Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fathur Roziqin

Pola Pendidikan Keluarga

Curhat | Tuesday, 06 Sep 2022, 19:06 WIB
Sumber gambar: doc. https://png.pngtree.com/
Sumber gambar: doc. https://png.pngtree.com/

Oleh Fathur Roziqin*

Terlahir dari keluarga buruh tani, yang jauh dari tradisi orang-orang berpendidikan, tidak membuat saya gemar belajar, selalu berpandangan sempit akan suatu hal, dan selalu gamang untuk melaju lebih jauh, kerapkali menghantui masa depan pendidikan saya: apakah pendidikan yang saya tempuh hari ini mampu menjemput kesuksesan belajar pada suatu hari kelak?

Tetapi, untuk tidak buru-buru mengurai lebih lanjut tulisan ini, saya yakin dan memang harus yakin sebagai orang beragama; bahwa kewajiban seorang pelajar adalah belajar ... belajar ... dan belajar; sebab itu kunci keberhasilan seorang pelajar yang saya dapat dari guru ketika masih nyantri di pesantren (meskipun hingga kini boleh dikatakan saya masih santri). Dan ada baiknya menilik akar persoalan mengapa seorang pelajar terkadang gamang melihat masa depan pendidikannya dan bagaimana kemudian menyikapinya.

Pola asuh anak yang benar dan baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga, adalah berperan penting dalam menentukan keberhasilan orangtua menyiapkan masa depan pendidikan anaknya. Orangtua yang tidak menguasai pentingnya pendidikan parenting keluarga, akan memperlambat proses belajar sang anak, akan membuat darah tinggi sesaat setelah sang anak menginjak masa remaja-dewasa---jika kesalahan pola asuh mengakar.

Bisa jadi anak nakal adalah produk kesalahan dari pola asuh keluarga yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar belajar ada pola asuh dan pendidikan yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar membaca buku adalah kurangnya buku-buku bagus dilingkungan rumah, tidak serta merta kemalasan anak sepenuhnya. Kita mungkin sepakat bahwa lingkungan pula turut berpengaruh.

Sebagaimana pengalaman saya semasa kecil dan temuan saya ketika bertemu orangtua yang memperlakukan anaknya secara tidak tepat (untuk tidak mengatakan tidak benar): Ialah orang tua menginginkan anaknya berkata jujur, orangtua menginginkan anaknya gemar membaca; sedangkan pada waktu-waktu tertentu, orang tua kerapkali berkata tidak jujur; orangtua bahkan (sebagian) melarang jika anaknya suka membaca buku-buku cerita.

Padahal fakta menunjukkan bahwa buku-buku cerita dapat memperkaya imajinasi dan menumbuhkan rasa empati tinggi serta kecerdasan sang anak. Kata Albert Einstein: "Jika anda menginginkan anak-anak yang cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika anda menginginkan anak-anak lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng".

Kembali ke soal "ketidakjujuran orangtua", suatu kali saya melihat seorang bocah sedang bermain di lingkungan rumahnya; yang di temani ibu serta neneknya; karena bocah tersebut terlalu jauh bermain dari lingkaran batas rumah; sang ibu dan nenek itu tidak membolehkannya dan mengatakan, sebagai teguran mungkin, bahwa disekitarnya ada ular! Padahal kenyataannya, di tempat yang dimaksud tidak ada ular. Ibu dan nenek itu telah berbohong agar bocah tersebut tidak terlalu jauh bermain dan berharap mengikuti perintahnya.

Contoh pola asuh kebohongan-kebohongan kecil mungkin pernah kita temui di sekitar lingkungan rumah atau tempat lain, dengan konteks contoh yang berbeda. Kebohongan kecil "tidak jujur" seperti itulah membuat anak akan memperlakukan orangtua sebaliknya: berkata tidak jujur.

Silakan uji pernyataan ini dan perhatikan pengalaman kebohongan kecil pola asuh tersebut setelah anak menginjak remaja; dan saya telah membuktikannya, bahwa suatu kali orangtua saya berbohong kepala saya; dengan alasan agar saya menuruti akan perintahnya; dan saya sering berbohong kepadanya; dengan alasan tidak jauh berbeda, agar keinginan saya dituruti.

Tanpa disadari atau disadari sebenarnya. Bahwa saya telah berbohong atas produk kebohongan-kebohongan kecil orangtua dulu memperlakukan saya, sebagaimana pengakuan di atas.

Sebenarnya pola asuh keluarga saya bersangkut-paut dengan minimnya tingkat pendidikan. Keluarga saya bukanlah keluarga orang berpendidikan. Ibu mengaku bahwa ibu hanya lulusan sekolah dasar; sementara bapak sekolah dasar pun tak tamat; kata bapak, dulu berhenti pada kelas 3 karena keterbatasan ekonomi. Orangtua bercerita bahwa dulu anak desa bisa sekolah menengah pertama saja dan bisa lulus itu berarti orang berkecukupan---tipikal orang-orang berada.

Jelas orangtua saya tidak punya bekal pengetahuan cara mendidik anak yang baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga yang seharusnya ia pelajari, namun bapak ibu berusaha menjadi orangtua bertanggungjawab dan memberikan pola asuh semampu dan sebaik mungkin.

Terbukti saya dan, adik saya, diusahakan agar menempuh pendidikan selayak mungkin, dengan dorongan semangatnya yang tak pernah saya lupa serta dorongan kuatnya setiap kali saya sedang malas belajar. "Kalau kamu malas belajar, ingatlah orangtua saat berjemur di bawah terik matahari, gotong jagung panas-panas di sawah," katanya pada suatu hari ketika jenguk saya di pesantren. "Usahakan jangan ikut profesi bapak. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri."

Yang perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa meminta pada Tuhan ingin dilahirkan dari keluarga kaya raya, berpendidikan, berkecukupan, dan kesempurnaan lainnya; tetapi sejatinya kita bisa memilih dan menentukan hidup, meski dengan keterbatasan yang kita miliki, bahwa kita berhak menentukan arah hidup ini; bahwa kita berhak memilih dengan siapa kita kelak menempuh kehidupan baru.

Kedua, kita semakin sadar bahwa pola pendidikan keluarga yang baik adalah dipengaruhi oleh lingkungan serta pendidikan baik sang anak; yang kelak menentukan keberhasilan perjalanan pendidikannya; yang akan berdampak pada cara berpikir serta bertingkah laku sang anak (sebagaimana orientasi pendidikan pesantren) ketika kelak ia mulai tumbuh dewasa.

Hal tersebut saya rasakan semenjak masih bocah hingga saya masuk ke pesantren, dan berlanjut ketika mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan banyak mengenal orang-orang sukses dan bersentuhan dengan buku-buku bagus.

Terlepas dari kekurangan pola asuh keluarga, setelah kini saya menyadari sebagai mahasiswa, adalah bahwa penting menanamkan dan mempelajari pendidikan parenting dan belajar mengarungi arah hidup.

*Santri Alumni Sultan Agung Pondok Pesantren Bustanul Ulum 03 Kasiyan Timur Puger & Mahasiswa UIN KHAS Jember

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image