Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Aprilytanti Handayani

Media Sosial, Berburu Viral Rawan Berujung Fatal

Gaya Hidup | Thursday, 25 Aug 2022, 13:14 WIB

Belakangan, curhat di laman pribadi menjadi pilihan penggiat para penggiat media sosial. Mungkin, sebagian pengguna media sosial menganggap bahwa sebuah kasus perlu diviralkan dulu untuk mendapat penyelesaian. Ketimpangan, ketidakadilan, perasaan tak nyaman karena perilaku orang lain ditumpahkan di media sosial dengan harapan viral dan dapat perhatian. Namun sayang, terkadang karena pengaruh emosi sesaat curahan hati, opini yang diungkap melalui media sosial, malah menjadi viral yang fatal.

Salah satu contoh adalah viralnya seseorang ibu yang mengaku mendapat perundungan, penolakan oleh seorang bapak di sebuah masjid karena ia tidak mengenakan jilbab padahal ia sedang ingin menunaikan sholat. Kemudian si ibu yang sedang kesal membuat konten yang menyatakan protes atas perilaku bapak tersebut. Kemudian beredar klarifikasi dari pihak takmir masjid disertai bukti CCTV bahwa yang menegur si ibu bukan pihak takmir masjid, namun seorang jamaah pria yang entah siapa. Apakah musafir yang kebetulan lewat dan usai menunaikan (jamaah) sholat atau penduduk di kawasan terdekat, tak ada yang mengenalinya.

Parahnya curhatan si ibu keburu viral. Negara yang sedang sensitif masalah “agama” dan “jilbab” seolah terbakar. Sebagian netizen membela si ibu mati-matian sembari membagikan video curhatannya. Meski setelah video CCTV sebagai klarifikasi pihak masjid beredar akhirnya mereka yang ikut-ikutan memviralkan video si ibu buru-buru menghapus postingannya.

Berburu Viral di Media Sosial Sumber: Pixabay

Siapakah yang bersalah? Lebih baik tak perlu mencari kambing hitam dan terdakwa namun kita bisa mendapat hikmah dan pelajaran.

Pertama, jika sedang emosi, hindari media sosial. Sebab sekali saja yang kita luapkan di media sosial, berpotensi dibaca dan dibagikan orang lain

Kedua, yang tidak paham duduk permasalahan, tidak berada di tempat kejadian peristiwa yang diviralkan lebih baik diam. Aneh aja baca komen-komen netizen masalahnya melebar ke Hak Asasi Manusia, hingga “kebijakan” KSA di bawah kepemimpinan MBS yang tidak mewajibkan penggunaan jilbab bagi muslimah. Kenapa bisa melebar ke mana-mana nih. Dari Indonesia ke Arab Saudi, coba tanyakan ke muslimah yang memutuskan berjilbab, sebagian besar pasti menjawab bahwa mereka melakukan itu sesuai keyakinan karena mengikuti perintah Allah dalam Al Qur’an, bukan karena perintah raja Saudi.

Tentang “ditolak” di masjid saya pernah mengalami sekitar empat tahun lalu. Di sebuah masjid raya di tepi jalan raya Pasuruan-Bangil. Waktu itu kami sekeluarga mengendarai mobil sewaan terjebak macet dalam perjalanan kembali ke Sidoarjo. Waktu Maghrib sudah nyaris habis, akhirnya bisa menepi di masjid tersebut untuk menunaikan sholat Maghrib. Usai wudhu saya memasuki area utama masjid, terlihat tulisan besar-besar di dinding bahwa khusus muslimah tempat sholat disediakan di bagian lantai dua. Saya pikir “ah, kan masjidnya nggak ramai, paling yang sholat bisa diitung jari. Kalau tarawih atau sholat Ied barulah jamaah muslimah ke lantai dua” Ternyata pikiran saya salah, baru menggelar sajadah, salah seorang dari jamaah pria yang mungkin sedang menanti waktu Isya’ menghampiri saya dan menyampaikan bahwa jamaah wanita harus ke lantai dua. Duh, antara sebal dan malu saya terpaksa naik ke lantai dua. Sebal karena waktu sholat Maghrib sudah kian tipis waktunya, dan lumayan menguras napas pula jika harus menaiki tangga ke lantai dua. Malu karena dengan teguran itu seolah saya buta huruf karena nggak bisa membaca peraturan di dinding masjid. Saat meninggalkan masjid usai sholat, anak-anak saya malah menegur saya yang nggak ikut peraturan, bikin malu aja kata mereka.

Beruntung saya nggak punya pikiran membuat status facebook atau video di instagram tentang “penolakan” jamaah wanita di lantai dasar, padahal jamaah pria hanya satu shaf terdiri dari beberapa orang saja, jauh di depan dari tempat saya hendak menggelar sajadah. Mungkin kalau waktu itu saya membuat konten “masjid ini menghalangi orang hendak sholat” bisa-bisa viral yang fatal dan berbuntut omelan anak dan suami.

Dan ini bukan “penolakan” pertama. Sebelumnya saya pernah ditolak masuk masjid di kota saya sendiri. Niatnya nunggu jam buka bank sambil sholat dhuha, eh saya asal masuk masjid dekat kantor bank yang ramai oleh bapak-bapak sedang mendengarkan kajian. Salah seorang bapak paruh baya menyampaikan isyarat dengan tangannya agar saya menjauh. Oh baiklah, mungkin karena itu masjid khusus pria atau ada alasan khusus lainnya.

Dari dua penolakan itu saya tak punya pikiran curhat ke media sosial. Hanya saya tandai saja masjidnya, agar saya tak melakukan kesalahan yang sama. Kalau ada kenangan kurang nyaman di suatu tempat, tinggalkan dan jangan diulang, begitu saja. Hidup ini simple, sederhana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image