Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Menuju Mubalig Muda Berwawasan HAM: Kegelishan dan Tantangan

Agama | Thursday, 25 Aug 2022, 12:54 WIB

Ceritanya, saya berangkat ke Jakarta dari kampung halaman di kota Garut adalah untuk mengikuti “Pelatihan Mubalig Muda Berwawasan HAM”. Sebanyak 30 orang hasil seleksi akhirnya bertemu dan berdiskusi ria tentang segala hal terkait ‘mubalig’ dan HAM. Tidak disangka, ternyata teman-teman datang dari berbagai daerah termasuk dari luar Jawa. Uniknya forum jadi semacam miniatur keragaman Indonesia. Keragaman itu juga mengemuka ketika diskusi soal HAM dan Syarī‘ah (Islam).

Pertanyaan mendasar yang baru bagi saya adalah bagaimana relasi antara HAM dan Syariat selama ini? Tentu tidak bisa hanya sekadar dijawab “Baik-baik saja.” Pertanyaan lebih tajam lagi bagi semua peserta yang adalah “mubalig” di tempatnya masing-masing adalah perlukah dan sudahkan kita sebagai mubalig menjunjung HAM? Nah, kira-kira dua pertanyaan itulah yang saya maksud dalam judul sebagai kegelisahan dan tantangan.

Syariat dan HAM

Sepintas lalu, selama ini saya menduga bahwa antara HAM dan Syariat merupakan dua hal yang pasti dan selalu seiring dan saling menguatkan. Sejak dulu saya berada dalam konstruk pengetahuan di mana dasar-dasar HAM bermula dari Piagam Madinah dan dakwah Nabi ketika Haji Wada’.

Sebagai catatan, Piagam Madinah merupakan aturan yang dirumuskan dan ditaati bersama oleh penduduk kota Madinah. Saat itu sebagaimana kita tahu, Nabi Muhammad saw. hijrah dari Makkah ke Madinah. Kondisi masyarakat Madinah yang majemuk, mendorong Rasul untuk memimpin perumusan konstitusi paling awal dalam sejarah umat manusia, yakni Piagam Madinah. Secara keseluruhan isi Piagam Madinah mencakup 47 pasal yang dimulai dengan lafadz bismillāhi ar-ramāni ar-raḥīmi.

Sedangkan pesan kemanusiaan yang muncul dalam dakwah Nabi saat Haji Wada, adalah tiga hak asasi kemanusiaan yang haram untuk dilanggar, yaitu nyawa, harta dan kehormatan. Tiga hal itu kemudian digunakan oleh John Locke berkaitan dengan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat, yakni life, property and liberty.

Tetapi, cara saya atau kita keumuman Muslim memandang Hak Asasi Manusian (HAM) cukup ketinggalan karena hanya sebatas yang dapat diimajinasikan mengenai hak-hak kemanusiaan. Maksudnya, HAM adalah perwujudan paling konkrit dan canggih dari kemanusiaan yang dapat dipikirkan manusia. Nah, Piagam Madinah dan khutbah Haji Wada’ benar sebagai dasar awal bagi HAM, namun juga dalam waktu bersamaan HAM itu terus berkembang.

Permasalahannya, apakah pemikiran keagamaan kita sampai saat ini mampu mengimbangi atau minimalnya bereaksi secara strategis atas perkembangan HAM tersebut? Misalnya, dalam UU No. 39/1990 tentang HAM, Pasal 4 “hak beragama” dan Pasal 2 disebutkan bahwa “ setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya,” begitu pula dalam Pasal 28E dan 28J UUD.

Jangan ditanyai lagi dalam ketetapan HAM PBB, sebab konstitusi Indonesia saja sudah sangat jelas menjamin kebebasan beragama. Tapi bagaimana dalam pemahaman keagamaan kaum Muslim Indonesia terkait pindah agama? Narasi murtad beserta konsekuensi fikih-nya masih mendominasi. Maksud konsekuensi fikih seperti halal darah seorang Muslim yang telah murtad (keluar dari Islam). Belum lagi soal pernikahan beda agama, dan masih sangat banyak tema-tema lain yang lebih kontroversial perspektif pemahaman keagamaan kita hari ini.

Sustainable Development Goals (SDGs) 2030

Contoh lain yang lebih konkrit—karena misalnya ada anggapan kebebasan beragama dalam UU masih konseptual—adalah hadirnya SDGs (Sustainable Development Goals) yang dirancang untuk jangka tahun 2015-2030, sehingga diharapkan semua negara berusha mewujudkan 17 hal itu, yakni: tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, industri inovasi dan infrastruktur, berkurangnya kesenjangan, kota dan pemukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, ekosistem darat, perdamaian keadilan kelembagaan yang tangguh, dan terakhir kemitraan untuk mencapai tujuan.

Apakah pemahaman keagamaan kita minimalnya sejalan dan maksimalnya mendukung penuh SDGs yang berjumlah 17 hal itu? Jika jawabannya pemahaman keagamaan kita hanya mendukung sebagian dan tanda tanya di sebagian yang lain, pertanyaan berikutnya, mengapa? Padahal SDGs itu sudah dirumuskan oleh sumber daya yang besar sekali dan melibatkan hampir seluruh negara yang ada di dunia ini. Apakah pemahaman keagamaan kita yang harus mengikuti pekrembangan HAM atau sebaliknya, HAM-lah yang harus mengikuti Syariat (yang sudah kita pahami)?

Dalam analisis Budhy Munawar-Rachman, sampai saat ini terkait Syariat dan HAM ada empat jenis relasi: 1) Syariat dipengaruhi oleh HAM, 2) Syariat bereaksi terhadap HAM, 3) Syariat punya jalan sendiri yang tidak berkaitan dengan HAM, dan 4) Syariat dan HAM kompatibel dan sinkron.

Namun, lanjut Pak Budhy yang memimpin acara diskusi, meski kelihatannya adalah nomor empat yang paling bijak dipilih, tetap saja menyisakan permasalahan tersendiri. Upaya kompabilitas Syariat dan HAM, meniscayakan tiga kemungkinan metode: 1) dipaksa sinkron atau mencocok-cocokkan saja (cocokologi), 2) Syariat direinterpretasi dengan cara dehistorisasi teks atau singkatnya memahami Syariat secara simbolik, 3) melakukan cherry-picking (memilih yang sesuai dengan zaman dan meninggalkan yang tidak sesuai) terhadap Syariat. Relasi dan metode itulah yang terjadi sampai saat ini di dunia Muslim, menurut Pak Budhy.

https://www.umm.ac.id" />
Buku hasil penelitian belasan tahun para ahli HAM di dunia. sumber: https://www.umm.ac.id

Idelanya adalah, HAM bisa dikembangkan dari sumber-sumber Syariat atau Syariat bisa memberi sumbangan besar bagi pengembangan HAM hari ini. Sebab antara HAM dan Syariat memiliki kesamaan penting yakni sama-sama melindungi kemanusiaan. Dalam pemahaman Syariat hal itu diungkapkan Imam al-Ghazālī (w. 1111 M) sampai Imam asy-Syāṭibī (w. 1388 M) melalui al-kulliyāt al-khams yakni, hifdz al-dīn (agama), nafs (jiwa), naṣl (keturunan), aql (akal pikiran), dan māl (harta). Tapi, hal ideal itu sampai sekarang tidak pernah terwujud. Adapun yang telah terjadi, kaum Muslim membuat semacam tandingan bagi HAM PBB, yakni The Cairo Declaration on Human Right on Islam pada tahun 1990 yang dilakukan oleh Organisasi Kerja sama Islam (OKI).

Isi Deklarasi Kairo itu selain banyak yang sama persis dengan HAM PBB juga dinilai ambigu. Sebab di poin terakhir terdapat aksentuasi seperti “semua dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan Syariat.” Perdebatan kemudian muncul, Syariat menurut pemahaman siapa? Sebagai contoh, soal kesetaraan-gender, kaum Muslim mempunyai perspektif yang berbeda. Oleh karena itulah, hari ini OKI juga tidak terlalu menggembar-gembor lagi Deklarasi Kairo itu dan beranjak pada hal lebih strategis seperti SDGs.

Dakwah dan HAM

Sebagai mubalig, dalam artian bukan saja penceramah namun juga bermakna penyampai kebenaran melalui cara apa pun, urgensitas HAM menurut saya sangat penting mengingat Islam adalah ramatan li al-‘ālamīn. Pertanyaan “perlukah?” semua pasti sepakat, tapi soal “sudahkah?” perlu strategi dalam menjawabnya.

Strategi ideal sebagaimana telah dipaparkan di atas, masih memerlukan kajian serius-mendalam dan melibatkan banyak sumber daya, karena belum terwujud. Maka, strategi paling murah seperti yang pernah Nurcholis Madjid (Cak Nur) utarakan bisa jadi alternataif. Cak Nur melihat bahwa antara hal sakral dan kehidupan duniawi yang profan perlu disadari bahwa itu bisa dibedakan. Maksudnya, Syariat bebas mengurusi masalah spiritual dan jadi inspirasi dalam proses perumusan aturan hidup bersama. Sedangkan untuk urusan duniawi yang profan kita percayakan pada kesepakatan bersama, salah satunya HAM PBB dan SDGs itu. Akan tetapi, istilah yang Cak Nur pakai kala itu yakni, sekularisasi membuat gagasan di baliknya seolah tercemari dan kotor hingga kini. Sulit diterima masyarakat luas apalagi dalam konteks kemubaligan.

Yudi Latif, sebagai pemimpin diskusi lain, menawarkan strategi yang menurut saya meski secara esensi sama dengan Cak Nur, namun lebih halus. Menurut Yudi Latif, nilai dalam Syariat yang disampaikan melalui dakwah serta HAM harus dibiarkan berdialog secara alami terus menerus. Meski saat ini masih teramat sulit menjawab kerangka ideal tadi, namun di masa depan harus percaya bahwa hal terebut akan terpecahkan. Hal itu didasarkan pada perubahan masyarakat yang ternyata secara alami sejalan dengan HAM atau SDGs. Perspektif kaum Muslim pada hakikatnya berkembang sesuai wacana global. Contoh kecil, sarung yang pernah dianggap sakral ketika mendirikan salat, kemudian terbedakan secara alami bahwa kewajiban bukan pada sarungnya, tapi pada menutup auratnya. Akhirnya, agama mengurus soal batasan aurat, sedang soal penutup aurat, dipercayakan pada budaya dan tuntutan zaman.

Titik paling awal yang bisa dilakukan saat ini oleh mubalig, sebelum pendapat Yudi Latif, menurut saya adalah menyadari bahwa kajian HAM terus berkembang. Perlu disadari juga bahwa kajian HAM dalam dunia Muslim hari ini kalah progresif oleh wacana global tentang HAM. Kesadaran-kesadaran ini menurut saya penting terus dirawat para mubalig—dalam pengertiannya yang luas tadi—untuk selain ikhtiyat (kehati-hatian) dalam berdakwah juga bersiap sedia ketika paradigma pemahaman terhadap Syariat berkembang seperti yang Yudi Latif banyak pemikir lain harapkan.

Ditulis selama Pelatihan Mubalig Muda Berwawasan HAM, diselenggarakan oleh Nurcholish Madjid Society, di Bogor, 24-26 Agustus 2022.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image