Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syaeful Cahyadi

Anak-Anak Muda dan Kisah Pencarian Tuhan

Agama | Wednesday, 01 Dec 2021, 19:33 WIB
(sumber gambar: https://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains-trendtek/ls6ped/tradisi-ramadhan)

Tiga tahun belakangan, tidak sekali kali saja saya mendengar sendiri seseorang dengan segala kesadaran mengaku sebagai agnostik. Jika dihitung-hitung, mungkin sudah ada belasan teman dekat mendaku demikian. Dari cerita mereka pula saya menyimpulkan, mereka tidak menganut agnostisisme ala filsafat saat keberadaan Tuhan benar-benar lemah secara logis. Namun, mereka lebih memilih tidak terlalu percaya pada ajaran agama tertentu sembari masih mengakui keberadaan sosok-Nya. Walaupun memang ada satu kawan yang memilih menjadi seorang agnostik dengan pandangan bahwa ia tidak mampu melogikakan keberadaan dan kehadiran Sang Pencipta.

“Kamu mungkin sama sepertiku, kita tidak pernah benar-benar tahu siapa itu Tuhan. Toh, aku dulu tidak diberi pilihan apa agamaku,” ujarnya suatu kali. Sementara lainnya, lebih berkutat pada pertanyaan, “Bisakah aku mempercayai-Nya tanpa menganut agama apapun?”

Suatu kali, seorang kawan bercerita pada saya tentang kegamangannya tentang perintah-perintah Tuhan. Musababnya sederhana, ia enggan berpuasa Ramadan namun orang tuanya terus membangunkannya saat sahur. Dari kegamangannya itu, ia memutuskan mempelajari beberapa ajaran agama lain dalam rangka bersiap menjadi seorang agnostik. Tentu saja, sembari berpura-pura ikut puasa.

Bagi saya pribadi, kisah kawan-kawan saya itu sangatlah menarik. Ada dua sudut pandang soal fenomena-fenomena tersebut sejatinya dan itu semua tidak melulu berkutat pada ranah benar-salah secara teologis. Ya, walaupun itu menyangkut urusan Tuhan dan segala argumentasi tentangnya sekalipun. Lebih jauh lagi, ada berbagai masalah berakar pada banyak hal di masa sekarang.

Pertama, kemunculan anak-anak muda dengan pilihan sebagai agnostik (bahkan ateis) menujukkan betapa pemikiran kritis muncul di kalangan mereka. Sebab, hal itu muncul disertai dengan aneka pertanyaan kritis, analisa, premis, dan pengalaman untuk mencapai keputusan menjadi agnostik atau ateis. Belum lagi, aneka hal tadi membawa ruang perdebatan pada diri sendiri dan aneka pertanyaan yang menghantui. Seorang kawan, contohnya, memilih menjadi seorang ateis setelah ia merenungkan segala pengalamannya sedari kecil. “Jujur, aku tidak pernah merasakan kehadiran Tuhan di hidupku,” ungkapnya.

Sayangnya, tidak semua penganut agnostik yang saya kenal mau dan sempat melakukan itu. Saya kenal beberapa orang itu sekadar menjadi agnostik karena enggan melakukan kewajiban agama. Kadang, mereka berargumen bahwa dulunya mereka tidak diberi pilihan agama pilihan mereka sendiri. Ada pula seseorang karena hobinya membaca buku filsafat nan tebal, ia memutuskan menjadi seorang agnostik. Di satu sisi, ia enggan mempelajari lebih lanjut segala keresahannya itu dari sudut pandang lain. Sudut pandang ilmu agama, misalnya.

Saya tidak hendak menghakimi pengalaman pribadi orang lain hingga berada di keputusannya sekarang. Toh, itu semua urusan pribadinya. Namun, memutuskan menjadi seorang agnostik karena enggan sahur, tidak seimbangnya bahan bacaan, dan ketidakmauan mempelajari sumber lain secara kerangka berpikir kritis rasanya terlalu gegabah. Saya akan sangat menghormati mereka, misalnya, mengaku agnostik setelah mempelajari 6 ajaran agama. Urusan ia menemukan kemantapan hati atau tidak adalah hal belakangan, tetapi ada proses panjang ia jalani demi menjawab resah hatinya sendiri.

Setidaknya, dengan proses semacam itu, seseorang akan bertemu bermacam-macam “tuhan” sebelum, misal, kelak memutuskan bahwa semua ajaran agama baik adanya dan ia bisa mengakui keberadaan-Nya tanpa harus meyakini agama. Tanpa hal itu, keputusan menjadi agnostik adalah sesuatu yang gegabah secara tahap berpikir kritis. Seorang kawan, misalnya, memutuskan berangkat salat Jumat setelah hampir setengah tahun mengaku sebagai agnostik karena memiliki suatu keinginan tertentu. Sebuah langkah rancu jika mengingat ucapannya dulu.

Di sisi lain, merebaknya budaya agnostisisme bahkan ateisme di kalangan anak muda juga menggambarkan ketiadaan sosok Maha Pencipta nan ideal di pikiran anak-anak muda itu. Toh, menurut Karen Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan, konsep ketuhanan memang datang dari kebudayaan manusia dan itu bisa berubah setiap saat. Secara tidak langsung, di bukunya ia bahkan mengatakan jika konsep mengenai Tuhan bisa saja hilang di masa akan datang.

Hari ini, anak-anak muda mungkin menemui Tuhan dalam konsep nan menakutkan dengan segala produk budaya turunannya. Alih-alih menemukan penerapana konseo ketuhanan dalam konsep menyenangkan dan sesuai perkembangan zaman, mereka lebih sering menemukan contoh dalam hal-hal menyebalkan. Ekslusivitas, radikalisme, teror, saling serang antar pemeluk agama, hingga saling klaim kebenaran antar kelompok. Itu semua lantas membuat pikiran kritis mereka merenungkan ulang, apakah seperti ini segala konsep tentang keberadaan-Nya?

“Kenapa Dia tidak adil, ya?” demikian keluh kawan saya lainnya suatu kali. Pertanyaan itu menghenyak hati kecil saya. Bagaimana ceritanya Sang Maha Pencipta bisa adil seadil-adilnya. Saya bertanya-tanya, apakah Tuhan versi selalu adil mau memasukkan semua umatnya ke surga tanpa peduli dosa-dosa mereka? Usut punya usut, ia mempermasalahkan konsep kedurhakaan dan penghormatan seringkali hanya diletakkan di sisi anak. Sementara menurut pengalamannya, dia sering menemukan orang tuanya sendiri sebenarnya durhaka dan tidak menghormati anak-anaknya sendiri, termasuk rekan saya tadi.

Lain waktu, saya menemukan seorang rekan enggan pergi Jumatan. Musababnya, ia merasa materi ceramah di salat Jumat terasa menoton dan selalu soal surge neraka. “Menakutkan,” katanya. “Kenapa tidak ceramah itu diisi dengan hal-hal seperti pentingnya pendidikan dan mendidik anak, misalnya. Kan lebih berguna?” lanjutnya. Ia tidak menyerah, beberapa kali ia berkeliling mencoba salat Jumat di masjid berbeda. Sayang, sampai saat ini ia belum bisa menemukan model ceramah sesuai keinginannya.

Tentu saja masih banyak contoh lain mengenai ketidakcocokan konsep ketuhanan tradisional dengan kondisi masa sekarang, terutama di kalangan anak-anak muda. Beberapa orang menjadikannya sebagai bahan bercandaan di kalangan tertentu, beberapa lainnya mencari tahu hal itu secara serius. Kenapa Dia tidak begini, kenapa tidak begitu, dan aneka pertanyaan kritis khas anak zaman sekarang. Beberapa orang menemukan jawaban, beberapa semakin tebal rasa gamangnya, beberapa lainnya memillih jadi agnostik atau ateis sekalipun, sementara beberapa lainnya mungkin tetap menyimpan pertanyaan itu sembari sembari tetap menjalani semuanya sebagai, mungkin, sebuah kepatuhan teologis.

Karen Armstrong sendiri mengatakan bahwa realitas tentang Tuhan bukanlah sebuah realitas tak tersentuh. Artinya, itu semua dinamis dan sangat bisa dipengaruhi unsur-unsur di sekitarnya. Realitas kebudayaan, kondisi manusia, pengetahuan umat manusia, dan kondisi kehidupan manusia tentu saja terus berubah waktu demi waktu. Maka, seperti kata Karen Armstrong, ‘masa depan’ Tuhan serta ketuhanan pun terus dan bisa saja berubah. Hari ini, mungkin sedang banyak anak muda sedang mengalami fase krisis dalam pencarian mereka. Namun, bukan tidak mungkin suatu waktu nanti mereka bisa menjadi kelompok usia paling relijius di antara kelompok usia lainnya.

Pada akhirnya, mungkin, bukan hanya perangkat digital saja yang butuh untuk diperbarui alias di-upgrade. Aneka contoh kasus di atas menunjukkan bahwa urusan konsep ketuhanan dan aneka interprestasi tentangnya juga perlu mendapatkan penyesuaian dan pembaruan dengan kondisi sekarang. Menggunakan perumpaan yang sama, jangan-jangan, jika tidak kita perbarui, maka itu semua tidak akan bisa terpakai dan ketinggalan zaman?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image