara. Kopi sudah tandas, tinggal tersisa ampas di dasar gelas. Saya mesti beranjak meski obrolan kian hangat. Buku catatan dan alat perekam saya rapikan sebelum berpamitan. Kemudian, Ustaz Halim memberikan buku karya Syekh Abdur Qadir Al-Jailani yang pernah ia terbitkan. Kami pun berjabat tangan dan saling mengucapkan terima kasih. Malam berkelindan dengan aroma tanah yang basah setelah hujan. Perjalanan pulang terasa begitu menenangkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image